Krisis Myanmar
Serangan Bom Molotov di Markas Partai Aung San Suu Kyi di Myanmar
Kebakaran terjadi di markas Partai pemimpin sipil yang digulingkan Aung San Suu Kyi di kota terbesar Myanmar, Jumat (26/3/2021).
Penulis:
Srihandriatmo Malau
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, YANGON — Kebakaran terjadi di markas Partai pemimpin sipil yang digulingkan Aung San Suu Kyi di kota terbesar Myanmar, Jumat (26/3/2021).
Kebakaran itu terjadi akibat serangan bom molotov yang dilemparkan di kantor Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), kata seorang pejabat partai seperti dilansir AFP dan Channel News Asia, Jumat (26/3/2012).
Negara ini berubah menjadi penuh kekisruhan sejak militer merampas kekuasaan sipil dari penerima Nobel pada 1 Februari lalu, yang memicu pemberontakan yang menuntut kembali ke demokrasi.
NLD telah berantakan sejak kudeta, dengan beberapa anggota parlemen terpilih berada dalam persembunyiannya.
Sekitar pukul 04.00 pagi pada hari Jumat, seorang penyerang melemparkan bom molotov di markas NLD Yangon, menyebabkan api berkorbar membakar gedung.
"Ketika penduduk di dekatnya tahu tentang kebakaran, mereka memanggil pemadam kebakaran untuk memadamkannya ... Api baru bisa terkendali sekitar jam 05.00 pagi," kata Soe Win, anggota NLD yang bertanggung jawab atas kantor pusat, kepada AFP.
"Tampaknya seseorang menyalakan bom Molotov dan melemparkannya ke markas."
Hanya pintu masuk kantor yang hangus, dan anggota partai sudah berada di dalam menilai kerusakan, katanya.
"Kita harus mengajukan pengaduan ke polisi ... Kami tidak tahu siapa yang melakukan ini, tetapi itu tidak baik sama sekali," kata Soe Win, menolak berspekulasi tentang alasan serangan itu.
Insiden ini datang menjelang Hari Angkatan Bersenjata, ketika militer akan menunjukkan kekuatannya dalam parade tahunannya.
Bangunan itu adalah tempat banyak demonstrasi pada minggu-minggu pertama setelah kudeta dilakukan militer yang menuding ada kecurangan dalam pemilu November lalu, yang dimenangkan NLD.
Kini aksi unjuk rasa di jalanan menjadi urusan yang mematikan, karena pasukan keamanan semakin mengerahkan gas air mata, peluru karet, dan tembakan peluru tajam langsung terhadap demonstran.
Sejauh ini, 320 orang tewas dalam kerusuhan anti-kudeta, menurut kelompok pemantau lokal, meskipun junta mengumumkan jumlah yang jauh lebih rendah pada Selasa lalu, yakni berjumlah 164 orang.
Lagi Sembilan Orang Tewas
Aparat keamanan Myanmar kembali menembak mati sembilan demonstran militer, sebagai upaya membungkam suara penolakan atas kudeta militer 1 Februari.
Baca juga: Lagi, Sembilan Demonstran di Myanmar Tewas, Inggris dan AS Jatuhkan Sanksi pada Bisnis Militer
Ribuan orang mengadakan aksi protes terhadap kudeta yang menjatuhkan pemimpin sipil yang sah Aung San Suu Kyi, di ibukota komersial Yangon dan kota-kota lain pada Kamis (25/3/2021), menurut para saksi dan postingan media sosial, seperti dilansir Reuters, Jumat (26/3/2021).
"Apakah kita bersatu? Ya kita satu," teriak demonstran di Monywa.
"Revolusi harus menang," terdengar pekikan demonstran.
Myanmar telah diguncang aksi protes hampir setiap hari sejak tentara menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Suu Kyi dan tokoh sipil lainnya ditahan.
Setidaknya 320 orang telah tewas dalam tindakan brutal militer per Kamis malam, menurut angka yang dihitung oleh kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Aksi protes terhadap miitasi dilanjutkan pada Kamis setelah aksi pada hari Rabu meninggalkan area yang biasanya ramai di pusat komersial seperti Yangon dan Monywa.
AAPP mencatat sembilan kematian demonstran di tangan pasukan keamanan pada hari Kamis - di kotapung Thingangyun Yangon, kota Khin-U di Wilayah Sagaing, kota Mohnyin di Negara Bagian Kachin, dan Kota Taunggyi di Negara Bagian Shan.
Outlet media lain melaporkan setidaknya tujuh demonstran terluka ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan di berbagai tempat. Reuters tidak dapat memverifikasi laporan secara independen.
Militer berusaha menahan aksi protes sebelum Hari Angkatan Bersenjata pada hari Sabtu, kata AAPP.
Seorang warga Yangon mengatakan tentara menembaki gedungnya setiap malam pada minggu ini dan memeriksa rumah-rumah yang mereka anggap mencurigakan.
"Bahkan jika mereka tidak menemukan apa-apa, mereka mengambil semua yang mereka inginkan," katanya kepada Reuters.
Sementara itu Amerika Serikat dan Inggris muncul dengan tekanan internasional kepada junta penguasa Myanmar pada hari Kamis memberikan sanksi baru terhadap bisnis-bisnis yang dikendalikan militer.
Di Washington, Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi baru yang menyasar Myanma Economic Holdings Public Company Limited (ed. correct) dan Myanmar Economic Corporation Limited.
Kedua perusahaan itu adalah bagian dari jaringan yang dikendalikan militer dan mencakup berbagai sektor dari pertambangan ke pariwisata. Perusahaan-perusahaan ini telah memperkaya para jenderal.
Langkah Washington membekukan aset apa pun yang dipegang oleh mereka di Amerika Serikat. Ini juga melarang perusahaan atau warga AS untuk berdagang atau melakukan transaksi keuangan dengan mereka yang masuk dalam daftar hitam tersebut.
"Tindakan-tindakan ini secara khusus akan menargetkan mereka yang memimpin kudeta, kepentingan ekonomi militer, dan aliran dana yang mendukung penindasan brutal militer Myanmar," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam sebuah pernyataan.
"Perusahaan-perusahaan itu tidak ditujukan untuk rakyat Burma."
Dalam sebuah langkah yang dikoordinasikan dengan Amerika Serikat, bekas kekuatan kolonial Inggris mengatakan akan membidik Myanma Economic Holdings Ltd, atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil dengan tokoh-tokoh militer senior di dalamnya.
Menteri Luar Negeri Dominic Raab mengatakan sanksi-sanksi itu akan membantu menguras sumber keuangan mereka atas tindakan represi militer.
Langkah-langkah AS sebelumnya telah memukul individu yang terkait dengan kudeta, sementara pemimpin junta dan komandan tentara Jenderal Min Aung Hlaing sudah masuk daftar hitam karena masalah hak asasi manusia sebelumnya.
Uni Eropa mengumumkan sanksi terhadap 11 individu pada hari Senin dan diperkirakan akan segera menargetkan para konglomerat lainnya.
Tetapi meskipun banyak pemerintah asing telah mengutuk tindakan militer, Thomas Andrews, pelapor khusus PBB tentang hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan respons diplomatik itu lambat dan "keluar dari langkah dengan skala krisis".
“Kondisi di Myanmar memburuk dan kemungkinan akan jauh lebih buruk tanpa "respons internasional segera, kuat, untuk mendukung mereka yang dikepung," katanya, menyerukan pertemuan puncak darurat tentang krisis tersebut.(AFP/Channel News Asia/Reuters)