Pajak Karbon Dukung Pertumbuhan Energi Terbarukan
Kebijakan pemerintah yang akan menghadirkan pajak emisi karbon memperbesar harapan energi terbarukan dapat berkembang lebih cepat dan kompetitif
Penulis:
Choirul Arifin
Editor:
Eko Sutriyanto
Misalnya, PLTA Batang Toru berkapasitas 510 MW di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara diatur untuk berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sekitar 1,6 juta ton per tahun atau setara dengan kemampuan 12 juta pohon menyerap karbon.
Pemanfaatan energi terbarukan seperti PLTA sangat penting untuk upaya mitigasi perubahan iklim yang kini makin menjadi kenyataan, seperti peningkatan curah hujan, banjir, dan kekeringan berkepanjangan.
Pada akhirnya, perubahan iklim dapat mengakibatkan kemusnahan semua spesies dan kehidupan di muka bumi.
Berdasarkan Persetujuan Paris pada 2015, semua negara harus menurunkan emisi karbonnya termasuk di sektor energi untuk menjaga menjaga ambang batas suhu bumi di bawah dua derajat Celcius dan berupaya menekan hingga 1,5 derajat Celcius di atas suhu bumi pada masa pra-industri.
Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 29% dengan usaha sendiri pada 2030, dan bisa mencapai 41% jika ada dukungan internasional.
Salah satu instrumen untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca adalah perlu adanya ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon. Pajak karbon juga untuk sumber pendanaan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Pajak karbon pertama kali diterapkan di Finlandia pada 1990. Kemudian diikuti negara-negara Skandinavia lainnya, seperti Swedia dan Norwegia pada 1991. Selain itu, negara-negara lainnya juga ikut menerapkan kebijakan pajak karbon, yakni Jepang (2012), Inggris (2013), dan Tiongkok (2017).
Di wilayah Asia Tenggara, Singapura menjadi negara pertama yang menerapkannya pada 2019.