Harga Minyak Goreng
BLT Minyak Goreng Bisa Menjadi Solusi Jangka Pendek Tapi Bukan Jalan Keluar Mengakhiri Polemik
BLT minyak goreng bisa menjadi solusi jangka pendek tapi bukan jalan keluar untuk mengakhiri polemik ini.
Penulis:
Reynas Abdila
Editor:
Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng hanya semacam obat paracetamol.
Menurutnya, kerja paracetamol sebatas memberikan rasa kenyamanan tapi tidak dapat menyelesaikan masalah.
"Kalau keuntungan per liter Rp 6.000 saja. Bisa dibayangkan proyeksi keuntungan produsen mencapai Rp 828 miliar," tutur Nailul kepada Tribun, Kamis (7/4/2022).
Ia berpendapat obat paracetamol yang diberikan ke masyarakat ini hanya memberikan keuntungan semata bagi produsen.
Dengan target sasaran BLT minyak goreng sebesar 23 juta orang, artinya pemerintah harus mengucurkan dana subsidi mencapai Rp 6,9 triliun.
"Kalau subsidi minyak goreng ini dikalikan dua saja tentu sangat berbahaya bagi APBN, ditambah tidak ada kepastian kebijakan yang dilakukan pemerintah dengan hanya menunggu konflik Rusia-Ukraina reda," kata Nailul.
Ia menyayangkan sikap Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang sebelumnya berjanji akan mengumumkan mafia minyak goreng ke publik.
Baca juga: KSP Bantah Pemberian BLT Minyak Goreng Bermuatan Politis
Namun, faktanya sosok mafia minyak goreng tersebut sampai hari ini belum juga disampaikan.
"Ini sama saja pemerintah mengibarkan bendera putih minyak goreng melalui program BLT," ungkapnya.
Pihaknya setuju BLT minyak goreng bisa menjadi solusi jangka pendek tapi bukan jalan keluar untuk mengakhiri polemik ini.
Indef memandang tidak seharusnya negeri Indonesia yang kaya akan kelapa sawit justru mengalami krisis minyak goreng.
Penolakan Keras
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak kebijakan BLT minyak goreng dari pemerintah sebesar Rp 100 ribu per satu bulan.
Ia mengatakan bahwa rakyat tidak butuh subsidi minyak curah dan BLT.
"Rakyat butuh subsidi harga dan ketersediaan minyak goreng kemasan karena minyak goreng kemasan yang sehat. Kalau minyak curah yang disubsidi, pemerintah melanggar sendiri UU Konsumen," kata Said.
Dia menambahkan, saat ini yang rakyat butuhkan bukanlah BLT tapi harga minyak yang turun.
"BLT itu gudangnya korupsi. Semua Menteri Sosial kena kasus-kasus KPK karena BLT dan Bansos. Oleh karena itu, kami menolak BLT," kata dia.
Ia mencontohkan, nilai Rp 100 ribu per bulan BLT yang dibagikan ke rakyat, hanya akan membantu 20 juta sekian jiwa.
"Kalau penggunaannya adalah setiap orang adalah 5 liter per bulan, maka Rp 100 ribu yang BLT itu dibagi 5 liter, itu Rp 20 ribu. Jadi jumlah orang yang mendapatkan minyak kemasan dengan harga Rp 14 ribu bisa tiga kali atau empat kali lipat, jadi 80 juta orang bisa membeli minyak kemasan Rp 14 ribu," kata dia.
Maka itu, menurutnya, BLT sebaiknya dipindahkan untuk subsidi minyak kemasan, beriringan dengan subsidi minyak goreng curah.
"Orang enggak butuh BLT, yang dibutuhkan harga minyak goreng kemasan yang turun karena itu sehat ada kandungan perlindungan konsumennya," ujarnya. (Tribun Network/Reynas Abdila)