Ekspor Porang dan Edamame Indonesia Melonjak di Masa Pandemi karena Perubahan Gaya Hidup
Badan Karantina meningkatkan ekspor melalui berbagai kegiatan GRATIEKS, peningkatan informasi, dan menjalin kerjasama dengan entitas pusat dan daerah
Penulis:
Choirul Arifin
Editor:
Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekspor sejumlah komoditi pertanian Indonesia seperti edamame dan porang ke sejumlah negara justru membukukan lonjakan di menunjukkan lonjakan di masa pandemi Covid-19. Lonjakan itu dipengaruhi perubahan gaya hidup masyarakat dunia untuk menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh.
“Kami sangat terbuka dan mendukung ekspor produk andalan seperti edamame dan porang. Silakan menghubungi badan karantina pertanian di daerah masing-masing untuk berdiskusi dan berkoordinasi apabila ada kendala,” ujar Bambang, Kepala Badan Karantina Pertanian Kementan RI saat menjadi pembicara utama dalam diskusi virtual bertema Mendorong Ekspor Berbasis Kawasan yang diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan), Sabtu, 7 Agustus 2021.
Bambang menegaskan, Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementerian Pertanian RI selalu mendukung upaya peningkatan ekspor pertanian sesuai program Gerakan Tiga Kali Lipat Ekspor (Gratieks) seperti arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo demi mendorong ekspor komoditas pertanian melalui berbagai aspek.
Bambang menjelaskan Badan Karantina berupaya meningkatkan ekspor melalui berbagai kegiatan GRATIEKS, peningkatan informasi, dan menjalin kerjasama dengan entitas terkait baik di pusat maupun daerah. Harapannya agar dapat menambah kemanfaatan atau kesejahteraan bagi petani dan pelaku agribisnis.

Erwan Santoso, Presiden Direktur PT Gading Mas Indonesia Teguh (GMIT) menjelaskan, perusahaannya mulai membudidayakan edamame sejenis kacang-kacangan yang memiliki protein dan antioksidan tinggi.
Baca juga: Bea Cukai Bantu Ekspor Perdana Produk UMKM Asli Luwu Timur
Sejak 2015, GMIT membeli edamame dari para petani mitra dan menjualnya ke pasar domestik. Jenis produk edamame untuk pasar domestik antara lain edamame segar, edamame beku (edashi), mukimame (edamame kupas). Di pasar ekspor, perusahaan menjual produk edamame beku, mukimame, dan okra beku.
“Tren pasar ekspor edamame sangatlah bagus. Di kala pandemi, ada kenaikan permintaan di negara tujuan ekspor. Baru tahun lalu, kami mulai ekspor edamame,”ujar Erwan.
Erwan menjelaskan, di dalam negeri produk edamame segar menjadi pilihan konsumen yang sebagian besar diserap kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali. Pilihan produk segar menunjukkan pertumbuhan ketika munculnya pandemi Covid-19.
“Sekarang ini, konsumen beralih kepada produk segar. Perusahaan dapat menjual ratusan ton edamame segara ke berbagai kota besar terutama Bali. Sebab, banyak wisatawan terutama asal Jepang yang mengunjungui Bali,” ujarnya.
Erwan menjelaskan saat ini perusahaannya berkomitmen dan fokus kepada manajemen keamanan pangan (food safety).
Konsep Food Safety ini menuntut kemampuan industri pengolahan menerapkan sistem keamanan pangan di setiap unit proses dan pengadaan bahan baku, sehingga produknya aman dikonsumsi.
Penerapan food safety ini melibatkan banyak dokuemen yang harus disediakan bagi tujuan ketertelusuran jika terjadi komplai atau ketidaksesuaian.
Produksi edamame GMIT mencapai 6.000 ton per tahun yang telah menerapkan standar internasional dengan memerhatikan food safety, food quality, dan traceability.
Perusahaan ini juga menjalin pola kemitraan KSO ditujukan mengubah perilaku petani dari cara konvensional menuju pertanian berbasis standar global sehingga dicapai hasil sesuai spesifikasi pembeli. Dalam program KSO, GMIT memberikan dukungan berupa teknik budidaya edamame, memberi bantuan modal, dan jaminan pasar.
Ketua DPW Pegiat Petani Porang Nusantara, Deny Welianto di kesempatan yang sama mengatakan, belum standarisasi harga porang secara nasional. "Itu yang menjadi problem bagi petani untuk pengembangan budidaya porang secara masif," kata dia.
Selain itu, juga faktor serapan pasar lantaran tidak selalu ada pabrik di wilayah tertentu.
Saat ini ada kurang lebih sekitar 18-19 pabrik yang terpisah-pisah dan itu akan membuat jarak mobilisasi petani menjadi lebih berat, atau menambah biaya post produksi ketika panen. Di sektor budidaya, untuk mulai budidaya porang itu tidak harus skala besar atau satu hektar dua hektar. Memulai budi daya porang itu berkaitan dengan budget dan target.
Kepala UPT Karantina Pertanian Balikpapan Abdul Rahman mewakili Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati, A.M Adnan meminta petani mulai menanam porang dengan standar Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Handling Pracliices (GHP), seperti yang persyaratan China.
Dia juga meminta petani porang agar tidak menggunakan pupuk kimia sebagaimana yang disyaratkan dalam draf protokol ekspor chip porang ke Tiongkok.
Dalam penutup webinar, Bambang berpesan dan mengajak mengajak para pelaku usaha dan petani dalam negeri untuk disiplin terhadap tuntutan pasar global.
"Saya ingin mengajak kawan-kawan kita semua untuk sadar diri untuk disiplin terhadap tuntutan pasar global. Setiap bangsa di dunia ini beruapaya mengamankan warganya dari potensi bahaya bagi kesehatan," ujarnya.
"Saya pikir tanggung jawab ini juga melekat di kita terkait erat dengan tugas Balai Karantina yang juga bertangung jawab mengamankan resiko-resiko dari bahaya bagi kesehatan," kata Bambang.
Pihaknya mendorong para petani dan pengusaha agar menyesuaikan pangsa pasar internasional agar produk pertanian dalam negeri bisa mendapatkan harga jauh lebih bagus.