Tribunners / Citizen Journalism
Keharmonisan Lebih Penting Ketimbang SBY Mengeritik
Twitter Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum lama ini sempat menggelitik penulis membandingkan dengan Jepang
Editor:
Widiyabuana Slay
Oleh: Richard Susilo *)
TRIBUNNEWS.COM - Twitter Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum lama ini sempat menggelitik penulis membandingkan dengan Jepang. Menurut SBY, pejabat Indonesia kalau masih menjabat seringkali diam saja.
Tetapi kalau sudah tidak menjabat lagi, maka dia berkicau seenaknya, mengeritik pemerintahan. Mengapa dulu saat dia menjabat di pemerintahan tidak melakukan kritik tersebut?
Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) belum lama ini menunjukkan elektabilitas Partai Demokrat tinggal 8,3 persen. Angka itu merupakan paling rendah pasca-Pemilu 2009. Apakah karena survei ini SBY kebakaran jenggot?
SBY juga membantah penilaian bahwa dirinya tidak akan fokus dalam pemerintahan hingga 2014. "Saya pastikan ke hadapan rakyat Indonesia, saya tidak melalaikan tugas saya yang utama menjalankan roda pemerintahan dan memimpin kehidupan bernegara," kata SBY.
Perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia sebenarnya sangat menarik saat ini. Presiden berani mengeritik dan juga berani menerima kritikan. Media massa pun semakin asyik menulisnya, jadi bahan penulisan menarik dan bahkan seolah ada perang politik di media massa dengan berbagai kubu melontarkan pro dan kontra beserta alasan di sana-sini. Bukan main perkembangan demokrasi di Indonesia dewasa ini, semakin dewasa dan sebenarnya perlu kita acungkan jempol bersama.
Untuk melihat kewajaran SBY melakukan kritik tersebut, mungkin menarik kalau kita lihat pejabat pemerintah Jepang yang kini baru saja mengundurkan diri. Contoh konkret adalah Masaaki Shirakawa, mantan Gubernur Bank Sentral Jepang (BOJ) dengan gaji 2 juta yen sebulan dan bonus pensiun sekitar 29,6 juta yen itu, mengomentari hal-hal mengenai moneter belum lama ini.
Banyak yang mengatakan Shirakawa tidak banyak bicara, pendiam dan kerja kurang baik dalam meningkatkan kesehatan perekonomian Jepang selama kepemimpinannya 5 tahun lalu. Mungkin saja hal itu benar.
Tetapi jangan lupa pula diingat, baru 5 bulan saja menjabat Guberbnur BOJ, tahun 2008 kita tahu ada skandal Lehman Brothers yang menggoyang perekonomian dunia. Shirakawa pun kelimpungan dan harus kerja keras ikut menjaga kestabilan perekonomian Jepang agar tidak terlimbas dampak krisis finansial dunia itu.
Demikian pula bencana alam besar 11 Maret 2011, sebenarnya ikut memusingkan Shirakawa untuk mengatur moneter dan finansial Jepang di tengah kelesuan perekonomian dunia.
Deflasi Jepang yang menghantam sejak 15 tahun lalu, juga merupakan beban beratnya. Belum lagi nilai yen yang sangat menguat, bahkan sempat menjadi 75.74 yen per dollar AS pada tanggal 31 Oktober 2011. Yendaka ini praktis menghantam habis banyak perusahaan Jepang, khususnya eksportir ke pasar dunia, sehingga semua barang Jepang menjadi mahal sekali.
Tidak kurang pimpinan Keidanren, federasi organisasi ekonomi Jepang itu, ikut berteriak dan mengecam pemerintah, terutama BOJ yang dianggap tak becus mengontrol nilai tukar Yen sehingga menjadi sangat kuat terhadap USD.
Bisa dibayangkan Toyota Motor Corporation pernah mengumumkan bahwa kerugian 1 yen saja akibat yendaka di masa lalu, perusahaan otomotif tersebut bisa merugi sekitar 75 miliar yen. Tentu saja bos-bos Toyota berteriak kencang kepada otoritas pemerintahan Jepang “Please help us!” kira-kira demikian.
Itulah sebabnya 26 November 2012 Shirakawa mengeritik Abe, bahwa pasokan nilai uang dianggap kurang ke masyarakat dari BOJ, mengakibatkan yendaka, tidaklah benar. Saat itu Abe belum resmi menjadi PM Jepang.
Keinginan Abe untuk meningkatkan target inflasi yang disampaikan kepada pers, antara lain dengan cara mendanai semakin banyak proyek pekerjaan umum, juga ditentang Shirakawa.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.