Gerhana Bulan
Waspadai Potensi Hujan Lebat dan Banjir Pasca Gerhana Bulan
Menurut penjelasan Dwikorita terkait peta gerhana bulan total 31 Januari di Indonesia, ada tujuh fase gerhana bulan yang akan terjadi.
Penulis:
Srihandriatmo Malau
Editor:
Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin menyebut gerhana bulan total, Rabu (31/1/2018) adalah istimewa.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN ini kemudian menjelaskan gerhana bulan yang juga kerap disebut supermoon karena jarak bulan masih terdekat dengan bumi, sehingga purnama dan gerhana tampak lebih besar dari biasanya.
Juga disebut Bluemoon karena ini purnama kedua pada bulan Januari, setelah 1 Januari lalu.
Selain itu gerhana bulan total juga sering disebut Bloodmoon karena saat gerhana total bulan tampak merah darah.
"Jadi gerhana bulan pada 31 Januari 2018 boleh disebut Super-Blue-Blood-Moon," ujar Kepala LAPAN yang dikutip dalam tulisannya berjudul "Gerhana Bulan Total Buktikan Bumi Bulat: Bantahan Telak Dongeng Bumi Datar" yang diunggah di blog-nya, tdjamaluddin.wordpress.com.
Ia menjelaskan gerhana bulan total 31 Januari 2018 terlihat di seluruh Indonesia.
Proses gerhana mulai pukul 18:48 WIB.
Gerhana bulan total pukul 19.52 hingga 21:08 WIB.
Proses gerhana berakhir pukul 22:11 WIB.
Prosesnya, mulai pukul 18:48 WIB bagian bawah (sisi Timur) purnama mulai tergelapi oleh bayangan bumi.
Kemudian pukul 19.52 sampai 21:08 bulan menjadi gelap kemerahan saat seluruh purnama masuk ke bayangan inti bumi.
Baca: Fifi Sebut Julianto Tak Juga Tinggalkan Veronica Meski Sudah Diperingatkan Ahok
"Warna merah disebabkan oleh pembiasan cahaya matahari oleh atmosfer bumi," jelasnya.
Setelah itu secara perlahan cahaya purnama mulai tampak dari bagian kanan bawah (Timur).
Dan proses gerhana berakhir pada pukul 22:11 WIB.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, mengingatkan fenomena gerhana bulan adalah peristiwa langka.
Proses gerhana ini yang dapat diamati dari Indonesia secara jelas.
"Kejadian ini sangat langka. Fenomena ini hanya terulang lebih dari 100 tahun lagi," katanya.
Menurut penjelasan Dwikorita terkait peta gerhana bulan total 31 Januari di Indonesia, ada tujuh fase gerhana bulan yang akan terjadi.
"Fase-fasenya adalah gerhana mulai (P1), gerhana sebagian mulai (U1), gerhana total mulai (U2), puncak gerhana, gerhana total berakhir (U3), gerhana sebagian berakhir (U4), dan gerhana berakhir (P4)," kata Dwikorita.

Di Indonesia, saat bulan terbit dan berada pada fase purnama sekitar pukul 20.30 WIB, 31 Januari 2018, gerhana bulan total akan berada pada fase puncak.
Peristiwa tersebut akan berlangsung kurang lebih 77 menit, di mana masyarakat di seluruh wilayah Indonesia akan melihat bulan berubah warna menjadi merah.
"Sebagaimana terlihat pada peta, keseluruhan proses gerhana dapat diamati di Samudera Pasifik, serta bagian timur Asia, Indonesia, Australia, dan barat laut Amerika," kata Dwikorita.
Di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan seluruh provinsi Sumatera, fase P1 dan U1 akan dapat terlihat jelas karena terjadi tepat di atas wilayah-wilayah tersebut.
Secara keseluruhan, peristiwa gerhana dari fase awal hingga akhir akan berdurasi sekitar enam jam, mulai pukul 17.00 WIB sampai 23.00 WIB.
Selain di timur Asia, gerhana bulan langka kali ini juga dapat disaksikan di bagian barat Asia, Samudera Hindia, bagian timur Afrika, dan bagian Timur Eropa.
Hujan Intensitas Lebat
Berdasarkan analisis BMKG, untuk potensi hujan dengan intensitas sedang-lebat dalam jangka waktu seminggu ke depan (29 Januari-3 Februari) masih terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
Hal ini disebabkan pada posisi saat ini, matahari berada di belahan bumi selatan akibatnya suhu udara di belahan bumi selatan lebih tinggi daripada belahan bumi utara.
Baca: Zumi Zola Diminta Orangtuanya Sabar dan Tawakal
Kondisi ini mengakibatkan adanya tekanan rendah di belahan bumi selatan sehingga terjadi aliran udara dingin dari belahan bumi utara tepatnya dari daratan Asia, termasuk Samudera Pasifik di sekitar Filipina atau bagian utara barat pasifik serta aliran udara dingin dari arah Samudera Hindia.
Aliran udara tersebut semuanya menuju ke belahan bumi selatan tepatnya ke arah Australia, akibatnya beberapa wilayah Indonesia bagian barat dan selatan terlewati aliran udara dingin asia Samudera Hindia, dan Filipina.
Kondisi inilah yang memicu terjadinya potensi hujan dan angin dengan kecepatan tinggi, terutama di Aceh, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi selatan, Papua Barat, dan Papua.
Dwikorita menambahkan kondisi ini membawa uap air baik dari Samudera Pasifik maupun Hindia dari arah barat sehingga mengakibatkan potensi hujan lebat disertai angin kencang dengan kecepatan 25 knot atau berkisar 36 km/jam hingga 35 knot atau 70 km/jam di daerah tersebut.

Selain itu juga terjadi gelombang tinggi Laut Jawa, Samudera Hindia Selatan Pulau Jawa, Selat Sunda, Perairan Utara Jawa Tengah, Perairan Utara NTB hingga NTT, serta Pesisir Utara Pulau Jawa.
Gelombang tinggi 4.0 hingga 6.0 meter (very Rough Sea) berpeluang terjadi di Samudera Hindia Selatan Jawa hingga NTT, Perairan Selatan P. Sumba-P. Sawu-P. Rote-Laut Timor, dan Laut Arafuru.
Sementara tinggi gelombang 2.5-4.0 meter (Rough Sea) berpeluang terjadi di Perairan Enggano, Perairan Barat Lampung, Selat Sunda Bagian Selatan, Perairan Selatan Jawa, Perairan Kepulauan.
*Waspada potensi genangan, banjir maupun longsor bagi yang tinggal di wilayah berpotensi hujan lebat terutama di daerah rawan banjir dan longsor.
*Waspada terhadap kemungkinan hujan disertai angin yang dapat menyebabkan pohon maupun baliho tumbang/roboh.
*Tidak berlindung di bawah pohon jika hujan disertai kilat/petir.
*Waspada kenaikan tinggi gelombang, potensi rob dan dampaknya.
*Waspada hujan lebat disertai angin kencang yang berbahaya bagi kapal berukuran kecil.
*Menunda kegiatan penangkapan ikan secara tradisional hingga gelombang tinggi mereda. (tribun/srihandriatmo malau)