Virus Corona
Andalkan Pasokan COVAX, Program Vaksinasi Korsel Terancam
Perlu diketahui, Korsel pun turut terdampak penundaan pengiriman vaksin AstraZeneca yang diproduksi di India.
Penulis:
Fitri Wulandari
Editor:
Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, SEOUL - Otoritas Korea Selatan (Korsel) menghadapi reaksi keras karena mengandalkan skema berbagi vaksin global COVAX untuk sebagian besar kuota untuk vaksinasi virus corona (Covid-19).
Perlu diketahui, Korsel pun turut terdampak penundaan pengiriman vaksin AstraZeneca yang diproduksi di India.
Ini tentunya membuat program vaksinasi negeri ginseng itu menjadi terhambat.
Baca juga: Vietnam Terima 811.200 Dosis Vaksin COVAX Pada Batch Pertama, Saat Pasokan Global Mulai Menipis
Dikutip dari laman Channel News Asia, Jumat (2/4/2021), setelah dipuji oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait keputusannya untuk mendapatkan vaksin melalui skema global, Korsel pun kini harus menghadapi kritik dari pejabatnya sendiri karena pemerintah berusaha keras untuk memenuhi kekurangan pasokan itu dengan mengandalkan COVAX.
Korsel, Indonesia, Filipina dan Vietnam termasuk diantara negara-negara yang terkena penundaan pengiriman vaksin yang telah dijanjikan sebelumnya, menyusul pembatasan ekspor yang dilakukan oleh produsen vaksin asal India.
Pada bulan Februari lalu, Korsel telah memangkas target vaksinasi di kuartal pertama, dari 1,3 juta orang menjadi hanya 750.000 orang.
Hal itu karena menyesuaikan dengan jadwal pasokan dari 2,6 juta dosis vaksin Covid-19 AstraZeneca dari COVAX.
Hambatan pengiriman COVAX terbaru yang diumumkan pada awal pekan ini menyatakan bahwa Korsel hanya akan menerima 432.000 dosis, bukan 690.000.
Baca juga: Montenegro Terima 24.000 Dosis Vaksin AstraZeneca Lewat COVAX
Pengiriman pun akan ditunda hingga sekitar minggu ketiga April ini.
Ini merupakan kali kedua program vaksinasi negara itu terkena imbas penundaan pasokan skema COVAX.
Seorang anggota parlemen independen yang duduk di Komite Kesehatan dan Kesejahteraan Parlemen Korsel, Lee Yong-ho meminta pemerintah negara itu untuk tidak membuat masyarakat kembali khawatir.
"Pemerintah seharusnya tidak lagi menimbulkan kecemasan publik terkait vaksin. Pemerintah harus memberlakukan pembatasan ekspor pada vaksin yang diproduksi secara lokal sampai ketidakpastian pasokan ini dapat diselesaikan, atau menghasilkan strategi pengadaan vaksin khusus dan membawa jumlah yang semula telah dipesan seperti yang direncanakan sebelumnya," jelas Yong-ho.
Sementara itu, Otoritas Kesehatan Korsel mengatakan bahwa mereka tidak mempertimbangkan untuk membatasi ekspor vaksin yang diproduksi secara lokal.
Melainkan mengadakan pembicaraan dengan produsen vaksin untuk mempercepat jadwal pengiriman.
Upaya tersebut tampaknya membuahkan hasil, karena pemerintah mengumumkan pada Kamis kemarin bahwa pengiriman 432.000 dosis vaksin AstraZeneca melalui skema COVAX akan dimajukan menjadi hari Sabtu pada pekan ketiga di bulan April ini.
"(Kami) telah mempercepat proses administrasi dan dapat memajukan jadwal dari yang sebelumnya disampaikan COVAX kepada kami," kata Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea.
Jadwal pengiriman yang fluktuatif ini pun telah menimbulkan kekhawatiran tentang target negara itu yang ingin mencapai kekebalan kelompok (herd immunity) pada November 2021, dengan melakukan imunisasi terhadap 12 juta orang pada bulan Juni mendatang.
Kendati demikian, pejabat pemerintah optimis bahwa tujuan tersebut dapat tercapai.
Seperti yang disampaikan Perdana Menteri (PM) Chung Sye-kyun dalam konferensi pers pada hari Kamis kemarin waktu setempat.
"Ini adalah target yang sangat dapat dicapai, karena kami telah memperhitungkan jadwal pasokan dan kemampuan inokulasi kami," kata Sye-Kyun.
Dengan asumsi tidak ada penundaan lebih lanjut, Korsel dijadwalkan menerima 13,7 juta dosis pada kuartal kedua.
Rinciannya adalah 6 juta dari Pfizer Inc, 7 juta dari AstraZeneca dan 729.000 dari COVAX.
Sementara itu, kandidat oposisi untuk pemilihan Wali Kota Seoul, Oh Se-hoon mengkritisi pemerintah pada minggu ini.
Hal itu karena peluncuran program vaksinasi yang dinilai lambat.
Peluncuran yang lambat ini, sebagian disebabkan oleh strategi awal negara itu untuk lebih fokus pada pengendalian virus melalui pengujian (testing) agresif serta pelacakan kontak (tracing), dibandingkan melakukan kesepakatan vaksin secara bilateral.
Saat sebagian besar negara kaya telah menghindari pembelian bersama melalui COVAX, Korsel justru meningkatkan kekhawatiran atas ketidakadilan terhadap akses untuk memperoleh vaksin.
Kendati demikian, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, memuji langkah Korsel yang mengandalkan vaksin melalui skema COVAX.
"Republik Korea meskipun merupakan negara berpenghasilan tinggi yang dapat secara mudah membeli vaksin melalui kesepakatan bilateral, namun saat ini tengah menunggu giliran untuk mendapatkan vaksin melalui COVAX," kata Tedros, pada 22 Maret lalu.
Begitu pula Pakar Darurat Utama WHO, Mike Ryan yang juga memuji upaya Korsel secara keseluruhan dalam mengatasi Covid-19.
"Negara itu tidak hanya mengembangkan pengawasan dan pengujian yang sangat sukses, namun juga mengekspor tes tersebut ke seluruh dunia, mengendalikan penyakit dengan cara yang sangat signifikan da' "membuat iri dunia'," kata Ryan.
Hingga saat ini, Korsel telah melaporkan 551 kasus baru pada hari Rabu lalu, sehingga total infeksi Covid-19 di negara itu menjadi 103.639, dengan mencatat 1.735 kematian.
Terlepas dari pujian internasional, beberapa pejabatnya termasuk anggota parlemen independen yang duduk di Komite Kesehatan dan Kesejahteraan Parlemen Korsel, Lee Yong-ho mengatakan bahwa program vaksinasi yang lambat menimbulkan keraguan tentang rencana pemerintah dalam mencapai herd immunity pada tahun ini.
"Dengan hanya 1,5 persen dari total 52 juta populasi yang divaksinasi, perlu dipertanyakan dengan pasokan yang ada saat ini terkait kapan kita akan mencapai herd immunity," tegas Yong-ho.