KPK Ungkap Modus Baru Suap Pengurusan Izin Tinggal WNA di NTB
KPK mengungkap modus baru yang dilakukan dalam kasus suap pengurusan izin tinggal dua orang warga negara asing (WNA)
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap modus baru yang dilakukan dalam kasus suap pengurusan izin tinggal dua orang warga negara asing (WNA) di kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, diduga dua penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA berinisial BGW dan MK. Keduanya diduga menyalahgunakan izin tinggal.
“Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa, tapi ternyata diduga bekerja dl Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga dua WNA ini melanggar Pasal 122 Huruf a Undang Undang Nomor 6 tahun 2011 Tentang Keimigrasian,” kata Alex saat menggelar konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2019).
Kemudian, Liliana selaku perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara bernegosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Klas I Mataram.
Baca: Diincar Pembunuh Bayaran, Kini Moeldoko Harus Dikawal 2 Anggota Kopassus
Baca: Pagar Monas Dipenuhi Karangan Bunga Ucapan Terima Kasih untuk TNI, Polri dan BIN
Baca: BW Sebut Pemilu 2019 Terburuk, Ketua Bawaslu: Ini yang Paling Transparan
Hal itu dilakukannya agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut. Pada Rabu (22/5) lalu, Kantor Imigrasi Klas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah dimulainya penyidikan untuk dua WNA tersebut.
Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan kantor Imigrasi Klas I Mataram, Yusriansyah Fazrin kemudian menghubungi Liliana untuk mengambil SPDP tersebut. Permintaan pengambilan SPDP ini, lanjut Alex, diduga sebagai 'kode' menaikkan harga untuk kasus ini terhenti.
Liliana kemudian menawarkan uang sebesar Rp 300 juta untuk menghentikan kasus tersebut. Namun, Yusriansah diketahui menolaknya karena menilai jumlah itu masih sedikit.
Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut Yusriansah berkoordinasi dengan atasannya Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram, Kurniadie. Selanjutnya, diduga terjadi pertemuan antara Yusriansyah dan Liliana untuk kembali membahas negosiasi harga.
“Dalam OTT ini, KPK mengungkap modus baru yang digunakan ketiganya dalam negosiasi uang suap, yaitu menuliskan tawaran Liliana di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara. Kemudian Yusriansah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan,” jelas Alex.
Akhirnya disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara 2 WNA tersebut adalah Rp 1,2 miliar. Metode penyerahan uang yang digunakan juga tidak biasa, yaitu Liliana memasukan uang sebesar Rp 1,2 miliar ke dalam kresek hitam dan memasukan kresek hitam pada sebuah tas.
Sesampai di depan ruangan Yusriansah, tas kresek hitam berisi uang Rp 1,2 miliar kersebut dibuang ke dalam tong sampah di depan ruangan Yusriansah. Yusriansah kemudian memerintahkan BWI mengambil uang tersebut dan membagi Rp 800 juta untuk Kurniadie.
“Penyerahan uang pada KUR (Kurniadie) adalah dengan cara meletakkan di ember merah,” terang Alex.
Kurniadie kemudian meminta pihak Iain untuk menyetorkan Rp 340 juta ke rekeningnya di sebuah bank. Sisanya Rp 500 juta akan diperuntukkan pada pihak lain.
“Teridentifikasi salah satu komunikasi dalam perkara ini, setelah penerimaan uang oleh pejabat Imigrasi terjadi. yaitu ‘makasi, buat pulkam'," ungkap Alex lagi.