Senin, 15 September 2025

Pembunuh 19 Orang Difabel Jepang Ternyata Terpengaruh Pada Pesan ISIS dan Trump

Bulan lalu hingga kini NHK mengirimi surat kepadanya mewawancarai tertulis dan jawabannya cukup mengagetkan.

Editor: Johnson Simanjuntak
Richard Susilo
Empat surat yang ditujukan ke NHK dari pembunuh Satoshi Uematsu (27) 

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Pembunuh 19 orang difabel (cacat) Jepang dan melukai 27 orang lain tanggal 26 Juli 2016, setahun lalu, di Sagamihara Tokyo, ternyata terpengaruh oleh pemberitaan negara Islam ISIS dan komentar Donald Trump.

Peringatan setahun kejadian tersebut hari ini dilakukan di Tokyo dan sekitar 670 orang hadir, memberikan bunga kepada yang meninggal dunia serta berdoa mengheningkan cipta bersama.

Mantan pekerja di rumah difabel Jepang Tsukui Yamayurien kota Sagamihara, Satoshi Uematsu (27), setahun lalu mengamuk mendadak dan membunuhi para pasien difabel.

Bulan lalu hingga kini NHK mengirimi surat kepadanya mewawancarai tertulis dan jawabannya cukup mengagetkan.

Empat surat diterima NHK dari penjara Yokohama, surat yang ditulis langsung oleh Uematsu.

Salah satu isinya menuliskan bahwa kegiatan yang dilakukan ISIS, orang yang tak berguna silakan dibunuh dan ungkapan Trump bahwa tidak sedikit orang yang tidak beruntung, perlu ditinggalkan.

Hal-hal tersebut sangat mempengaruhi pola pikir Uematsu setahun lalu.

Tulisannya menyebutkan, "Orang yang difabel (cacat) hanya buang-buang uang dan buang-buang waktu saja. Orang demikian yang tak bisa berkomunikasi harus dibunuh," tulisnya.

Selama tiga tahun bekerja di panti difabel tersebut Uematsu pun pernah mengatakan kepada teman sekerjanya, "Saya punya perasaan tak enak selama melakukan bantuan kepada orang difabel. Saya tak punya keinginan membunuh, tapi orang yang yang cacat pasti bersumber dari ketidakbahagiaan," paparnya.

Uematsu jug amenuliskan bahwa dia tak mau pikir dalam soal pembunuhan tetapi sekali dia putuskan pasti akan dilakukan segera.

Seorangtua dari anaknya (Yasuo, 44) yang menjadi korban pula, Takeshi Ozo (73) mengatakan, "Tampak sekali meskipun telah setahun berjalan dia memang tak ada rasa menyesal atas perbuatannya. Sangat disesalkan sekali memang. Dia hanya berpikir soal dirinya sendiri saja tampaknya."

Prof. Akira Maeda dari Universitas Tokyo Zokei yang ahli mengenai hubungan kejahatan dan diskriminasi menganalisa surat tersebut.

"Kelihatan pikirannya terbagi dua antara yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. Yang tidak dibutuhkan terutama yang tak bisa berkomunikasi, tampaknya dipercaya harus dihilangkan. Rasa diskriminasi ini tampaknya memang kuat sekali pada diri orang tersebut," paparnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan