Ditolak di MK, Pemohon Uji Materi LGBT Berencana Dekati DPR RI
Apalagi, kata Euis, mendorong undang-undang di DPR RI bukanlah perkara gampang karena membutuhkan waktu yang sangat panjang.
Penulis:
Eri Komar Sinaga
Editor:
Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pascaditolak di Mahkamah Konstitusi, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (Aila) akan melanjutkan perjuangannya ke DPR RI terkait kejahatan terhadap kesusilaan.
Sekretaris Jenderal Aila, Euis Sunarti berharap keajaiban di DPR RI. Pasanya, Euis sadar bahwa DPR adalah lembaga politik yang keputusannya bisa saja tidak sesuai seperti yang diharapkan.
Baca: Ahli Sebut LGBT Sasar Remaja Galau
"Celahnya pertama dorong ke DPR. Tapi kan kita tahu DPR ini keputusan politik di sana. Keputusan politik bisa tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kalau pun kita ke DPR kita juga harus minta banyak pihak untuk mendukung kita," kata Euis di Cikini, Jakarta, Sabtu (23/12/2017).
Apalagi, kata Euis, mendorong undang-undang di DPR RI bukanlah perkara gampang karena membutuhkan waktu yang sangat panjang.
"Tidak ada yang bisa menjamin. Padahal dengan penundaan waktu ini kan berjalan, ini yang kami concern," kata guru besar Institut Pertanian Bogor itu.
Baca: Cerita Sjahruddin Rasul Berniat Mundur dari Pimpinan KPK Gara-gara Ini
Selain ke DPR RI, Euis mengungkapkan pihaknya juga mengakaji untuk mendekati Pemerintah. Menurut dia, campur tangan pemerintah bisa lebih cepat yakni dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Euis menyebut pemerintah dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi ternyata berada di posisi yang kontra terkait masalah perzinahan dan Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT).
"Ketika kita kemudian berjuang untuk anak dan keluarga kita, Pemerintah itu berada pada posisi yang menolak pada sidang-sidang itu. Itu juga yang kami pertanyakan, termasuk Komnas Perempuan," ungkap dia.
Sekadar informasi, Mahkamah Konstitusi menolak uji materi atau judicial review Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Mahkamah dalam putusannya menolak untuk memberikan perluasan norma atau aturant tersebut yakni memberikan unsur pidana.
Majelis hakim berpendapat bahwa seseorang itu tidak bisa dipidana jika jika tidak ada norma atau aturan yang mengaturnya.