Tribunners / Citizen Journalism
Keharmonisan Lebih Penting Ketimbang SBY Mengeritik
Twitter Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum lama ini sempat menggelitik penulis membandingkan dengan Jepang
Editor:
Widiyabuana Slay
“Perekonomian Jepang melemah karena pengaruh penurunan ekonomi dunia dan akan tetap lemah sementara waktu ini,” katanya. Dengan kata lain Shirakawa membantah kalau ada asumsi gara-gara dirinya maka perekonomian melemah.
Setelah Shirakawa mengeritik Abe, dia memberikan aba-aba kepada beberapa orang pers akan mengundurkan diri pada akhir masa jabatannya Maret 2013. Tidak banyak yang merasa aneh karena dua hal.
Pertama, dia sadar pasti tidak akan dipakai Abe sebagai Gubernur BOJ lagi, akibat kritikannya. Kedua, tidak sedikit pengusaha Jepang sudah “mencak-mencak marah” kepadanya akibat dianggap tak becus menjaga nilai tukar yen terhadap dollar AS, mengakibatkan Yendaka berkepanjangan. Supaya kelihatan “bersih”, tidak perlu “diundurkan”, Shirakawa pintar, tiga minggu sebelum berakhir masa jabatan secara resmi mengumumkan menyatakan mengundurkan diri di akhir masa jabatnnya.
Kelakuan Shirakawa ini, yang menentang pemerintahan Abe juga masih dilakukan setelah mengundurkan diri. Dia mengeritik penggantinya Haruhiko Kuroda, mantan Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB). Sebagai Gubernur BOJ saat ini, Kuroda adalah pejabat yang pertama kali diambil bukan dari dalam praktisi perbankan, sejak Yasuo Matsushita yang mundur 1998, juga bukan dari praktisi perbankan, tetapi hanyalah birokrat.
“Kalau mau menilai saya sebaiknya dilakukan pihak ketiga. Upaya Kuroda untuk mencapai target inflasi 2 persen tentu sangat membutuhkan upaya besar dan sangat berat, tidak mudah lo,” demikian tekannya, yang sebenarnya lebih menyinggung dan mempertanyakan Kuroda akan target inflasi tersebut.
.
Shirakawa sendiri, Januari lalu, dengan sangat terpaksa menerima permintaan Abe agar BOJ menetapkan target inflasi 2 persen. Kenyataan yang ada, saat menjadi pejabat maupun saat sudah mundur, tetap saja melakukan kritikan kepada pemerintah Jepang.
Kesimpulan
Kelakuan Shirakawa adalah kelakuan umum pemerintahan di Jepang. Berani bersuara dan bahkan kepada pejabat tinggi negara. Namun mereka juga sadar, apabila melakukan kritik maka mereka secara etis harus mengundurkan diri. Itulah yang dilakukan di Jepang, tatakrama, sopan santun di elit birokrasi Jepang.
Manusia Jepang berusaha damai, harmonis satu sama lain. Berusaha agar tidak ada friksi di dalam satu organisasi. Namun kalau terjadi friksi, apalagi sampai pertentangan dengan pimpinannya, biasanya pengeritik akan mengundurkan diri sendiri dari organisasi tersebut.
Artinya, kritikan (beda pendapat) merupakan hal yang bebas dilakukan di Jepang dan dilakukan dengan benar serta elegan, sesuai fokus bidang yang dilakukan dengan argumentasi yang benar beserta data dan sebagainya. Kritikan tidak dilakukan terhadap pribadi atasan atau pribadi pejabat yang ada di atasnya. Demikian pula sebaliknya, atasan tidak cengeng atau semena-mena mengeritik pejabat yang di bawah.
Setelah dia mengundurkan diri biasanya dilakukan pula (kalau masih mau komplain) kritikan melalui pers. Tetapi kalau sudah lama mengundurkan diri biasanya tidak melakukan apa-apa, diam saja. Kecuali dia didekati wartawan dan dimintai komentarnya. Jadi bukan dari si pengeritik sendiri yang ingin melemparkan kritikan ke luar. Tetapi karena dipancing dan ada pendekatan dari pihak ketiga yang tidak dia rencanakan.
Hal tersebut dilakukan karena di dalam masyarakat pun, setelah dia pensiun, harus bisa menjaga keseimbangan, keharmonisan kedamaian suasana dalam negeri Jepang, karena dia bekas pejabat, masih besar pengaruh opininya di masyarakat. Apabila dia mengeritik bahkan menimbulkan gejolak di masyarakat, si pengeritik biasanya akan dihakimi oleh masyarakat dan dia akan disingkirkan dari masyarakat kalau masyarakat tidak senang kepadanya. Ini lebih bahaya karena akan berdampak seumur hidup buatnya.
Jadi sebenarnya keharmonisan di Jepang jauh lebih penting, apalagi komentar seorang pejabat tinggi, bahkan seorang Kepala Negara, biasanya akan berdampak sangat luas di Jepang. Penghakiman dan penghukuman oleh masyarakat, jelas sangat terasa, sangat kuat dan bisa fatal akibatnya di Jepang.
Lihat saja kasus sederhana, hanya dapat uang lima juta rupiah dari seorang wanita keturunan Korea yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri, Menlu Seiji Maehara segera mengundurkan diri karena citranya di masyarakat tercemar terhadap dirinya gara-gara terima uang, walaupun menurut kita mungkin masalah kecil. Maehara tak mau gara-gara dia, suasana di kabinetnya menjadi tidak harmonis.
Masyarakat Jepang lebih ingin melihat hasilnya, fokus kerja pemimpin negaranya sangat diperhatikan. Termasuk pula komentar, gerak, pakaian sampai ke urusan pribadinya. Kalau pemimpin negara malah menimbulkan kekisruhan di masyarakat, jelas tidak akan memberikan dampak positif (bumerang) bagi pemimpin negara itu. Hasil nyata, saat pemilu, partainya pasti kalah.
*) Penulis adalah Pemred Majalah JIEF (www.jief.biz/news/), domisili lebih 20 tahun di Tokyo, Jepang.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.