Disinformasi Membuat Masyarakat Sulit 'Move on' Dari Pilpres 2019
Rangkaian perhelatan pesta demokrasi Pemilu 2019 nyaris rampung dengan telah ditetapkannya Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Namun…
Setuju dong, udahlah selesai itu semua, lanjutkan hidup lagi seperti biasa, ngapain ngurusin pilpres lagi, mending urus pekerjaan kita.
Menurut anda apakah para pendukung dari dua kubu harus menyudahi perseteruan?
Kalau menurut saya situasi diantara pendukung kalau yang orang awam sih udah biasa aja, pilpres udah selesai ya udah aja, kecuali orang yang punya kepentingan, kita gak tahu kepentingannya apa kok sampai segitunya bela kubunya, pasti ada kepentingan.
Harapan saya sih yang penting jangan panas-panasan lagi lah, kalau panas, kasian pebisnis, ekonomi jadi gak stabil. Kalau situasi politik masih panas begini, kita makin sering digoyang sama asing, karena gak stabil, tapi kalau kita stabil politiknya pasti stabil juga ekonomi kita.
Kayak kemarin kerusuhan 22 Mei, jadi gak tenang tuh masyarakat dan pebisnis juga. Saya sampai gak masuk kantor 3 hari.
Jadi harapan saya kondisi politik kita semua aman, kita sama-sama orang Indonesia jadi ayo bareng-bareng majukan negara kita. Karena gimana juga, kita makan dan tinggal disini.
"Siapapun yang terpilih itu yang terbaik, dia bapak kita semua"
Adi Setianto, 23, karyawan
Apakah sudah menerima hasil pilpres 2019 dimana Jokowi dan KH Ma\'ruf Amin yang menjadi Presiden dan Wapres 2019 -2024?
Saya kemarin golput, jadi bagi saya siapa yang terpilih itu artinya ibaratnya Bapak kita gitu loh. Dan kalau aturannya sudah ditetapkan seperti itu ya itu artinya memang dia udah pilihan masyarakat.
Setuju dengan seruan melupakan pilihan politik di pilpres 2019?
Gak masalah, saya gak fanatik 01 atau 02, jadi mana yang jadi presiden itu artinya yang terbaik lah.
Menurut anda apakah para pendukung dari dua kubu harus menyudahi perseteruan?
Tolong dihentikanlah sengit-sengitan dan sahut-sahutan antar pendukung, kan kita mau aman damai, intinya biar Indonesia maju. Tapi saya baca-baca di internet, sayang aja kalo liat elit politik komentarnya masih manas-manasin, kan mereka seharusnya jadi panutan, gak eloklah ucapan mereka yang seperti itu.
Sulit \'move on\' karena disinformasi

Sementara itu pengamat dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wahyudi Akmaliah menilai hal mendasar yang membuat banyak masyarakat masih belum beranjak dari dukung mendukung kubu paslonnya di pilpres 2019 ini adalah bukan sekedar perkara \'gagal move on\', tapi karena disinformasi yang digunakan dalam politik elektoral.
Disinformasi yang dimaksudnya adalah penyebaran informasi yang tidak benar atau kabar bohong, hoaks, agitasi yang disengaja untuk menjatuhkan atau men-deligitimasi lawan politik. Disinformasi ini berlangsung di kedua kubu.
Wahyudi mencontohkan disinformasi di kubu 01 yang menyerang Prabowo sebagai sosok yang Islamis, radikal, anti NKRI dan sebagainya.
Sementara ia menyoroti disinformasi oleh kubu 02 yang dikatakannya sudah dilakukan sebelum pencoblosan berlangsung hingga sengketa pilpres berakhir di MK.
"Sebelum voting mereka sudah bilang kalau kalah berarti mereka dicuraing. Artinya mereka sudah membangun pra kondisi disinformasi seolah-olah mereka sudah pasti menang dan membangun alibi kalau kalah pasti karena dicurangi."
"Lalu kemudian mereka menolak atau tidak percaya pada hasil quick count, terus tidak percaya pada KPU, dan mereka mengaku dicurangi terus menerus walau ketika sampai di MK, Itu sebenarnya tidak ada bukti-bukti yang jelas mengenai proses kecurangan itu, tapi Mereka terus membangun basis ketidakpercayaan itu dan ini diterima oleh para pendukungnya sebagai kebenaran."
Alumni program International Peace Studies, Universidad Para Lapaz, Costa Rica, Amerika Tengah ini mengatakan disinformasi yang beredar ini mempengaruhi paparan informasi yang diterima oleh pendukung masing-masing kubu karena mekanisme logaritme media sosial.
"Akhirnya terbentuklah kebenaran versi 01 dan kebenaran versi 02, sehingga walaupun kemudian ada fakta-fakta pendukung yang menjelaskan kalau apa yang disebut kebenaran bagi mereka itu salah dan apa yang disebut salah itu benar, itu tidak akan berpengaruh buat mereka."
Wahyudi Akmaliah memperkirakan rekonsiliasi diantara pendukung dari kedua kubu akan sulit tercapai jika tidak diawali oleh sikap para elit politik yang menjadi panutan bagi para pendukungnya.
"Solusinya elit politik 02 harus mengakui kalau mereka kalah dan akan mereka berjuang lebih lanjut. Tapi yang terjadi kan mereka tidak pernah mengaku kalah, sebaliknya mereka mengemukakan narasi kita serahkan pada Alloh SWT, mereka sudah berjuang sekeras mungkin dan seterusnya. Elit politik lebih mementingkan merawat followernya ketimbang mengakui kekalahan."
"Tanpa rekonsiliasi di tingkat elit, logaritma medsos atau paparan informasi yang beredar di kubu mereka tidak akan berubah. Dan itu baru akan berubah kalau ada parpol dari kubu 02 pindah ke kubu 01."
Sementara menanti rekonsiliasi di tingkat elit, masyarakat awam menurut Wahyudi bisa menginisiasi rekonsiliasi di akar rumput.
"Bagi pendukung 01, karena sudah menang sebaiknya jangan \'ngegas\' dulu, mereka cukup diam saja. Dan bagi pendukung 02, ya harus lebih melakukan kontrol diri terhadap hasil pilpres yang memang tidak sesuai dengan yang diinginkan apalagi jangan menggunakan sentimen agama kalau pilihan mereka adalah yang diridhoi Tuhan dan sebagainya." kata Wahyudi.
Meski demikian Wahyudi Akmaliah meyakini apa yang terjadi di masyarakat saat ini hanya bersifat sementara. Seiring berjalannya waktu akan terjadi normalisasi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
"Sikap-sikap kekecewaan, penolakan, perseteruan ini hanya bersifat sementara. Dia akan mengendap tapi dalam momentum tertentu akan keluar lagi. Seperti pada momentum pilkada. Tapi event politik kita yang mendatang masih cukup lama," tambahnya.
Ikuti berita-berita menarik lainnya dari situs ABC Indonesia disini.