Bentrokan di Sudan: KBRI tetapkan 'status siaga' dan siapkan dua tempat perlindungan untuk WNI
Pemerintah Sudan mengakui bentrokan antara aparat keamanan dan demonstran menewaskan setidaknya 61 orang, krisis yang mendorong KBRI di Khartoum
Rossalis mengatakan pihaknya secara terus-menerus memantau situasi dan mengeluarkan imbauan ke warga Indonesia.
"Kami meminta agar tetap tenang tapi juga meningkatkan kewaspadaan," katanya.
Krisis berawal ketika pada akhir Desember 2018, Presiden Omar al-Bashir menerapkan kebijakan darurat yang ditujukan untuk mencegah ambruknya ekonomi Sudan.
- Publik marah setelah setiap anggota parlemen terima pinjaman US$40.000 untuk beli mobil
- Bagaimana sebuah foto ikonik bisa menjadi penanda zaman
- Ditangkap karena pakai celana panjang, 24 perempuan yang diancam hukuman cambuk dilepaskan dari tuduhan
Pemangkasan subsidi makanan dan bahan bakar memicu aksi demonstrasi di Sudan timur yang kemudian merembet hingga ke Khartoum.
Protes yang diserukan oleh Asosiasi Profesional Sudan ini meluas dengan salah satu tuntutan agar Presiden Bashir, yang berkuasa selama 30 tahun, mundur.
Pada 6 April lalu, demonstrasi mencapai puncaknya ketika para peserta aksi menduduki lapangan di depan markas besar angkatan bersenjata dan kementerian pertahanan yang bersebelahan. Komplek dua kantor ini terletak hanya sekitar satu hingga dua kilometer dari kediaman dubes Indonesia di Khartoum.
Para demonstran mendesak presiden dan militer keluar dari pemerintahan.

Lima hari kemudian, militer mengumumkan bahwa Presiden Bhasir telah digulingkan.
Dubes Indonesia di Khartoum, Rossalis Rusman Adenan, mengatakan awalnya kekuasaan dipegang oleh eks menteri pertahanan. Eskalasi berkembang dengan cepat dan Sudah berada di tangan Dewan Transisi Militer (DTM) pimpinan Letnan Jenderal Abdel Fattah Abdelrahman Burhan sejak 11 April.
Naiknya dewan militer tak membuat demonstrasi surut. Mereka terus melanjutkan aksi mendesak peralihan kekuasaan ke pemerintah sipil.
Perundingan antara para jenderal dan penyelenggara protes yang berada di bawah organisasi payung Aliansi untuk Kebebasan dan Perubahan yang awalnya tak memperlihatkan banyak kemajuan pada akhirnya mencapai kesepakatan.
Pada 15 Mei dewan jenderal dan perwakilan demonstran menyepakati tiga tahun masa transisi menuju pemerintah sipil.
Kedua pihak juga menyepakati struktur pemerintah baru, termasuk dewan kedaulatan, kabinet dan lembaga legislatif.
Namun para jenderal membatalkan kesepakatan pada 3 Juni dan menyatakan bahwa akan ada pemilu baru dalam sembilan bulan.
