Senin, 25 Agustus 2025

Royalti Musik

DPR: Polemik Royalti Lagu Diselesaikan Lewat Transparansi dan Revisi UU Hak Cipta

Dewi Asmara, menyebut bahwa polemik terkait royalti lagu yang sempat menimbulkan kegelisahan telah menemukan titik terang. 

/Tribunnews/Chatgpt AI/Akbar Perm
ROYALTI - Infografis royalti musik bagi pengunanya di ruang publik wajib bayar jika digunakan untuk kepentingan komersial, sesuai Peraturan Menkumham Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Dewi Asmara, menyebut bahwa polemik terkait royalti lagu yang sempat menimbulkan kegelisahan di kalangan musisi dan pelaku usaha telah menemukan titik terang.  (Tribunnews/Chatgpt AI/Akbar Permana) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Dewi Asmara, menyebut bahwa polemik terkait royalti lagu yang sempat menimbulkan kegelisahan di kalangan musisi dan pelaku usaha telah menemukan titik terang. 

Polemik royalti musik di Indonesia memanas karena benturan antara perlindungan hak cipta dan praktik di lapangan yang dianggap tidak adil atau membingungkan oleh banyak pihak. 

Misalnya saja, tarif royalti dihitung berdasarkan kapasitas kursi, luas ruangan, atau jumlah kamar, bukan berdasarkan frekuensi pemakaian musik.

Pengusaha menilai ini tidak adil, karena tidak semua kursi atau kamar selalu terisi sepanjang tahun.

Menurut Dewi, penyelesaian masalah ini dicapai melalui kesepakatan antara DPR RI, pemerintah, pelaku industri, serta para pencipta lagu dalam rapat konsultasi pada 21 Agustus 2025 lalu.

Ia menyebut, akar persoalan terletak pada ketidaksepahaman dalam implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, yang menyebabkan banyak pelaku usaha tidak menyadari kewajiban membayar royalti.

“Banyak pelaku usaha seperti restoran, kafe, hotel, hingga transportasi umum tidak menyadari kewajiban membayar royalti. Bahkan ada yang memilih berhenti memutar musik atau beralih ke lagu asing. Sementara itu, para musisi mempertanyakan transparansi distribusi royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif,” kata Dewi kepada wartawan, Senin (25/8/2025).

Dewi menyampaikan, terdapat lima langkah utama yang telah disepakati bersama sebagai solusi atas polemik royalti ini.

Pertama, Sentralisasi Penarikan Royalti. Penarikan royalti akan dipusatkan di Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) selama dua bulan ke depan untuk menjamin transparansi.

Kedua, Audit dan Transparansi Distribusi. LMK yang beroperasi saat ini akan diaudit secara menyeluruh guna memastikan distribusi royalti dilakukan adil dan proporsional.

Ketiga, Revisi Undang-Undang Hak Cipta. DPR dan pemerintah berkomitmen menyelesaikan revisi undang-undang tersebut dalam dua bulan. Revisi akan memperjelas mekanisme penarikan, distribusi, dan pengawasan.

Keempat, Edukasi dan Sosialisasi. Pemerintah akan memperluas kampanye kesadaran publik mengenai pentingnya hak cipta dan kewajiban membayar royalti.

Kelima, Skema Tarif Proporsional. Penyesuaian tarif berdasarkan jenis usaha, luas area, dan durasi pemutaran musik akan diberlakukan untuk meringankan beban pelaku usaha, tanpa mengurangi hak pencipta lagu.

Dengan adanya kesepakatan ini, pelaku usaha seperti restoran, kafe, hotel, hingga layanan transportasi publik dapat kembali memutar lagu secara legal tanpa kekhawatiran berlebih, selama mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku.

“Penyelesaian polemik royalti ini akan menciptakan ekosistem industri musik yang lebih sehat. Musisi mendapatkan penghargaan yang layak atas karya mereka, sementara pelaku usaha bisa tetap berkontribusi pada industri budaya tanpa merasa terbebani,” jelas Dewi.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan