Saat Terakhir Sang Profesor Tepati Janjinya dengan Kematian
Pada pekan kedua Mei lalu, program Foreign Correspondent ABC mendampingi ilmuwan asal Kota Perth, Profesor David Goodall (104), untuk…
"Dia bisa saja mengesampingkan media," kata Duncan Goodall.
"Namun dia malah mengambil pilihan yang sangat sulit untuk menarik semua orang... mengubah keadaan menjadi lebih baik."
Foreigners using the \'Swiss option\'
David Goodall is one of at least 21 Australians who have used Swiss laws to end their lives since 2010. More than 1,400 foreigners have used one of Switzerland\'s biggest right-to-die organisations, Dignitas, in that time. Last year the number was 215. The main countries they came from in 2017 were Germany, France and the UK:Country | Number | Country | Number |
---|---|---|---|
Germany | 71 | Israel | 11 |
France | 42 | Italy | 9 |
UK | 34 | Austria | 4 |
USA | 16 | Norway | 3 |
Canada | 12 | Australia | 3 |
*Another agency, lifecircle, says it assisted three Australians, including Dr Goodall, to commit suicide in the past seven years.
Perpisahan ke keluarga
Sebelum memenuhi janjinya di Swiss, Dr Goodall mampir terakhir kalinya ke daerah perkebunan anggur Bordeaux di Prancis barat daya untuk menemui keluarganya di sana.
Saat itu sedang musim semi dan tanaman menjalar yang berjejer rapi di perbukitan sedang memekarkan daun-daun baru.
Duduk di bawah sinar matahari, Dr Goodall tampak bersemangat memberi makan kambing dan kuda milik menantunya Hana Goodall.
Keluarganya di Perancis mengetahui keputusannya ini hanya beberapa minggu sebelumnya. Meski mendukungnya, tidaklah mudah bagi mereka menerimanya.
"Pertama kali hal itu sangat mengejutkan," kata cucunya, Daniel, yang berusia 30 dan memasakkan makanan enak buat sang kakek.
"Tapi setelah dipikir lagi, saya bahagia untuk David. Masih sedih untuk saya sendiri, tapi bahagia untuknya," katanya.
"Ini menjadi pengalaman yang sangat aneh, memiliki sebuah janji dengan kematian," ujar Daniel mengenai rencana kakeknya itu.
Daniel Goodall dan saudaranya Linda memutuskan pergi ke Swiss bersama kakek mereka di hari-hari terakhirnya.
Daniel selalu gelisah. "Tak mungkin mengetahui bagaimana saya akan bereaksi ketika saatnya tiba," katanya.
\'Opsi Swiss\'
Setibanya di Swiss beberapa hari kemudian, kisah Dr Goodall pun menarik perhatian media internasional. Kru televisi dan fotografer mendatangi hotelnya di pusat kota.
Di balik layar, organisasi Lifecircle menyiapkan dua dokter untuk menilai keadaan pikiran Dr Goodall.
Para dokter ini harus yakin bahwa Dr Goodall mampu membuat sendiri keputusan terakhir ini.
Dr Goodall datang ke Swiss karena negara itu memiliki UU tentang bunuh diri yang dibantu, paling liberal di dunia.
Sudah lebih 50 tahun KUHP Swiss memungkinkan hal itu selama orang yang memberikan bantuan, tidaklah memiliki motif mementingkan diri sendiri.
Dan tidak ada pembatasan tempat tinggal. Artinya orang asing juga bisa mendapatkan bantuan untuk mati di Swiss.
Hal ini memunculkan fenomena "pariwisata bunuh diri", dan tercatat lebih 200 orang asing melakukan perjalanan sekali jalan ke Swiss setiap tahun.
Memang tidaklah semua orang Swiss mendukung hal itu.
Psikolog dan anggota dewan kota, Annemarie Pfeifer, bahkan menganggap hal ini mencoreng reputasi Swiss.
"Kami adalah pelopor Palang Merah, yang ada di seluruh dunia dan sangat membantu orang," katanya.
Dia khawatir UU tentang bunuh diri yang dibantu merusak nilai-nilai kepalangmerahan, yaitu "membantu orang untuk hidup".
Dengan meningkatnya jumlah kasus bunuh diri yang dibantu, Pfeifer khawatir akan mendorong orang tua lainnya yang merasa hidup mereka "tidak lagi berharga".
Di Kota Basel, cucu David Goodall asal Amerika, Duncan, juga kesulitan mencerna ide bunuh diri yang dibantu.
"Saya masih bereaksi mendalam ketika memikirkannya," katanya.
"Siapa yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri? Mengakhiri hidup sendiri menjijikkan bagio saya."
Setelah Duncan mendiskusikannya dengan kakeknya, dia pun bisa melihatnya dari sudut pandang sang kakek.
"Dia kehilangan akses ke hal-hal yang sangat dia cintai. Jadi dia menjalani kehidupannya demi hidup dan tidak melakukan apa yang sangat ingin dia lakukan," katanya.
"Setelah memikirkannya ... saya pun menerimanya," ujar Duncan.
Pada sore hari sebelum kematian Dr Goodall, Exit International menyelenggarakan konferensi pers.
Mengenakan baju hangat berlogo \'Aging Disgracefully\', Dr Goodall memanfaatkan kesempatan itu menyampaikan sikapnya.
"Saya sangat menyesal karena Australia ketinggalan dari Swiss," katanya.
Di usianya ini, kata Dr Goodall, dia seharusnya "bebas memilih waktu yang tepat" untuk kematiannya.
Hari terakhir pun tiba
Pada pagi hari menjelang kematian Dr Goodall, hujan turun di kota itu.
Hujan yang lembut khas musim semi.
Dr Goodall bangun pagi-pagi. Putrinya, Karen Goodall-Smith, meneleponnya dari Perth.
Untuk pertama kalinya, ayahnya yang sangat rasional dan tidak emosional menyampaikan betapa dia mencintainya.
"Menyadari dia akan mati hari itu dan saya tidak akan pernah bicara dengannya lagi. Begitu berartinya saya berbicara dengannya dan mendengarkan hal itu," katanya.
Saat matahari naik sepenggalah, Dr Goodall yang duduk di kursi roda diarahkan ke ruangan tempat pekerja media sedang menunggu.
Dr Goodall dan cucu-cucunya duduk di sekitar meja, diapit oleh kamera, menandatangani berbagai dokumen yang ditulis dalam tiga bahasa.
Dia tampak tegang tetapi masih tajam, mendebat isi sebuah dokumen yang mengacu pada penyakitnya.
"Saya tidak sakit. Saya hanya ingin mati," ujarnya bersikeras.
Cucu-cucunya terlihat kaget.
Begitu dokumen selesai, pekerja media pun keluar. Dr Goodall akhirnya bisa berbaring dan mengatur sendiri dosis mematikan yang akan masuk ke tubuhnya.
Tapi hal itu tak terjadi secepat yang dia harapkan. "Dia berbaring dan menutup matanya," ujar Duncan.
"Sekitar 30 detik kemudian dia membuka matanya dan melihat sekeliling dan bilang, \'Oh, agak lama ya\'," katanya.
Akhirnya, David Goodall pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Setelah kematian kakeknya itu, Duncan masih mencoba memahami apa yang telah terjadi.
Emosinya berkecamuk dan dia berjuang mendamaikan kehidupan dan kematian.
"Kita tidak tahu bagaimana memikirkan hal ini. Kita berpikir kehidupan manusia bernilai tinggi dan kita harus menjaganya dengan segala cara. Namun ada kalanya hal itu tidak terjadi," katanya.
Duncan sangat terkesan dengan kebulatan tekad kakeknya.
"Dia membuat kematiannya berarti. Dia melihat hal inilah yang bisa dia lakukan dalam membantu mereka yang datang kemudian. Saya kira itu hebat."
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.