Kamis, 4 September 2025

Amerika Serikat dan China di Ambang Perang Dingin yang Baru

Ketegangan antara kedua negara itu didasari oleh wabah virus corona, Hong Kong dan masalah lainnya

ISTIMEWA
ILUSTRASI 

TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - Amerika Serikat dan China kini berada di ambang Perang Dingin yang baru.

Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Menteri Luar Negeri China, Minggu (24/5/2020), seperti dilansir Kompas.com.

Ketegangan antara kedua negara itu didasari oleh wabah virus corona, Hong Kong dan masalah lainnya.

"Telah menjadi perhatian kami bahwa beberapa 'kekuatan politik' di AS menahan hubungan China-AS dan mendorong kedua negara ini ke tepi Perang Dingin baru," menteri luar negeri Wang Yi mengatakan kepada wartawan, seperti Dilansir media Perancis AFP.

Gesekan lama antara kedua kekuatan tersebut terjadi atas perdagangan, hak asasi manusia dan isu-isu lain yang didorong memuncak sejak merebaknya Covid-19.

Wang tidak mengidentifikasi "kekuatan" apa yang dia maksudkan, tetapi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah memimpin kritik dunia atas penanganan awal China terhadap pandemi, yang telah menyebabkan lebih dari 330.000 kematian dan kemerosotan ekonomi di seluruh dunia.

Sebuah pengantar di legislatif China pada Jumat lalu yang berbentuk proposal untuk memberlakukan Undang Undang keamanan di Hong Kong guna menekan gerakan pro-demokrasi kota semi-otonom telah semakin meningkatkan tensi ketegangan dan memicu kecaman AS dan dunia.

Tetapi Wang membalas kepada Washington, menuduh AS berusaha berulang kali "menyerang dan mencoreng" China.

"Selain kehancuran yang disebabkan oleh virus corona, ada juga virus politik yang menyebar di AS," kata Wang pada konferensi pers di sisi pertemuan legislatif tahunan.

"Virus politik ini adalah menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk menyerang dan mengejek China. Beberapa politisi sama sekali mengabaikan fakta dasar dan telah mengarang terlalu banyak kebohongan yang menargetkan China, dan merencanakan terlalu banyak konspirasi," ungkap Wang.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Menlu China: AS-China di Ambang Perang Dingin Baru

Ketagangan di Laut China Selatan

Hubungan China dengan Amerika Serikat sedang menghangat.

Tidak hanya saling sindir soal virus corona atau Covid-19 saja, tetapi juga terkait wilayah Laut China Selatan.

Baca: Kesaksian Warga soal Jatuhnya Pesawat di Pakistan: Mayat Tiba-tiba Jatuh Timpa Mobil Saya

Kedua kekuatan ekonomi terbesar dunia itu disinyalir tengah memperebutkan cadangan minyak dan gas alam di dasar Laut China Selatan.

Hal itu sebagaimana diungkapkan Mantan Komandan Sekutu Tertinggi NATO dan pensiunan Angkatan Laut AS, Laksamana James Stavrdis dalam opininya di Bloomberg, Jumat (22/5/2020).

Stavrdis mengatakan, ia telah menghabiskan sebagian besar karir militernya berlayar di Pasifik dan berlayar berkali-kali melewati perairan lembab Laut China Selatan.

Stavrdis mengatakan Laut China Selatan merupakan perairan yang besar dan luas.

Sejumlah pesawat pengebom AS B-52H terbang melintasi Laut China selatan.
Sejumlah pesawat pengebom AS B-52H terbang melintasi Laut China selatan. (Defense World)

Ukurannya setara dengan Laut Karibia dan Teluk Meksiko bila digabungkan.

Nah ia menuturkan, dasar Laut China Selatan penuh dengan cadangan minyak dan gas.

Kemudian hampir 40% perdagangan internasional melewati jalur ini.

Sehingga wilayah Laut China Selatan sangat strategis.

Menurut Stavrdis, China telah mengklaim sebagian besar Laut China Selatan merupakan laut teritorialnya.

Dan saat hubungan China dan AS memburuk dipicu virus corona dan faktor politik, di mana tahun ini pemilihan presiden AS, peluang konflik dengan China meningkat.

Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa kapal perang AS, termasuk kapal perusak yang pernah di bawah komando Stavrdis pada awal 1990-an, Barry, telah berkonfrontasi dengan kapal patroli militer Tiongkok.

Stavrdis menjelaskan, LCS menjadi titik nyala yang dapat memicu perang AS-China didasarkan banyak penyebab selain yang sudah dituliskan sebelumnya.

Dasar-dasar historis klaim China terhadap wilayah ini kembali ke pelayaran laksamana Zheng He abad ke-15.

Stavrdis menulis tentang laksamana Zheng dalam buku terbarunya "Sailing True Nort,". 

Ia mengatakan, setiap kali ia bertemu dengan rekan-rekan militernya dari China, mereka kerap bersulang untuk Laksamana Zheng ini.

Ia merupakan penjelajah di laut China Selatan, Samudra Hindia dan perairan Afrika dan Arab yang melegenda.

Kendati begitu, Stavrdis mengatakan, China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim seluruh Laut China Selatan sebagai danau pribadi mereka.

Klaim China ini telah ditolak dengan tegas oleh semua negara yang berada di sekitar badan air ini dan pengadilan internasional.

Untuk melawan klaim China, Angkatan Laut AS melakukan apa yang disebut kebebasan patroli, yang menunjukkan bahwa Laut China Selatan adalah perairan internasional, atau laut lepas.

Namun Patroli AS ini kerap menimbulkan ketegangan dengan China.

Ia mengisahkan peristiwa beberapa dekade lalu ketika ia masih memimpin armada AS di wilayah ini.

Ia mengatakan sekelompok kapal perusak AS berlayar di Laut China Selatan yang diklaim Tiongkok dan saat ini sudah berisi pulau-pulau buatan yang telah dibangun dan dimiliterisasi oleh China dengan rudal, landasan pacu dan senjata jarak jauh serta pasukan.

Saat AS melakukan patroli, militer China sering menerbangkan kapal perusak, jet tempur hanya berjarak beberapa puluh kaki dari depan haluan atau kapal perang mereka untuk menantang kapal perang AS.

Aksi-aksi militer China itu sangat beragam, mulai dari mengusir, mengancam lewat saluran radio dan menyorot dengan lampu ke arah kapal-kapal perang AS.

Bahkan sampai mengarahkan rudal dan senjata perang bahkan berlayar terlalu dekat yang berpotensi membahayakan keselamatan awak kapal.

Menghadapi konfrontasi itu, Stavrdis mengatakan, ia kerap menasihati setiap kapten kapal perang AS yang berada di bawah kendalinya untuk tetap stabil, menghindari konfrontasi yang tidak perlu dan melaporkan kembali kepadanya terus menerus perkembangan di sana dan Stavrdis sendiri kemudian membuat laporan kepada otoritas yang lebih tinggi.

Ia mengatakan, pengalaman berlayar ke Laut China Selatan merupakan pengalaman yang membingungkan.

Stavrdis dan para stafnya kerap menarik nafas lega setiap kali mereka berhasil menyelesaikan misi mereka di wilayah 'panas' tersebut.

Menurut Stavrdis, yang juga kolumnis Bloomberg, kapal perusak Barry dan kapal perusak lainnya, Bunker Hill, berhadapan dengan kapal-kapal China baru-baru ini di wilayah tersebut, namun mereka mencoba menghindari eskalasi.

Melihat kondisi ini, Stavrdis mengatakan kunci utama bagi AS menghadapi kondisi ini dan membelokkan perilaku China tanpa harus memutus hubungan internasional yang mengarah pada perang dingin atau konflik bersenjata, adalah dengan membawa lebih banyak sekutu internasionalnya ke dalam kebebasan patroli navigasi, termasuk anggota NATO bersama dengan Australia dan Jepang.

AS juga bisa meningkatkan dukungan kepada Taiwan.

Khususnya dalam kerjasama militer dan mendesak penyelidikan internasional yang menyeluruh terhadap wabah virus corona di Wuhan dan membangun hubungan yang lebih kuat dengan negara-negara lain di sekitar pesisir Laut China Selatan.

Langkah-langkah konfrontatif ini juga harus disertai dengan sejumlah penawaran kerjasama dengan China.

Baca: Antisipasi Konfrontasi dengan Amerika, Militer China Ajukan Tambahan Anggaran

Hal itu bisa mencakup memajukan perjanjian perdagangan dan tarif yang menyediakan akses ke pasar AS, bekerja sama dalam rute perdagangan Kutub Utara dan norma-norma lingkungan di sana, sesuatu yang sangat diinginkan Beijing.

Bisa juga AS mengajak Beijing melakukan operasi kemanusiaan bersama, bekerjasama menciptakan norma perilaku antara pasukan angkatan laut kedua negara dan menjajaki perjanjian strategis dan taktis untuk pengendalian senjata.

Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: Perang dingin AS-China meningkat di Laut China Selatan, ini yang diperebutkan

AS Blacklist Perusahaan China

Baru-baru ini, ketegangan keduanya berlanjut.

Ditandai dengan sikap Amerika Serikat yang menambah 33 perusahaan China ke daftar hitam atau blacklist ekonomi.

Disebut-sebut, perusahaan dan institusi itu membantu Beijing memata-matai populasi minoritas Uighur.

Langkah Departemen Perdagangan AS menandai upaya terbaru pemerintahan Trump untuk menindak perusahaan yang produknya dapat mendukung kegiatan militer China.

Sekaligus, menghukum Beijing karena perlakuannya terhadap minoritas Muslim.

"Tujuh perusahaan dan 2 institusi terlibat dalam pelanggaran HAM dan pelanggaran yang dilakukan dalam kampanye penindasan China, penahanan massal sewenang-wenang, kerja paksa, dan pengawasan teknologi tinggi terhadap Uighur," ujar Departemen Perdagangan AS dikutip Reuters, Sabtu (23/5/2020).

Sebanyak dua lusinan lembaga baik lembaga pemerintah maupun organisasi komersial ditambahkan dalam daftar hitam karena mendukung pengadaan barang yang digunakan oleh militer China.

Adapun perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar hitam adalah perusahaan yang fokus pada kecerdasan buatan (AI) dan pengenalan wajah (face recognition).

Di mana perusahaan AS seperti Nvidia Corp dan Intel Corp telah banyak berinvestasi di dalamnya.

Di antara perusahaan daftar hitam itu, nama NetPosa disebut.

NetPosa merupakan salah satu perusahaan AI terkenal di China, yang anak usaha face recognition-nya dikaitkan dengan pengawasan orang muslim.

Kemudian ada Qihoo360, sebuah perusahaan cybersecurity besar yang didepak dari Nasdaq pada tahun 2015.

Qihoo360 baru-baru ini menjadi berita utama karena mengklaim telah menemukan bukti alat peretas CIA yang digunakan untuk menargetkan sektor penerbangan China.

Departemen Perdagangan AS mengatakan, telah menambahkan perusahaan-perusahaan itu dalam daftar hitam.

Artinya AS bakal membatasi penjualan kepada perusahaan itu.

AS juga akan membatasi beberapa item yang dibuat di luar negeri dengan teknologi Negeri Paman Sam itu.

Namun, perusahaan yang masuk daftar hitam itu dapat mengajukan izin untuk melakukan penjualan.

Tetapi tentu saja harus mengatasi anggapan penolakan.

Lebih lanjut, perusahaan bernama CloudMinds juga dimasukkan ke dalam daftar hitam.

Perusahaan yang mendapat dukungan pendanaan dari Softbank Group Corp ini mengoperasikan layanan berbasis cloud untuk menjalankan robot seperti versi Pepper, robot humanoid yang mampu berkomunikasi sederhana.

Sebetulnya, CloudMinds sudah diblokir sejak tahun lalu karena mentransfer teknologi atau informasi teknis dari unit AS ke kantornya di Beijing.

Di sisi lain, Xilinx Inc mengatakan, setidaknya 1 dari pelanggannya masuk ke dalam daftar hitam.

Tapi pihaknya mematuhi kewenangan Departemen Perdagangan AS.

"Xilinx mengetahui ada penambahan (perusahaan ke dalam blacklist) baru-baru ini Departemen Perdagangan. Kami sedang mengevaluasi setiap dampak bisnis yang potensial," papar pihak perusahaan.

"Kami mematuhi aturan dan peraturan Departemen Perdagangan AS yang baru," tambahnya.

Sebagai informasi, tindakan Departemen Perdagangan AS ini mengikuti tindakan serupa yang terjadi pada Oktober 2019.

Saat itu, AS memasukkan 28 biro keamanan publik China dan perusahaannya, termasuk beberapa perusahaan pemula AI dan perusahaan pengawas video Hikvision.

Tindakan tersebut mengikuti blue print yang sama, yang digunakan oleh Washington dalam upayanya membatasi pengaruh Huawei Technologies Co Ltd.

Baca: Kabur dari Jepang, Eks Bos Nissan Disebut Sogok Eksekutif Maskapai Penerbangan Rp 4,5 Miliar

Huawei dibatasi dengan alasan keamanan nasional.

Bahkan pada pekan lalu, pemerintah AS mengambil tindakan untuk memotong akses Huawei ke para produsen chip.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Trump Masukkan Lusinan Perusahaan China ke Daftar Hitam, Kenapa?

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan