Warga Korut Rela Nyamar Jadi Pekerja TI Bayangan demi Setor Jutaan Dolar ke Rezim Kim Jong Un
Demi mendanai program nuklir dan persenjataan rezim Kim Jong Un, ribuan pekerja teknologi informasi asal Korut diam-diam menyusup ke perusahaan barat
Penulis:
Namira Yunia Lestanti
Editor:
Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM - Ribuan pekerja teknologi informasi (TI) asal Korea Utara secara diam-diam menyusup ke perusahaan-perusahaan di negara Barat, termasuk Amerika Serikat, dengan menyamar sebagai warga negara AS untuk bekerja secara daring (remote).
Mengutip laporan CNN International, para pekerja TI asal Korut biasanya akan menggunakan identitas warga negara Barat yang dicuri atau direkayasa.
Identitas ini mencakup nama, alamat, nomor jaminan sosial palsu, hingga riwayat pekerjaan fiktif, agar bisa diterima sebagai pegawai jarak jauh.
Dengan bantuan AI generatif dan tools deepfake, mereka membuat CV kerja palsu atau dokumen riwayat hidup yang berisi data pendidikan, pengalaman kerja, keterampilan, prestasi, dan informasi relevan lainnya
Untuk melancarkan aksinya mereka sebagian besar mengaku sebagai pekerja dari AS, Kanada, atau negara lain sambil melakukan video call dari lokasi seperti China, Laos, atau Rusia.
Setelah berhasil merekayasa data diri, mereka akan mencoba mendaftar pekerjaan secara remote mulai dari bidang developer, konsultan IT, hingga teknisi perangkat lunak.
Hasil Bayaran Disetor ke Rezim Kim Jong Un
Adapun tujuan utama dari operasi penyamaran ini adalah untuk menghasilkan uang dalam jumlah besar yang kemudian disalurkan ke rezim Korea Utara.
Menurut Kementerian Kehakiman Amerika Serikat, pendapatan dari skema ini telah mencapai ratusan juta dolar per tahun.
Sementara itu, perusahaan keamanan siber global yang berbasis di Amerika Serikat, CrowdStrike, menyebut bahwa gaji yang diterima tiap individu bisa mencapai 3.000–10.000 dolar per bulan, tergantung tingkat keahlian dan posisi yang diisi.
Bahkan, satu jaringan pekerja tercatat berhasil mengumpulkan lebih dari 17 juta dolar dari sekitar 300 perusahaan asing.
Setelah dana terkumpul, CrowdStrike meyakini bahwa uang tersebut digunakan untuk membiayai program senjata nuklir, rudal balistik.
Uang itu juga digunakan untuk operasi intelijen militer Korut yang sedang berada di bawah tekanan sanksi internasional, buntut pelanggaran serius terhadap hukum internasional, terutama terkait program senjata nuklirnya.
Baca juga: Korut Tolak Terima Surat Ajakan Bertemu Donald Trump, Sudah Terjadi Berkali-kali
Selain mencari keuntungan finansial, tujuan lain skema ini adalah untuk mendapatkan akses ke data sensitif perusahaan. CrowdStrike menyebut bahwa sebagian dari para pekerja TI bayangan ini juga melakukan spionase siber, yakni mencuri informasi penting yang bisa digunakan untuk keperluan negara atau bahkan dijual ke pihak ketiga.
Dalam banyak kasus, mereka dengan sengaja menyusup ke sistem internal perusahaan tempat mereka bekerja terutama yang bergerak di sektor teknologi, pertahanan, dan layanan keuangan.
Selanjutnya beberapa di antaranya menjalankan aksi pengintaian siber (cyber espionage) dengan menyalin data penting lalu dikirimkan ke pihak yang berafiliasi dengan pemerintah Korea Utara.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.