Baasyir Bebas
Pengamat: Langkah Jokowi Bebaskan Ba'asyir untuk Menarik Simpati Muslim Konservatif
Abu Bakar Ba'asyir telah menjalani sembilan tahun dari hukuman 15 tahun penjara yang dijatuhkan padanya pada 2011 karena mendanai pelatihan terorisme.
Editor:
Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Ade Irfan Pulungan, menyatakan bahwa rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir dilakukan untuk membuang stigma Jokowi anti-Islam.
Abu Bakar Ba'asyir telah menjalani sembilan tahun dari hukuman 15 tahun penjara yang dijatuhkan padanya pada 2011 karena mendanai pelatihan terorisme di Aceh.
Ba'asyir menolak menandatangani dokumen taat kepada Pancasila sebagai syarat pembebasan setelah menjalani dua pertiga hukuman. Namun ia mendapatkan "keringanan" dari Presiden Joko Widodo dengan pertimbangan "kemanusiaan".
"Kita membuang stigma yang sampai saat ini menyatakan Pak Jokowi itu tidak dekat dengan umat Islam, kan ternyata tidak terbukti," ungkap Irfan kepada Rivan Dwiastono, wartawan BBC News Indonesia, Senin (21/1).
"Melakukan kriminalisasi ulama, enggak ada kan? Dengan seperti ini kan, itu menampik semuanya," lanjutnya.
Baca: Pengacara Bingung dengan Sikap Pemerintah terkait Pembebasan Abu Bakar Baasyir
Meski demikian, Irfan -seperti anggota TKN lainnya- bersikukuh bahwa pembebasan Ba'asyir bukan untuk kepentingan elektoral. "Ya itu tadi, (karena) rasa kemanusiaan, kita berharap melihatnya dari sudut pandang itu saja."
Jumat (18/01) lalu, Yusril Ihza Mahendra yang menjadi penasihat hukum pasangan calon presiden/wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin menyatakan bahwa Presiden Jokowi akan memberikan pembebasan 'tanpa syarat' kepada Abu Bakar Ba'asyir.
Pembebasan dilakukan dengan alasan kemanusiaan, karena Ba'asyir dinilai sudah terlalu tua dan sudah menjalani dua pertiga masa hukuman.
Ba'asyir sendiri dipenjara untuk kedua kalinya tahun 2011 lalu, setelah dinyatakan bersalah dalam kasus pendanaan pelatihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.
Akan tetapi, dalam perkembangan terbaru, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan pembebasan Ba'asyir masih perlu pertimbangan terlebih dahulu.
"(Pembebasan Ba'asyir) masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya. Seperti aspek ideologi Pancasila, NKRI, hukum dan lain sebagainya," kata Wiranto seraya membacakan naskah siaran pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, pada Senin (21/1) sore.
Presiden, lanjut Wiranto, sangat memahami permintaan keluarga Ba'asyir yang meminta pria tersebut segera dibebaskan dengan alasan kesehatan.
"Oleh karena itu, Presiden memerintahkan kepada pejabat terkait untuk segera melakukan kajian secara lebih mendalam dan komprehensif guna merespons permintaan tersebut," ujar Wiranto.
Untuk tarik simpati muslim konservatif
Hurriyah, pengamat politik Universitas Indonesia, memandang terdapat motif politik di balik keputusan pembebasan Ba'asyir.
"Ketika suasananya adalah kontestasi elektoral, maka pertimbangan elektoral masuk di situ (pembebasan Ba'asyir)," ujar Hurriyah kepada BBC News Indonesia.
Menurutnya, Jokowi memberikan pembebasan 'tanpa syarat' kepada Ba'asyir karena tengah menyasar pemilih Muslim konservatif.
Target suara itu dipilih karena jumlah suara ceruk tersebut cukup signifikan dibanding yang lainnya.
"Kalau keberpihakannya pada isu HAM, kemudian yang akan direspon (oleh Jokowi) misalnya kasus Baiq Nuril, atau bahkan kasus Novel," katanya.
"Nah, ini kan suara dari para aktivis, advokat HAM ini kan secara elektoral mungkin dianggap tidak terlalu besar, ketimbang, misalnya, suara dari pemilih muslim konservatif."
Bagi Hurriyah, rentetan aksi Jokowi yang menarik sejumlah tokoh representatif kelompok Muslim konservatif ke kubunya; mulai dari pasangannya sendiri di pilpres, Ma'ruf Amin, alumni 212 Ali Mochtar Ngabalin, hingga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra; merupakan upaya terencana Jokowi untuk menarik simpati kelompok tersebut.
"Kemudian kebijakan membebaskan Abu Bakar Ba'asyir juga saya pikir jadi sequence aja gitu loh, gejalanya sudah kita lihat jauh-jauh hari," imbuhnya.
Meski demikian, Hurriyah tak yakin strategi tersebut berbuah manis. Menurutnya, dukungan kelompok Islam konservatif di kubu penantang masih sangat solid.
Ia menilai bahwa langkah tersebut justru akan menggerus suara pemilih ideologis Jokowi, karena kecewa dengan strategi elektoralnya yang menargetkan suara pemilih Islam konservatif.
"Mungkin maksudnya ingin mendulang suara dari kelompok pemilih Islam konservatif, tapi ternyata justru malah menggerus dukungan elektoral dari kelompok pemilihnya yang punya pandangan berbeda," jelas Hurriyah.
Suara terbelah di kalangan pendukung Jokowi
Tantri (31) adalah karyawan swasta di Jakarta yang mengaku sebagai pendukung Jokowi-Ma'ruf. Ia mengatakan tidak mengerti berbagai akrobat yang dilakoni Jokowi sepanjang masa pemilihan presiden 2019.
"(Langkahnya) agak absurd yang ini, asli saya nggak paham," imbuh Tantri kepada BBC, Senin (20/1), saat ditanya tentang langkah Jokowi membebaskan Ba'asyir.
"Kok ngebebasin teroris sih?" ujarnya dengan nada kesal. "Dia (Jokowi) kayak kejebak sama citra non-Islam."
Kekesalan Tantri menjadi salah satu gambaran pendukung Jokowi yang tidak setuju dengan keputusan capres pilihannya.
Suara senada diangkat Akhmad Sahal, pendukung Jokowi yang juga tokoh muda Nahdatul Ulama (NU). Ia menilai keputusan pembebasan 'tanpa syarat' Ba'asyir penuh kontroversi.
"Nanti ada masalah dengan intervensi hukum yang Pak Jokowi komit untuk tidak melakukannya. Jadi ada problem di soal konsistensi," ujar Akhmad kepada BBC News Indonesia, Senin (21/1).
Ia juga menyoalkan komitmen kemanusiaan yang menjadi alasan utama pembebasan Ba'asyir. "Kalau kemanusiaan, kenapa hanya Ba'asyir?"
Akhmad justru menilai Yusril Ihza Mahendra lah yang mendapat keuntungan dengan ramainya pemberitaan tersebut.
"Ini yang untung Yusril, terus kemudian Pak Jokowi apakah untung atau nggak, itu masih merupakan spekulasi, yang (mana) saya sih nggak melihat ada keuntungannya."
Hal berbeda diungkapkan Muhammad Fathony, koordinator Sejuta Teman sekaligus salah satu pendiri Teman Ahok. Dengan jawaban singkat, Fathony tak ambil pusing dengan langkah capres nomor urut satu tersebut.
"Kalau buat kita sih nggak ada masalah," ujarnya melalui pesan singkat kepada BBC, Senin (21/1).
Pendukung Ba'asyir mustahil dukung Jokowi
Sementara itu, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Luky Sandra Amalia, tidak memandang langkah pembebasan Abu Bakar Ba'asyir akan menambah suara elektoral paslon nomor urut satu.
Ia tidak menilai langkah itu sebagai langkah politik.
"Kalau elektoral kayaknya nggak nyampe, ya," ujar Luky kepada wartawan BBC News Indonesia, Rivan Dwiastono, Senin (21/1).
"Kalau dikaitkan dengan politik, memang timing-nya (waktu) aja yang tepat," tambahnya.
Menurut Luky, garis politik pengikut Ba'asyir dengan Jokowi jauh berbeda. Ia pun mengingatkan kembali kejadian pada masa pilpres tahun 2004 lalu.
"Waktu itu Megawati mencalonkan diri jadi presiden. Itu kan salah satu tentangan keras (muncul) dari kubunya Abu Bakar Ba'asyir waktu itu, (mereka) mengeluarkan fatwa bahwa pemimpin perempuan itu haram," ungkapnya.
"Jadi tidak mungkin kalau hanya karena Abu Bakar Ba'asyir ini kemudian dibebaskan, terus massanya pindah ke Jokowi. Itu butuh mukjizat yang luar biasa kalau menurut saya."
Luky juga berpendapat, bahwa jika massa 212 yang jadi target, maka Jokowi menyia-nyiakan tenaga. Selain karena garis politik keduanya tak sejalan, Jokowi juga sudah menggaet Ma'ruf Amin yang menurutnya cukup untuk menggaet ceruk tersebut.
"Kalau 212 itu sebagian mungkin sudah bisa ditarik oleh Ma'ruf Amin," ujarnya. "Dia orang yang sangat penting di 212, dia bahkan yang memenjarakan Ahok dengan (kasus) 'menistakan agama'-nya. Jadi Ma'ruf Amin sudah cukup untuk menarik massa 212 sendiri."
Di luar itu, kalaupun ada yang diuntungkan secara elektoral oleh pembebasan Ba'asyir, Luky berpendapat bahwa itu adalah Yusril dan partainya, Partai Bulan Bintang (PBB). Yusril sendiri merupakan orang pertama yang mengabarkan informasi pembebasan Ba'asyir dan kini berperan sebagai penasihat hukum Jokowi-Ma'ruf.
"Kalau coattail effect bekerja dengan baik, maka selain partainya capres-cawapres, partai yang berhasil membangun asosiasi kuat dengan capres-cawapres akan merasakan efek ekor jas itu," papar Luky.
Asosiasi tersebut menurutnya bisa dilakukan dengan banyak cara. Dalam kasus ini, dengan menjadi pihak yang melobi capres nomor urut satu untuk memberikan pembebasan "tanpa sayarat" bagi Abu Bakar Ba'asyir.