Legislator PDIP Sambut Baik Putusan MK Batalkan UU Tapera: Tabungan Harus Bersifat Sukarela
Anggota DPR RI dari PDIP Irine Yusiana Roba Putri menyambut baik putusan MK yang membatalkan Undang-Undang No 4 Tahun 2016 tentang Tapera.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Irine Yusiana Roba Putri, menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Menurutnya, keputusan tersebut sejalan dengan prinsip dasar tabungan yang seharusnya bersifat sukarela.
“Saya mengapresiasi keputusan MK tersebut karena jika Tapera merupakan tabungan, sifatnya memang harus sukarela. Dengan demikian, program Tapera akan berubah total, yaitu berfokus pada kepesertaan sukarela,” kata Irine saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (30/9/2025).
Irine menilai, perubahan status kepesertaan Tapera menjadi sukarela justru membuka peluang bagi pemerintah dan DPR untuk menyusun kebijakan perumahan yang lebih adil, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
“Ini menjadi peluang baik bagi pemerintah dan DPR untuk menghasilkan solusi perumahan yang adil dan menguntungkan masyarakat berpenghasilan rendah, karena Tapera sesungguhnya berfokus pada MBR,” ujarnya.
Lebih lanjut, legislator asal Maluku Utara itu menekankan pentingnya komitmen negara dalam menyediakan skema pembiayaan perumahan.
Baca juga: MK Putuskan Semua Pasal di UU Tapera Inkonstitusional, Minta DPR Tata Ulang
Dia mencontohkan, di sejumlah negara lain terdapat banyak model perumahan yang berhasil membantu kelompok berpenghasilan rendah.
Namun semua itu membutuhkan dukungan anggaran negara yang memadai.
“Ada banyak skema perumahan di negara lain yang menguntungkan masyarakat berpenghasilan rendah, tapi tentu butuh komitmen anggaran negara yang memadai,” ucapnya.
Irine memastikan, Komisi V DPR RI akan segera membahas model-model perumahan tersebut bersama Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP).
“Saya sebagai anggota Komisi V akan mendiskusikan model-model tersebut bersama Kementerian PKP supaya kita memiliki kebijakan perumahan yang adil dan berkelanjutan,” tandasnya.
Dalam sidang pembacaan putusan perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, Senin (29/9/2025), MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila belum dilakukan penataan ulang sebagaimana diamanatkan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
“Menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5863 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188,” sambungnya.
Baca juga: UU Tapera Dibatalkan, tapi ASN Serta TNI dan Polri Masih Wajib Bayar Iuran
Untuk diketahui, skema Tapera awalnya hanya untuk pegawai negeri yang dikelola pemerintah melalui Badan Pertimbangan Tabungan PNS atau Bapertarum PNS.
Tetapi dengan lahirnya UU 4/2016 dan Peraturan Pemerintah 25/2020 juncto PP 21/2024, seluruh pekerja dan masyarakat mandiri diikutsertakan dalam penyediaan rumah tersebut.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan penerapan Tapera secara seragam tidak adil bagi semua pekerja.
“Bahwa di sisi lain, sifat 'wajib' dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 diberlakukan tanpa membedakan pekerja yang telah memiliki rumah atau belum. Kewajiban seragam bagi seluruh pekerja, termasuk mereka yang sebenarnya sudah memiliki rumah atau masih mencicil rumah, menimbulkan perlakuan yang tidak proporsional,” ujar Enny.
Meski demikian, Mahkamah menolak untuk sekadar mengubah kata "wajib" menjadi "dapat". Alasannya, perubahan itu justru akan merusak keseluruhan logika hukum UU Tapera.
“Apabila sifat 'wajib' tersebut berubah menjadi 'dapat', maka keseluruhan mekanisme Tapera kehilangan logika normatifnya. Sanksi menjadi tidak berdasar, kewajiban penyetoran menjadi tidak bermakna, dan operasional kelembagaan Tapera menjadi tidak mungkin dijalankan sebagaimana tujuan pembentukan UU 4/2016,” kata Enny.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Putuskan Seluruh Pekerja Tidak Wajib Bayar Tapera
Oleh karena itu, MK menilai diperlukan penataan ulang menyeluruh terhadap desain Tapera, bukan sekadar revisi redaksional. Penataan ini harus mengacu pada Pasal 124 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Sebagai informasi, MK menggabung pemeriksaan tiga permohonan perkara pengujian materi UU Tapera. Tiga perkara dimaksud, yakni Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024, Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, dan Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024.
Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, yang putusannya dikabulkan MK, diajukan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).
Mereka mengujikan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan 72 ayat (1) UU Tapera. Pasal 9 ayat (1) UU Tapera berbunyi, “Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib didaftarkan oleh Pemberi Kerja.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.