Jumat, 3 Oktober 2025
Deutsche Welle

Feminis Alice Schwarzer: Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Terjadi

Feminis Alice Schwarzer acap dianggap kontroversial. Pendiri majalah Emma ini menjelaskan alasannya mengadvokasi perempuan dari negara-negara…

Alice Schwarzer, 77, adalah legenda gerakan feminisme di Jerman. Pendiri majalah "Emma" itu termasuk yang membidani kelahiran gerakan perempuan beberapa dekade silam. Gayanya acap dianggap kontroversial. Pembelaannya pada hak perempuan muslim mengundang permusuhan dari kelompok konservatif Islam. Kepada jurnalis perempuan berlatar Afghanistan, Nadia Fasel, Alice menjelaskan kenapa pentolan feminis Jerman itu kini mengadvokasi perempuan di negara-negara konservatif seperti Afghanistan.

DW: Tahun ini kita memperingati 100 tahun hak memilih bagi perempuan di Jerman. Dan jika menyimak catatan sejarah dari awal 1970-an hingga kini, Anda, Alice Schwarzer, juga banyak memperjuangkan hak-hak perempuan. Dalam retrospeksi, sekarang di tahun 2019, apakah Anda pikir tujuan yang Anda tetapkan sendiri telah tercapai?

Alice Schwarzer: Sebagaimana yang kita ketahui dari hasil penelitian, sistem patriarki setidaknya sudah berusia sekitar 4.000 tahun, jadi 40 tahun perjuangan demi emansipasi dan kesetaraan gender tidak tergolong banyak. Tetapi dalam rentang hidup seorang manusia, tentu saja, apa yang telah kita capai dalam perjuangan hak perempuan, bisa dikatakan banyak tak terkira.

Kita mengalami kemajuan dramatis. Tidak hanya di Jerman saat ini, tetapi hampir di seluruh negara di dunia Barat, berlaku kesetaraan hukum antara laki-laki dan perempuan, perempuan memiliki akses tanpa batas di bidang pendidikan, kita memiliki akses penuh ke semua profesi, secara teoritis. Dan, seperti yang Anda tahu, Jerman memiliki Kanselir perempuan selama 13 tahun.

Saat ini tumbuh sikap antipati masyarakat terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, walaupun hal itu masih saja terjadi. Kekerasan memang selalu menjadi inti setiap kekuasaan, tapi dikecam. Pada saat yang bersamaan, muncul masalah baru. Pornografi membanjiri internet. Perang memperebutkan tubuh perempuan pun kembali terjadi. Adalah hal yang memuakkan, bahwa di negara negara yang berpedoman Islam puritan perempuan harus menutup diri, sementara di sini mereka diharapkan berpakaian minim. Keduanya bukan solusi.

Namun kondisi di sini tentu saja lebih surgawi buat kaum hawa dibandingkan dengan negara dan wilayah tempat mereka berasal.

DW: Anda dulu pernah mewanti-wanti terhadap perkembangan situasi ini, yang sekarang terjadi di sana. Apa kekhawatiran Anda saat itu?

Alice Schwarzer: Sebagai penulis dan juga pendiri majalah "Emma", sejak hampir 40 tahun saya berusaha mengadvokasi para perempuan di negara-negara ini. Dan kami saling berhubungan dan bertukar kabar. Tapi saya sangat putus asa ketika saya melihat situasinya. Di Iran, kekerasan terus terjadi. Dan di Afghanistan, saya tidak mengerti kenapa Amerika Serikat pergi berperang ke sana, untuk lalu bernegosiasi dengan Taliban. Jadi adalah sebuah cemoohan jika orang menyebutnya perundingan damai. Apa yang sedang dinegosiasikan di sana bukanlah perdamaian bagi perempuan, tetapi neraka. Saya rasa, dunia Barat perlu memposisikan dirinya dengan cara yang berbeda. Saya beri contoh: beberapa dekade yang lalu, seluruh dunia Barat memboikot Afrika Selatan karena persoalan rasisme. Karena orang yang tidak berkulit putih diperlakukan seperti binatang dan bahkan lebih buruk dari itu. Lalu mereka berkata, kita boikot Afrika Selatan hingga situasinya berubah. Dan boikot internasional ini, terutama boikot ekonomi, berhasil mencapai banyak hal. Mengapa kini kita tidak boikot saja negara-negara yang memperlakukan perempuan seperti hewan?

DW: Setelah 17 tahun, situasi di Afghanistan, --yang pembangunan dan pengembangannya didukung upaya besar-besaran oleh negara-negara Barat -- , korban dari kerugian akibat perang dan kekerasan cukup besar. Namun yang dilaporkan di bidang sosial, selalu hanya hal-hal yang berhasil. Di sisi lain, perkembangan hal negatif dan pelecehan, terutama menyangkut hak-hak perempuan dan anak perempuan, hampir tidak disebutkan - bahkan oleh media di sini. Mengapa demikian?

Alice Schwarzer: Ya, saya pikir ini adalah kepentingan geopolitik dan ekonomi yang sinis. Bisnis sedang dilakukan dengan negara-negara itu dan perang tengah dihidupkan kembali. Jadi, orang-orang mengorbankan kepentingan ekonomi dan geopolitik hak asasi perempuan, kritikus, dan intelektual.

DW: Kembali ke Jerman. Di sini, di Jerman, terdapat jutaan perempuan Muslim yang semakin menutup diri atau mengenakan jilbab.

Alice Schwarzer: Sebuah survei besar yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri Jerman menunjukkan bahwa tiga perempat perempuan berlatar belakang Muslim di sini tidak mengenakan jilbab. Dan separuh Muslimah, yang menyebut dirinya "sangat religius," tidak mengenakan jilbab.

Sangat mengejutkan bahwa banyak intelektual, dan terutama kaum kiri di negara-negara Barat kita, menyebut pertautan dengan kaum Islamis, yang reaksioner, sebagai toleransi hanya supaya tidak dianggap kanan.

Saya ini termasuk kaum minoritas yang telah mengkritik situasi itu selama beberapa dekade, dan apa jawabannya? Lingkaran-lingkaran ini memanggil saya "rasis" dan "islamofobia". Sebaliknya, menurut saya, adalah rasis untuk mengabaikan kaum mayoritas yang tercerahkan di negara-negara Islam. Dan tidak ingin melihat bahwa jilbab telah lama kehilangan kesuciannya. Di negara-negara seperti Afghanistan atau Iran, jilbab malah dipaksakan. Jadi merupakan sebuah solidaritas kepada kaum yang dipaksakan berjilbab, jika kaum perempuan Muslim di sini melepaskannya, bukan sebaliknya.

Halaman
12
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved