Sabtu, 20 September 2025
Deutsche Welle

Pemilu Menggunakan E-voting Mudahkan Pemilih Maupun Petugas KPPS

BPPT klaim penerapan sistem e-voting dalam mekanisme pemilu sangat efisien. Sistem ini memudahkan pemilih serta KPU agar kejadian…

Berapa biaya untuk satu perangkat?

Perangkatnya itu satu TPS itu kira-kira 50 jutaan tapi ingat ketika pemilu kita nasional menggunakan perangkat elektronik membutuhkan kesiapan pola pembiayaan. Persiapan pembiayaan ini tentu satu kesatuan dengan penyelengara. Penyelenggara mengusulkan anggaran, tetapi pengusulan anggaran ini tentu beda dengan menggunakan kertas. Kertas sekali pakai habis, ini sekali pakai perangkatnya bisa dipakai berkali-kali. KPU menyelenggarakan empat kali pemilihan umum yaitu pileg, pilpres, pilgub, dan pemilihan bupati/ walikota, empat. Jadi setiap lima tahun sekali kita penduduk Indonesia milih lima kali. Jauh lebih hemat, oleh karenanya kita sering kali di berbagai Negara "Oh itu sekarang pakai peralatan elektronik tapi kembali lagi ke manual". Kenapa mereka kembali lagi ke manual? Itu bukan karena teknologinya tetapi karena mereka belum merubah proses bisnisnya. Proses bisnisnya masih sama seperti proses manual, yaitu setiap kali pemilu tender. Elektronik kok ditender. Makanya ini terjadi seperti yang di Jerman kembali ke manual, Venezuela, Filipina yang berganti-ganti teknologi. Dulu pakai e-voting kemudian e-counting. Jadi usulan kami, perspektif kami, lihatlah India. Penduduk India hampir satu miliar kan tetapi pemilu elektroniknya itu berkelanjutan dan baik, kenapa? Perangkatnya diperbaiki secara fungsional, untuk masyarakatnya sih tetap, tetapi fungsinya lebih aman. Yang tadinya ga ada struknya jadi ada struknya, itu karena KPU India didukung oleh satu industri nasional mereka namanya ECIL (Electronic Corporation India Limited) jadi di ECIL ini sebagai BUMN nya India itu tugasnya mendistribusikan perangkat, menarik kembali, menyimpan, memelihara, dan mengembangkan. Sekarang KPU mau tidak seperti itu? Kan tidak perlu tender kertas lagi.

Jadi saat ini BPPT tinggal menunggu bola dari KPU saja?

Iya. Untuk pileg dan pilpres kemarin itu sebetulnya undang-undang sendiri, Undang-undang Pilpres yang disatukan dengan Undang-undang Pileg. Tadinya satu-satu kan, masing-masing. Undang-undang pilpres sendiri, Undang-undang pileg sendiri. Kemudian dua undang-undang itu disatukan. Pembahasannya itu awal 2017, itu pada saat masih RUU sudah termaktub semuanya menggunakan peralatan elektronik, untuk pemungutan, untuk menghitung, untuk rekapnya. Makanya Pansus Pemilu itu rapat pertama kali yang diundang adalah BPPT dan PT. INTI sebagai penyelengara pemasok perangkat yang mana hasil inovasi dari BPPT sudah dialihkan ke PT. INTI sebagai BUMN. Kami ke sana mendemokan ke DPR RI, kemudian bulan Maret mereka studi banding ke Jerman yang saat itu perangkatnya tidak ada struknya. Makanya pulang-pulang dari studi banding bulan Mei tiba-tiba menuliskan kembali "orang Jerman tidak lagi menggunakan e-voting karena mereka lebih suka bukti hukum manual". Dalam hati saya berpikir, kenapa dia lebih senang bukti hukum manual padahal kita ada. Struk itu kan bukti hukum manual, bahwa bukti hukum elektronik ada, bukti hukum manualnya juga ada. Memang saat itu di Jerman tidak ada makanya dia bisa bilang begitu.

Sejauh ini sudah ada empat kesiapan yang saya tangkap yaitu teknologi, penyelenggara, biaya, dan legalitas. Lantas apakah kesiapan yang terakhir?

Masyarakat. Masyarakat itu sudah dibuktikan. Dulu waktu kita sosialisasi e-voting para elit yang mengatakan mana mungkin Indonesia pakai e-Voting. Masyarakat kita banyak yang gaptek (gagap teknologi /red). Ternyata itu tidak terbukti ketika sudah dilaksanakan di pilkades, justru itu dimudahkan masyarakatnya yang tinggal sentuh pakai jari. Jadi di TPS ga perlu perangkat apa-apa, emang kita harus mengenal komputer dulu baru bisa menggunakan e-voting? Kan tidak. Dia cuma lihat gambar kok, tinggal disentuh. Justru yang mungkin mereka katakan tidak siap karena perangkat-perangkat e-voting yang ada di dunia itu semuanya bentuknya terintegrasi, jadi satu, jadi masukin kartunya dari dalam bilik. Bayangkan kalau nenek-nenek masukin kartunya sendirian di dalam bilik, udah gemetaran kali masukinnya bagaimana. Kalau kami kan tidak, panitia di depan bilik sudah memasukkan. Kemudian struknya sudah terintegrasi. Kalau pemilih di Indonesia itu kan nanti yang dimasukkan struk yang mirip di Indomaret, bukan struk yang keluar dari perangkat e-voting. Makanya printer-nya kita letakkan di samping bilik itu yang membuat beda dan unik dengan e-voting di dunia. C1 nya bisa dicetak sebanyak-banyaknya sesuai hati kita, tinggal difoto terus di-upload. Proses e-voting itu selain dia cepat akurat kemudian juga memenuhi asas luber jurdil kemudian dia juga menghasilkan bukti hukum yang sah, baik bukti hukum manual atau bukti hukum elektronik. Jadi dokumen elektronik yang diupload sah menjadi bukti hukum manakala yang mengupload, darimana, oleh siapa, dan keabsahannya itu ada nama tandatangan digital dan watermark atas nama KPPS itu. Jadi seminggu atau satu hari sebelum pemilu setiap KPPS salah satu saja sudah apply sertifikat digital di handphone-nya.

Wawancara dilakukan oleh Jurnalis Deutsche Welle Rizki Akbar Putra.

Andrari Grahitandaru adalah Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik BPPT. BPPT ( Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen Indonesia yang berada di bawah koordinasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengkajian dan penerapan teknologi.

Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan