Senin, 22 September 2025

Survei Nasional: Tingkat Kemiskinan di Jepang Melonjak

Kementerian Tenaga Kerja Jepang membuat survei nasional tahun lalu dan hasilnya diungkapkan Juli 2014.

Editor: Rendy Sadikin
Richard Susilo
Grafik kemiskinan Jepang. Haris biru garis kemiskinan relatif, garis merah garis kemiskinan anak-anak. 

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Kementerian Tenaga Kerja Jepang membuat survei nasional tahun lalu dan hasilnya diungkapkan Juli 2014.

Hasilnya cukup mengagetkan karena tingkat kemiskinan sejak ekonomi gelembung (bubble economy) akhir 1980-an awal 1990-an hingga dekarang terus meningkat dan kini cukup tinggi mencapai 16 persen lebih baik untuk tingkat kemiskinan relatif rata-rata secara umum maupun tingkat kemiskinan anak-anak.

Tingat kemiskinan relatif untuk angka rata-rata mencapai kenaikan 16,1 persen, yang berarti dalam enam orang satu orang miskin bukan main di Jepang.

Sedangkan angka kemiskinan anak-anak meningkat menjadi 16,3 persen, yang berarti juga sama, dari enam anak, satu anak adalah miskin.

Di dalam rumah tangga pun, khususnya untuk ibu tunggal (single mother) bersama anaknya, angka kemiskinan menjadi 54,6 persen.

Sedangkan tingkat kemiskinan untuk satu keluarga yang lengkap (suami istri) juga meningkat dengan angka kemiskinan menjadi 12,4 persen .

Kemiskinan di negara maju seperti Jepang inilah yang disebut dengan nama Kemiskinan Modern. mengapa bisa terjadi kemiskinan demikian?

Menurut ulasan survei tersebut karena banyaknya perceraian di Jepang. Tidak heran tingkat kemiskinan Single Mother di Jepang saat ini sangat tinggi yaitu 54,6 persen.

Ayah yang seharusnya memberikan tunjangan kepada anak, ternyata saat ini 74 persen ayah walaupun sudah cerai, tidak lagi memberikan tunjangan pertumbuhan bagi kehidupan anaknya yang biasanya dirawat oleh sang ibu. Itulah sebabnya menjadi semakin miskin seorang Single Mother.

Penyebab kedua adalah adanya depresi di Jepang. Stres kehidupan di Jepang membuat masyarakatnya semakin miskin.

Survei majalah Jepang Nikkan Spa baru-baru ini mengungkapkan, dari 200 responden laki dan wanita, usia 35-49 tahun di Jepang ternyata paling mengalami tingkat kemiskinan terbesar.

Sebanyak 46 persen mengalami penyakit depresi mental yang kuat sehingga menjadi semkain miskin.

Hal serupa dibuat survei oleh sebuah yayasan (NPO) tenohashi, ternyata hasilnya sama, yaitu 60 persen mengalami depresi mental dan kemiskinan untuk usia sekitar 40-an tahun tersebut.

Penyebab ketiga adalah pendidikan dan kemiskinan berantai. Semakin banyak pelajar Jepang setelah lulus SMA tidak melanjutkan studi ke tingkat pendidikan tinggi karena tak punya uang.

Pendidikan yang rendah membuat gaji yang rendah pula, akibatnya semakin rendahlah penghasilan dan semakin miskinlah manusia Jepang saat ini.

Pusat Studi Kebijakan Universitas Tokyo dalam survei nya memperlihatkan hanya 62,4 persen saja orangtua Jepang yang kini bisa menyekolahkan anaknya sampai lulus ke Universitas karena penghasilannya 10 juta yen per tahun atau lebih.

Dalam sebuah survei dari beberapa kota di Jepang juga memperlihatkan bahwa pelajar yang menerima tunjangan dari orangtua hanya 40 persen saja.

Sisanya harus mencari uang sendiri untuk membiayai sekolahnya di perguruan tinggi akibatnya banyak yang terhenti di tengah jalan, tidak lulus universitas.

cara ditunjuk, adalah 40 persen dari penerima kesejahteraan juga menerima kesejahteraan orang tua, latar belakang pendidikan telah menemukan bahwa itu adalah lulusan SMP adalah 58,2 persen, sekolah tinggi dan 14,4 persen, dan kurang dari SMA Anda.

Dengan kata lain, kemiskinan juga negatif mempengaruhi prestasi akademik anak, kemiskinan ke generasi berikutnya membuat lebih mudah untuk rantai.

Salah satu penyebab kemiskinan tadi adalah perceraian yang tinggi. Data dari hasil survei kementerian hukum (pengadilan) di Jepang baru-baru ini menunjukkan bahwa gugatan cerai dilakukan selama tahun 2013 karena kepribadian satu sama lain merasa tidak cocok (44,4 persen).

Perceraian juga karena merasa kurang biaya hidup dari sang suami (27,5 persen). Kemudian cerai karena adanya kekerasan dalam rumah tangga (24,7 persen).

Lalu penyebabnya karena tekanan mental, misalnya karena suami menyeleweng jadi stres, dan sebagainya.

Dan penyebab perceraian cukup besar juga, bahkan jumlahnya semakin meningkat saat ini karena hubungan heteroseksual (19,5 persen).

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan