Kamis, 2 Oktober 2025

Menkeu Purbaya Jelaskan soal Kilang Minyak Baru untuk Kurangi Impor: Cuma Pertamina Males-malesan

Di depan Komisi XI DPR, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap soal Pertamina yang tak kunjung membuat kilang minyak baru untuk mengurangi impor BBM.

Editor: Nuryanti
Kemenkeu Foto/Biro KLI-Leonardus Oscar H. C.
KILANG MINYAK PERTAMINA - Foto Menkeu Purbaya di DPR pada Selasa (23/9/2025). Di depan Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap salah satu solusi agar Indonesia tidak terus mengimpor bahan bakar minyak (BBM) adalah dengan membuat kilang minyak baru. Namun faktanya Pertamina hingga kini tak kunjung membuat kilang minyak baru tersebut, sehingga Indonesia harus terus menerus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan BBM. 

TRIBUNNEWS.COM - Di depan Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap salah satu solusi agar Indonesia tidak terus mengimpor bahan bakar minyak (BBM) adalah dengan membuat kilang minyak baru.

Namun faktanya Pertamina hingga kini tak kunjung membuat kilang minyak baru tersebut, sehingga Indonesia harus terus menerus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan BBM.

Padahal menurut Purbaya, Subsidi energi terus naik dari tahun ke tahun.

Untuk itu dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi XI DPR itu, Purbaya meminta anggota DPR untuk bisa mendesak Pertamina membuat kilang minyak baru.

"Subsidi energi naik terus dari tahun ke tahun energinya, kan kalau itu namanya ya BBM kan. BBM tuh solar, diesel itu impor banyak impor. Sebagian kita banyak impornya sampai puluhan miliar dolar setahun."

"Sudah berapa tahun kita mengalami hal tersebut? Sudah puluhan tahun kan. Kita pernah bangun kilang baru enggak? Enggak pernah."

"Sejak sampai sekarang enggak pernah bangun kilang baru. Jadi nanti Bapak-bapak kalau Ibu-ibu ketemu Danantara lagi minta Pertamina bangun kilang baru," kata Purbaya dalam Raker bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (30/9/2025), dilansir Kompas TV.

Lebih lanjut Purbaya mengungkap, pada 2018 lalu ia pernah meminta Pertamina untuk membuat kilang minyak baru.

Hal itu diungkap Purbaya semasa ia masih menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves).

Kala itu, Pertamina menjawab bahwa mereka akan membuat tujuh kilang minyak baru dalam waktu lima tahun.

Namun faktanya hingga kini tidak ada satupun kilang minyak baru yang dibangun oleh Pertamina.

Baca juga: Usai Dana MBG, Purbaya Ancam Tarik Anggaran Rumah Subsidi jika Penyerapan Tak Optimal

"Saya pernah  waktu saya di Kemenko Marves, saya pernah tekan mereka tahun 2018 untuk bangun kilang."

"Mereka janji mereka akan bangun tujuh kilang baru dalam waktu 5 tahun. Sampai sekarang kan enggak ada satu pun," tegas Purbaya.

Purbaya pun meminta DPR untuk bisa melakukan kontrol kepada Pertamina ini.

Karena menurut Purbaya, negara rugi besar jika terus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.

"Jadi Bapak tolong kontrol mereka juga. Dari saya kontrol, dari Bapak-bapak juga kontrol karena kita rugi besar. Karena kita impor dari mana? Dari Singapura. Minyak, produk-produk minyaknya," terang Purbaya.

Kini dengan jabatannya sebagai Menkeu, Purbaya tidak hanya ingin sebagai juru bayar saja dalam urusan pemenuhan BBM dalam negeri ini.

Purbaya berjanji akan turun tangan untuk mengecek apakah proyek-proyek yang selama ini diusulkan Pertamina benar-benar dijalankan.

Jika tidak, maka Purbaya tak segan untuk memotong anggaran untuk Pertamina.

Bahkan Purbaya menyebut, bila perlu ia juga akan mengganti Direktur Utama (Dirut) Pertamina.

"Jadi pada dasarnya kalau gitu sekarang saya bukan juru bayar saja. Saya akan masuk, saya akan lihat mereka jalankan apa enggak proyek apa proyek-proyek yang diusulkan."

"Kalau enggak kita potong uangnya juga, Pak. Saya kan pengawas, saya ganti aja Dirutnya. Artinya timbal balik," imbuh Purbaya.

Baca juga: Menkeu Purbaya Optimistis Rupiah Bakal Kembali Menguat Pada Pekan Depan

Menurut Purbaya, Indonesia sebenarnya bisa saja memiliki kilang minyak baru, namun hal ini tak kunjung terwujud karena Pertamina cenderung malas.

"Jadi ini saya pikir masukan yang bagus sekali dari DPR, gimana caranya kita memproduksi tadi (minyak) juga memperbaiki alat-alat produksi."

"Termasuk menyediakan alat produksi yang baru, yang selama ini kita gagal membangun. Jadi kilang itu bukan kita enggak bisa bikin atau kita enggak bisa bikin proyeknya, cuman 
Pertaminanya malas-malasan aja," tegas Purbaya.

Purbaya kemudian meminta DPR untuk aktif mengontrol Pertamina agar bisa membuat BBM lebih murah dan subsidi yang diberikan pemerintah juga tepat sasaran.

"Jadi tolong dari parlemen juga mengontrol Pertamina untuk hal tersebut. Jadi kita kerja sama, tujuan kita sama sebetulnya, mengurangi subsidi dan membuat apa subsidi yang ada pun lebih murah dan tempat sasaran," imbuh Purbaya.

Baca juga: Menkeu Purbaya Dicecar Komisi XI DPR soal Kompensasi BUMN Tahun 2024 Belum Dibayar

Subsidi Energi Belum Tepat Sasaran

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti distribusi subsidi energi yang dinilai belum ideal.

Mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), Ia menyebut, kelompok masyarakat sangat mampu, yakni desil 8 hingga 10, masih menikmati porsi signifikan dari subsidi yang seharusnya ditujukan bagi kelompok rentan.

Hal itu disampaikan Purbaya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR yang membahas realisasi kompensasi dan subsidi dalam APBN 2025, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2025).

“Subsidi energi sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama: harga minyak dunia, nilai tukar rupiah, dan volume konsumsi. Harga jual BBM dan tarif listrik memang sudah disesuaikan sejak 2022, tapi belum mencapai harga keekonomian,” ujar Purbaya.

Baca juga: Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Menkeu Purbaya Bahas Subsidi dan Kompensasi APBN 2025

Ia menegaskan, pemerintah berkomitmen meningkatkan ketepatan sasaran subsidi melalui pemanfaatan data terpadu subsidi energi nasional. Transformasi subsidi kini diarahkan berbasis penerima manfaat.

Purbaya menjelaskan, selama ini beban subsidi ditanggung negara melalui selisih antara harga keekonomian dan harga yang dibayar masyarakat. 

Contohnya, untuk Pertalite, masyarakat hanya membayar Rp10.000 per liter dari harga keekonomian Rp11.700. Artinya, APBN menanggung Rp1.700 per liter atau sekitar 15 persen.

Hal serupa terjadi pada solar dan LPG 3 kg. Harga solar yang dibayar masyarakat sebesar Rp6.800 per liter, padahal harga keekonomiannya Rp11.950. 

Negara menanggung Rp5.150 per liter atau sekitar 43 persen. Sementara untuk LPG 3 kg, subsidi bahkan mencapai 70 persen dari harga keekonomian.

Baca juga: Menkeu Purbaya Bantah Perintahkan Bank Himbara Naikkan Bunga Deposito Valas

“Pola serupa terjadi pada listrik, solar, dan minyak tanah. Ini adalah bentuk keberpihakan fiskal yang akan terus dievaluasi agar lebih tepat sasaran dan berkeadilan,” kata Purbaya.

Namun, ia mengingatkan bahwa distribusi subsidi energi saat ini masih belum tepat sasaran. Subsidi masih dinikmati oleh masyarakat kelas atas.

“Ke depan, kita akan terus berusaha agar subsidi dan kompensasi lebih tepat sasaran dan lebih berkeadilan,” pungkasnya.

Sebagai informasi, pagu subsidi dan kompensasi dalam APBN 2025 mencapai Rp 498,8 triliun. Hingga Agustus, realisasinya baru menyentuh Rp 218 triliun atau sekitar 43,7 persen dari total pagu.

(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Chaerul Umam)

 

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved