Virus Corona
Masyarakat Banyak yang Stres, Pemerintah Pertimbangkan Longgarkan PSBB
"Karena kita tahu kalau terlalu dikekang juga akan stres. Nah kalau stres itu imunitas orang itu akan akan melemah," katanya
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan saat ini pemerintah tengah memikirkan apa yang ia sebut relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena sejumlah pertimbangan.
Relaksasi PSBB yang dimaksud Mahfud MD adalah pelonggaran-pelonggaran dalam penerapan aturan PSBB, namun dalam praktiknya tetap mempertimbangkan aspek keselamatan.
Baca: Pemerintah Jamin Kelancaran Arus Logistik ke Masyarakat Selama PSBB Diberlakukan
Sejumlah pertimbangan terkait relaksasi PSBB yang disebut Mahfud antara lain keluhan masyarakat yang kesulitan mencari nafkah dan belanja.
Selain itu pemerintah juga mempertimbangkan tingkat stres masyarakat.
"Karena kita tahu kalau terlalu dikekang juga akan stres. Nah kalau stres itu imunitas orang itu akan akan melemah, juga akan menurun. Oleh sebab itu kita memikirkan mari kerjakan ini semua secara sabar bersama-sama," kata Mahfud dalam tayangan Berita Satu News Channel bertajuk Inspirasi Ramadhan pada Sabtu (2/5/2020).
Ia mencontohkan bentuk-bentuk relaksasi PSBB nantinya antara lain rumah makan dan tempat perbelanjaan akan bisa beroperasi dengan protokol khusus yang dirancang pemerintah.
"Misalnya rumah makan boleh buka dengan protokol begini, kemudian orang boleh berbelanja dengan protokol begini, dan seterusnya dan seterusnya ini sedang dipikirkan," kata Mahfud.
Karena itu menurutnya saat ini yang diperlukan adalah kesadaran bersama dari semua pihak untuk tetap mematuhi aturan keamanan yang diatur oleh pemerintah terkait covid-19 yang ada antara lain menjaga jarak fisik.
Baca: Usai Gerebek Istri, Suami di Kediri Malah Serahkan Pasangannya ke Selingkuhan, Begini Ceritanya
Hal itu karena menurutnya saat ini siapapun yang lengah akan bisa terkena covid-19
"Sekarang ini sama, sama-sama posisinya di depan covid itu sama, siapapun yang lengah akan diserang oleh sebab itu kita harus saling sama-sama menjaga jangan biarkan ditulari orang lain dan jangan juga menulari orang lain. Nah itulah sekarang protokol yang diatur oleh pemerintah," kata Mahfud.
Angka Perceraian dan KDRT Meningkat
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, memberlakukan kebijakan Work From Home (WFH) alias bekerja di rumah selama masa pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Pemberlakuan WFH itu berpotensi menimbulkan masalah, diantaranya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan meningkatnya angkat perceraian.
Hal ini diungkap dua orang dosen dari Universitas Indonesia.
Baca: Polisi Sesalkan Masih Ada Pemudik yang Kucing-kucingan dengan Petugas
Mereka yaitu, Imam B Prasodjo, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) dan Dave Lumenta, Dosen Antropologi FISIP UI.
Imam B Prasodjo menjelaskan kebijakan WFH membuat ayah dan ibu yang pada umumnya banyak menghabiskan waktu di rumah, sekarang secara tiba-tiba berinteraksi bersama-sama dengan anak di rumah.
Menurut dia, kebijakan WFH itu menimbulkan banyak perubahan di keluarga.
“Yang negatif, angka perceraian meningkat. Yang positif semakin paham apa yang terjadi dalam keluarga sendiri,” kata Imam B Prasodjo, pada sesi Forum Diskusi Salemba bertema “The New Normal: Menjalani Kehidupan Normal di Tengah Pandemi Covid-19”, Jumat (1/5/2020).
Baca: Perahunya Terbakar dan Meledak di Tengah Laut, Kasmin Nekat Nyebur
Selama ini, kata dia, karena ayah menghabiskan waktu bekerja di luar rumah, maka kerap tidak memperhatikan kondisi keluarga.
Dia mengharapkan agar terjadi dampak positif di keluarga selama penerapan WFH tersebut.
Baca: UPDATE Kasus Corona di Pabrik Sampoerna Surabaya: Karyawan Jalani Tes Swab, Risma Buat Protokol Baru
“Mudah-mudahan positif. Harapan kualitas keluarga menjadi bagian penting dari hikmah Covid,” ujarnya.
Sementara itu, Dave Lumenta, mengungkapkan terjadi peningkatan kasus KDRT selama penerapan lockdown atau karantina wilayah.
Baca: Kebijakan Pembebasan Narapidana Melalui Asimilasi Pilihan Rasional
“Selama lockdown (artikel,-red) yang saya baca di Eropa meningkat KDRT,” kata Dave.
Dia menjelaskan angka kekerasan itu meningkat karena dampak dari tingkat stres seseorang.
“Orang banyak belum terbiasa di rumah 24 jam sehari. Belum lagi ketakutan stres, ketidakpastian income (pendapatan,-red). Orang stress persoalan psikosomatik. Mengganggu relasi dengan anggota di rumah,” tambahnya.