Cekcok Beijing vs Washington di KTT Anchorage: China Sebut AS Tukang Hasut, AS Bilang China Sombong
Perwakilan AS dan China saling menyindir dalam pertemuan antar dua negara di Alaska.
Penulis:
Ika Nur Cahyani
Editor:
Citra Agusta Putri Anastasia
TRIBUNNEWS.COM - Perwakilan Amerika Serikat (AS) dan China saling menyindir dalam pertemuan antar dua negara di Anchorage, Alaska.
Dilansir BBC, pejabat China menuduh AS menghasut negara lain untuk menyerang mereka.
Di sisi lain, AS mengatakan China "datang dengan sikap yang sombong".
Hubungan antara dua negara adidaya ini mengalami ketegangan selama bertahun-tahun.
Pembicaraan sengit di KTT Anchorage itu melibatkan Menteri Luar Negeri AS, Anthony Blinken, dan penasihat keamanan nasional, Jake Sullivan.
Sedangkan dari pihak Beijing, ada pejabat kebijakan luar negeri senior China, Yang Jiechi, dan Menteri Luar Negeri, Wang Yi.
Baca juga: Informasi Pribadi LINE Jepang Dapat Diakses oleh Kontraktor China
Baca juga: Trump Desak Warga Amerika Dapatkan Vaksinasi Covid-19: Saya akan Merekomendasikannya

Blinken membuka pembicaraan secara blak-blakan dengan mengatakan: "(AS) akan membahas keprihatinan kami terhadap tindakan China, termasuk di Xinjiang, Hong Kong, Taiwan, serangan cyber ke AS, dan pemaksaan ekonomi kepada sekutu kami."
"Setiap tindakan ini mengancam tatanan berbasis aturan yang menjaga stabilitas global," lanjutnya.
Sebagai tanggapan, Yang menuduh Washington menggunakan kekuatan militer dan supremasi keuangan untuk menekan negara lain.
"Itu menyalahgunakan apa yang disebut gagasan keamanan nasional untuk menghalangi pertukaran perdagangan normal, dan menghasut beberapa negara untuk menyerang China," kata Yang.
"Izinkan saya mengatakan di sini bahwa di depan pihak China, Amerika Serikat tidak memiliki kualifikasi untuk mengatakan ingin berbicara dengan China dari posisi yang kuat," ujarnya.
"Pihak AS bahkan tidak memenuhi syarat untuk mengatakan hal-hal seperti itu, bahkan 20 tahun atau 30 tahun yang lalu, karena ini bukan cara untuk berurusan dengan orang-orang China," tambah Yang.
Yang juga mengatakan, HAM di AS berada pada titik terendah, karena 'pembantaian' orang kulit hitam Amerika.
"Kami akan selalu membela prinsip-prinsip kami untuk rakyat kami dan untuk teman-teman kami," jawab Sullivan membalas Yang, menegaskan Washington tidak mencari konflik dengan Beijing.
Percakapan antar dua negara itu berlangsung selama satu jam dan disiarkan di media.
Ribut Soal Pidato Pembukaan
Setelah itu, delegasi AS menuduh China melanggar kesepakatan, yakni soal batasan pidato pembukaan selama dua menit oleh masing-masing pihak.
"Delegasi China tampaknya telah tiba dengan niat untuk sombong, fokus pada teater publik dan drama di atas substansi," kata seorang pejabat senior pemerintahan.
Pejabat itu mengatakan, AS akan melanjutkan pembicaraan sebagaimana yang direncanakan.
Dia menambahkan: "Presentasi diplomatik yang dilebih-lebihkan seringkali ditujukan untuk audiensi domestik."
Sementara itu, China mengatakan AS-lah yang melanggar kesepakatan pidato pembukaan.
Mereka menuduh AS melakukan "serangan tidak berdasar terhadap kebijakan dalam negeri dan luar negeri China".
Baca juga: Pabrik China Dibakar karena Dianggap Dukung Kudeta Myanmar, Lebih dari 30 Orang Tewas
Baca juga: Berbulan-bulan Cenderung Pasif, Donald Trump Akhirnya Ajak Warga Amerika untuk Divaksinasi Covid-19

Sebelum menjabat, Presiden AS, Joe Biden, diserang Partai Republik yang khawatir pemerintahannya akan melunak dengan China.
Namun belakangan ini, petinggi Partai Republik mengamini kebijakan Biden untuk merevitalisasi hubungan dengan sekutu untuk menghadapi China.
Strategi Biden ini adalah untuk menggeser paham 'America First' yang dijalankan Donald Trump.
Dibanding membahas tarif barang China warisan pemerintahan Trump, Biden sejauh ini menekankan tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan China.
Michael McCaul, anggota senior Republik di Komite Urusan Luar Negeri DPR, mengatakan tindakan Yang menunjukkan China tidak berencana untuk mengubah caranya.
"Perkelahian dan tuduhan palsu mereka harus menjadi peringatan bagi pemerintahan Biden tentang siapa yang sebenarnya mereka hadapi," katanya, dikutip dari Reuters.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)