Sejak Tahun 2003 KPK Tangkap dan Penjarakan 600 Koruptor
Sejak berdiri pada 2003 hingga Januari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap dan memenjarakan 600 koruptor.
Penulis:
Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak berdiri pada 2003 hingga Januari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap dan memenjarakan 600 koruptor.
Sebagian besar di antara mereka adalah anggota DPR/DPRD, yakni 146 orang, disusul 82 bupati/walikota dan 19 gubernur.
Maraknya koruptor yang terjerat KPK di mana di dalamnya juga terdapat sejumlah menteri, Ketua MK, Ketua DPD, Ketua DPR menunjukkan patologi birokrasi atau penyakit birokrasi saat ini masih menjadi PR besar bangsa Indonesia, khususnya pemerintah.
Di satu sisi jumlah koruptor yang besar menunjukkan berfungsi dengan baiknya kerja KPK, akan tetapi di sisi lain jumlah koruptor yang besar itu menunjukkan bahwa patologi birokrasi sudah sedemikian akut menjangkiti para pejabat dan birokrat yang pada gilirannya mengancam kinerja dan jalannya roda pemerintahan.
"Tidak ada cara lain mengatasi penyakit birokrasi akut yang berujung pada prilaku koruptif para pejabat birokrasi itu selain tersedianya obat manjur untuk memberantasnya," kata Ketua KPK periode 2011-2015, Abraham Samad dalam rilisnya, Jumat (6/4/2018).
Abraham akan menyampaikan butir-butir pemikirannya ini pada seminar motivasi "Spirit Of Infonesia", Sabtu (7/4/2018) pukul 09.00-12.30 Wita di Auditorium Universitas Udayana, Bali.
Baca: Buronan Pembunuh Pengemudi Taksi Online Kirim Pesan kepada Kades Lewat Facebook
Dilanjutkan pukul 13.30-16.30 Wita di Auditorium Universitas Warmadewa.
Menurut Abraham, diperlukan adanya suatu penanggulangan untuk memperbaiki birokrasi agar lebih baik, cepat tanggap dan mampu merespon apa yang menjadi kepentingan masyarakat.
Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengobati penyakit birokrasi atau menyembuhkan penyakit kronis yang melekat pada birokrasi itu antara lain mengembangkan kebijakan pembangunan birokrasi yang holistis (menyeluruh).
Cara ini dimaksudkan agar mampu menyentuh semua dimensi, baik itu sistem, struktur, budaya, dan perilaku birokrasi.
"“Tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan sistem politik yang demokratis dan mampu mengontrol jalannya pemerintahan dengan maksud agar pemerintah lebih transparan, tanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan dan masyarakat dengan mudah mengakses informasi publik," kata Abraham.
Baca: Derasnya Arus di Teluk Balikpapan Menghalangi Tim Cari Titik Patahan Pipa Minyak Pertamina
Menurut Abraham, mengembangkan birokrasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi seperti e-government dan e-procurement juga harus diprioritaskan untuk mempermudah interaksi antara masyarakat dengan para pemberi layanan.
"Namun demikian sistem berbasis teknologi ini tetap perlu dimonitoring dan dikawal, khususnya terkait implementasinya guna meminimalisir terjadinya kecurangan yang dilakukan birokrasi," kata Abraham.