Ahli: Perlakuan Adil Tidak Dapat Diartikan Secara Harafiah
Ketentuan dalam undang-undang yang menyebutkan bahwa untuk memeriksa jaksa memerlukan izin jaksa agung dipandang sudah baik
Penulis:
Eri Komar Sinaga
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketentuan dalam undang-undang yang menyebutkan bahwa untuk memeriksa jaksa memerlukan izin jaksa agung dipandang sudah baik dan tidak perlu dihapuskan.
Hal tersebut disampaikan guru besar Andi Hamzah saat memberikan keterangan, sebagai ahli dari pemerintah, dalam pengujian Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan berbunyi 'dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Jaksa diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.'
"Menurut pendapat saya, pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, tidak dapat diartikan harafiah," terang Andi di MK, Jakarta, Rabu (24/7/2013).
Andi pun mencontohkan ceramah Prof. Dr. Strijards, tenaga ahli kejaksaan Nederland di depan delegasi studi banding KUHAP Indonesia pada Selasa (15/6/2010) lalu di Kejaksaan Nederland den Haag.
Jika jaksa (Officer van justitie) di Nederland melakukan delik, maka yang harus menjadi penuntut umum ialah jaksa agung muda (advocaad generaal) dan diadili di tingkat pertama dan terakhir di Mahkamah Agung, sama dengan hakim, anggota parlemen, dan menteri.
"Jadi, benar-benar perlakuan istimewa di depan hukum, karena status mereka berbeda dengan orang biasa," tegas dia.
Menurutnya, ketentuan ini jauh di atas ketentuan Pasal 8 ayat (4) dan ayat (5) UU Kejaksaan. "Bahkan, dalam Pasal 8 ayat (4) dan (5) ditegaskan bahwa 'dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,' yang tentu tidak termasuk jika tertangkap tangan atau pelanggaran lalu-lintas," ujarnya.
Namun ketentuan tersebut hanya latar belakang historis. Pada tahun 1964, misalnya, di Makasar ada seorang polisi berpangkat komisaris dituduh melakukan penggelapan. Ia disidik oleh polisi kota Makasar dan perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Makasar dan diadili.
"Rupanya ada penggantian kepala polisi kota Makasar, dimana kepala polisi yang baru ini marah dan mengatakan terlalu tinggi pidana yang dituntut jaksa. Dia datangi Kejaksaan Negeri Makasar bersama dengan anak buahnya dan membawa anjing Herder. Jaksa yang didang bersama kepala bagian umum ditangkap tanpa surat perintah penangkapan, hanya atas tuduhan subversi. Kedua jaksa ini pun dimasukan ke tahanan bersama penjahat lain," ujarnya.
Kejadian serupa terulang pada tahun 1998 yang menimpa jaksa Kamaru di Jakarta. Ia menambah pemeriksaan atas berkas perkara pembunuhan yang dilimpahkan oleh polisi. Namun, polisi menganggap tidak boleh jaksa menambah pemeriksaan.
"Akibatnya, jaksa Kamaru ditangkap di Yogyakarta dan dibawah ke Jakarta dan dimasukan ke tahanan, kemudian dilepas tanpa proses," kata A. Hamzah.
Sekedar informasi UU kejaksaaan diajukan oleh terpidana 18 tahun penjara Antasari Azhar, Andi Syamsuddin Iskandar selaku adik kandung Nasrudin Zulkarnaen dan Ketua MAKI Boyamin Saiman. Pemohon menganggap pasal 8 tersebut telah membedakan perlakuan warga negara dengan jaksa.