BI Diminta Cetak Uang Rp 600 Triliun untuk Tangani Corona, Ekonom: BI Bukan Bank Sentral AS
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan tidak mudah bagi BI melakukan kebijakan moneter yang tidak lazim seperti itu.
Penulis:
Fitri Wulandari
Editor:
Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Usulan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang meminta Bank Indonesia (BI) mencetak uang Rp 600 triliun untuk menangani dampak virus corona (Covid-19) dinilai bukan solusi yang tepat.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan tidak mudah bagi BI melakukan kebijakan moneter yang tidak lazim seperti itu.
"Usulan ini perlu dikaji secara hati-hati, karena nggak segampang itu BI cetak uang," ujar Bhima, kepada Tribunnews, Kamis (7/5/2020) sore.
Baca: Berandai Jadi Presiden, Rizal Ramli Ancam Pelaku Politik Uang Dikirim ke Pulau di Selatan Kalimantan
Menurutnya, harus ada underlying asset, karena nilai cetak uang yang diusulkan Banggar DPR bukan merupakan angka yang kecil.
Bhima kemudian menegaskan bahwa BI tidak bisa asal mencetak rupiah karena nilainya tentu berbeda dengan dolar Amerika Serikat (AS) yang menjadi mata uang internasional karena pergerakannya yang relatif stabil.
"BI kan bukan Bank Sentral AS yang cetak dolar. Kalau rupiah dicetak, siapa yang mau pakai? Beda dengan dolar, dipakai 85 persen transaksi ekspor impor dunia," tegas Bhima.
Selain itu, kata dia, konsekuensi dampak terhadap inflasi juga perlu diperhitungkan.
Di tengah pandemi corona yang berdampak negatif pada semua sektor termasuk pangan, usulan seperti ini pun dianggap kurang ideal.
"Indonesia saat ini sudah dihadapkan dengan prediksi krisis pangan, jangan lagi ditambah dengan potensi inflasi tinggi," kata Bhima.
BI Tegaskan Tidak Akan Cetak Uang untuk Tangani Dampak Corona
Dalam menangani dampak ekonomi yang disebabkan pandemi virus corona (Covid-19), Bank Indonesia (BI) memastikan tidak akan melakukan pencetakan uang.
Pernyataan tersebut disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam live streaming video conference terkait Perkembangan Ekonomi Terkini, Rabu (6/5/2020).
Menurutnya, hal tersebut bukan merupakan praktik kebijakan moneter yang terbiasa dilakukan BI.
Baca: Waketum PAN: Hanafi Rais Mundur dari Partai dan DPR Tapi Masih Kader PAN
Baca: Pria di Bali Ini Ditangkap Polisi, Diduga Sebar Hoaks Maruf Amin Terpapar Covid-19
Baca: PLN Buka-bukaan Metode Penghitungan kWh yang Dikeluhkan Warga Mahal
"Pandangan-pandangan BI (perlu atau tidaknya) mencetak uang, itu bukan praktik kebijakan moneter yang lazim dan tidak akan dilakukan di Bank Indonesia," ujar Perry, pada kesempatan itu.
Perry menambahkan, kebutuhan masyarakat bisa diukur dari angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Namun demikian, ia menekankan bahwa praktik ini tentunya harus sesuai dengan tata kelola Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Misalnya pertumbuhan ekonomi 5 persen dan inflasinya 3 persen, kurang lebih kenaikan pencetakan uang sekitar 8 persen. Kalau ingin tambah stok barangkali 10 persen, keseluruhan proses ini sesuai tata kelola dan diaudit BPK," kata Perry.
Baca: Ekonomi RI Melambat, Kuartal I Hanya Tumbuh 2,97 Persen, Prediksi BI-Sri Mulyani Pun Meleset
Cetak Uang
Sebagai informasi, beberapa hari lalu Badan Anggaran DPR RI mengusulkan ke pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun.
Cetak uang lebih banyak, bertujuan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari dampak virus Corona (Covid-19).
Tak cuma DPR, mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, juga mendukung wacana yang dilontarkan para wakil rakyat tersebut. Bahkan menurut versi Gita, uang yang dicetak diusulkan jauh lebih besar, sebanyak Rp 4.000 triliun.
Wacana Cetak Uang
Wacana cetak uang baru dilontarkan setelah melihat defisit APBN yang melebar di atas 5 persen dari sebelumnya hanya 1,75 persen.
Namun pencetakan uang bisa memicu hal negatif. Jika tak bisa dikendalikan, cetak uang yang terlalu banyak bisa memicu inflasi yang tinggi yang pada akhirnya bisa merugikan masyarakat.
Uang yang beredar akan semakin banyak, membuat nilai uang terus-menerus berkurang yang membuat harga-harga barang melambung.
Nilai tukar uang asing sangat dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar. Bertambahnya rupiah bisa berakibat turunnya nilai kurs. Apalagi, rupiah bukan mata uang yang bisa diterima di dunia seperti dollar AS atau yen Jepang.
Risiko utang luar negeri yang naik tajam merupakan efek domino dari anjloknya mata uang rupiah terhadap mata uang asing. Semakin nilainya merosot, maka otomatis membuat utang luar negeri bisa semakin membengkak.