Soal Impor Garam: Politisi PAN Kritik Pemerintah, Ada PP yang Berpotensi Langgar Undang-undang
PP ini menurut Viva Yoga, berpotensi melanggar pasal 37 UU Nomor 7 Tahun 2016.
Penulis:
Srihandriatmo Malau
Editor:
Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Importasi garam industri berpotensi melanggar Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi kepada Tribunnews.com, Senin (26/3/2018) mengatakan, Kementerian Perdagangan telah menerbitkan izin impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton, sesuai hasil rapat koordinasi terbatas di Kemenko Perekonomian.
Izin impor diberikan kepada 21 perusahaan swasta dan garam impor untuk industri sudah ada yang tiba di pelabuhan.
Kemudian, terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman untuk Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.
PP ini menurut Viva Yoga, berpotensi melanggar pasal 37 UU Nomor 7 Tahun 2016.
Di Pasal 37 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2016, ia menjelaskan, impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Namun di PP Nomor 9 Tahun 2018, Pasal 3 ayat (2), imbuh Viva Yoga, dalam hal impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman untuk bahan baku dan bahan penolong industri diserahkan pelaksanaannya kepada kementerian perindustrian.
"Hal ini menyebabkan terjadi potensi pelanggaran atas UU Nomor 7 Tahun 2016," tegas Viva Yoga.
Kenapa demikian?
Pertama, menurut dia, UU telah memberi kewenangan bahwa rekomendasi impor kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Namun dengan terbitnya PP Nomor 9 Tahun 2018, terjadi perubahan otoritas pembuat rekomendasi impor, dari KKP ke kementerian perindustrian.
Kedua, PP seharusnya diterbitkan dalam rangka mengatur pelaksanaan dari UU.
PP tidak boleh menambahkan norma baru yang justru bertentangan dengan noma dasarnya dan/atau mengakibatkan terjadi perbedaan penafsiran.
"Seharusnya dalam merumuskan PP berpedoman pada asas yg tepat, yaitu lex superior derogat lex priori, aturan lebih tinggi menghapus aturan yang rendah," jelasnya.
Atau, lebih lanjut, aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Lebih lanjut ia memberikan sejumlah catatan penting, yakni pemerintah harus melindungi keberadaan petambak garam rakyat, mulai dari penyerapan produksi, penguatan kapasitas kelembagaan petambak, stabilitas harga, dan pasokan.
Baca: PO Gunung Harta Belanja 6 Bus Maxi Scania dan Mercedes-Benz untuk Remajakan 3 Trayek Bus Malam
Baca: Kalau Rupiah Terus Loyo, Siap-siap Harga Jual Mobil Akan Naik
Selain juga meminta Satgas Pangan memonitor dan mengawasi secara intensif importasi garam industri di lapangan.
karena dia berharap, jangan sampai terjadi kebocoran garam industri membanjiri pasar domestik dan konsumsi.
Hal ini seringkali terjadi sehingga berimplikasi kepada menurunnya penyerapan garam rakyat.
Setiap tahun, bangsa Indonesia selalu mengimpor garam industri karena produksi lokal tidak mencukupi kebutuhan industri nasional.
Meski garis pantai Indonesia panjang, namun tidak seluruhnya dapat digunakan sebagai lahan garam.
Perlu teknologi modern agar dapat mendorong kualitas produksi garam nasional.
Terakhir kata dia, karena saat ini PP Nomor 9 Tahun 2018 telah diundangkan, ia mengusulkan perlu diajukan yudisial review ke Mahkamah Agung (MA).(*)