Virus Corona
Mengintip Gaya Lockdown Jepang, Disiplin hingga Tidak Ada Hukuman atau Denda
Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe tengah bersiap untuk menyatakan darurat Covid-19 di Jepang, pada Senin (6/4/2020).
Penulis:
Ika Nur Cahyani
Editor:
Ifa Nabila
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe tengah bersiap untuk menyatakan darurat Covid-19 di Jepang atau lockdown, pada Senin (6/4/2020).
Ini bertujuan agar para pejabat daerah memiliki wewenang hukum lebih kuat untuk mendesak masyarakat mengisolasi diri di rumah.
Terutama bagi kegiatan bisnis agar bisa ditangguhkan sementara.
Namun istilah lockdown di Jepang agaknya berbeda dengan yang diadopsi negara lainnya.
Sejumlah otoritas negara mengerahkan aparat hukum untuk menjatuhkan denda atau hukuman pada pelanggar lockdown.
Dikutip dari Reuters, tetapi Jepang akan merujuk pada tekanan di lingkungan dan tradisi menghormati otoritas yang sudah dilakukan turun temurun.
Baca: Soal Sosok yang Usulkan Pembebasan Napi Koruptor, Mahfud MD: Banyak yang Bisa Disebut Kalau Saya Mau
Baca: Didedikasikan Buat Pejuang Garda Depan Kesehatan, Powerslaves Luncurkan Single Stare at Me
Sejatinya otoritas daerah sudah meminta masyarakat untuk tinggal di rumah pada akhir pekan, menghindari keramaian, dan bekerja di rumah.
Sebenarnya anjuran ini sudah dilakukan masyarakat, tetapi tidak semasif yang diprediksikan ahli.
Biasanya yang banyak menurut adalah warga di pusat penyebaran Covid-19.
"Orang Jepang punya kekuatan sosial tertanam dengan kuat dan memiliki kekuatan yang luar biasa untuk membentuk melalui suasi moral yang tidak dimiliki negara-negara Barat," jelas Profesor Universitas Sophia, Koichi Nakano.

Berdasarkan undang-undang yang direvisi pada Maret lalu, perdana menteri boleh menyatakan darurat bila suatu penyakit menyebabkan bahaya nasional.
Utamanya bagi kehidupan dan bila berlangsung lama juga berpotensi berimbas pada perekonomian.
Keadaan darurat ini bisa bertahan selama dua tahun dan mungkin diperpanjang satu tahun.
Perdana Menteri Abe mendapat banyak tekanan untuk mendeklarasikan kondisi darurat ini.
Apalagi setelah terjadi lonjakan infeksi Covid-19 di Tokyo dan sejumlah daerah lainnya.
Bagaimanapun juga, membatasi mobilitas dan bisnis akan menjadi pukulan berat bagi perekonomian.
"Keseimbangan antara kelebihan dan kekurangan harus dipertimbangkan."
"Tidak ada cara yang 100% benar," Dirjen Institut Kesehatan Masyarakat Kota Kawasaki, Nobuhiko Okabe.
Okabe juga salah satu anggota ahli yang memberikan nasihat pada Abe.
Kendati demikian, beberapa pakar menilai deklarasi darurat ini sudah terlambat.
Sebab ibu kota Tokyo sudah mengalami lonjakan tinggi infeksi virus corona.
Upaya Pemerintah Jepang Mendorong Masyarakat Tetap di Rumah
Para gubernur di daerah-daerah dengan infeksi Covid-19 terbanyak, kini akan menambahkan aturan untuk memaksa warga tinggal di rumah.
Selain itu juga menutup sekolahan, fasilitas umum, dan membatalkan acara.
Undang-undang mengizinkan untuk merilis nama warga yang tidak mematuhi aturan ini.
Tetapi tidak memperbolehkan menangkap atau mendenda orang itu.
Peraturan itu juga memberi wewenang pemerintah daerah untuk mengarahkan penjualan obat-obatan dan makanan.
Selain itu juga mengalokasikan kendaraan darurat untuk barang-barang tertentu.
Pihak berwenang juga bisa mengambil alih tanah dan bangunan untuk fasilitas medis yang dibutuhkan.
Sementara itu, otoritas menunjuk industri tertentu yakni utilitas, transportasi dan penyiaran publik NHK.
Lembaga publik ini diminta menyebarkan informasi terkait pandemi dan kebutuhan dalam keadaan darurat.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)