Minggu, 28 September 2025

Singapura Eksekusi Pria Malaysia yang Selundupkan Narkoba setelah Menolak Banding Disabilitas Mental

Singapura telah mengeksekusi Nagaenthran Dharmalingam, pria Malaysia yang dihukum atas kasus perdagangan narkoba meskipun ada permohonan grasi.

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Inza Maliana
Arif Kartono / AFP
File foto yang diambil pada tanggal 23 April 2022 ini menunjukkan para aktivis yang memprotes rencana eksekusi Nagaenthran K. Dharmalingam, seorang pria Malaysia yang cacat mental yang dijatuhi hukuman mati karena menyelundupkan heroin ke Singapura pada tahun 2009, di luar Komisi Tinggi Singapura di Kuala Lumpur. 

Heroin itu diikatkan ke pahanya saat itu.

Dharmalingam kemudian mengajukan banding di pengadilan banding Singapura pada Juli 2011, namun ditolak.

Pada Februari 2015, Dharmalingam mengajukan permohonan untuk diberikan hukuman penjara seumur hidup, bukan hukuman mati.

Pada tahun 2017, seorang psikiater, Dr Ken Ung, mengatakan bahwa Nagaenthran menderita kecacatan intelektual ringan, gangguan defisit perhatian dan gangguan minum - yang semuanya akan "mempengaruhi pengambilan keputusan secara signifikan".

Namun dalam pemeriksaan silang, Dr Ung justru mengatakan bahwa Nagaenthran mengalami borderline intellectual functioning.

Borderline intellectual functioning adalah kategorisasi kecerdasan di mana seseorang memiliki kemampuan kognitif di bawah rata-rata (umumnya IQ 70-85), tetapi tidak sampai mengalami kecacatan intelektual (IQ di bawah 70).

Sementara tiga psikiater lain mengatakan kepada pengadilan bahwa Nagaenthran tidak cacat intelektual, seseorang menyimpulkan bahwa batas IQ-nya mungkin telah berkontribusi terhadap kesadarannya untuk melakukan perbuatan melanggar hukum.

Pada akhirnya, pengadilan menetapkan bahwa Dharmalingam tidak cacat intelektual. 

Surat untuk Ibu Dharmalingam

Aktivis memegang poster NagaLenthran K. Dharmalingam, yang dihukum mati mengedarkan narkoba ke Singapura. Foto diambl di luar komisi tinggi Singapura di Kuala Lumpur pada 9 Maret 2022.
Aktivis memegang poster NagaLenthran K. Dharmalingam, yang dihukum mati mengedarkan narkoba ke Singapura. Foto diambl di luar komisi tinggi Singapura di Kuala Lumpur pada 9 Maret 2022. (Arif Kartono / AFP)

Kasus Dharmalingam kembali mencuat tahun lalu karena surat pemberitahuan eksekusi dikirim kepada ibu Dharmalingam.

Masih mengutip Indian Express, pada 26 Oktober 2021, Layanan Penjara Singapura mengirim surat kepada ibu Dharmalingam yang menginformasikan tentang eksekusi anaknya yang ditetapkan pada 10 November.

Surat itu lantas beredar di media sosial.

Sejak itu, organisasi hak asasi manusia mulai meminta pemerintah untuk mengampuni Nagaenthran, mengingat mentalnya yang dianggap cacat.

Kasus ini mendapat kecaman dari Uni Eropa, Amnesty International, Divisi Keadilan Sosial Asosiasi Psikologi Amerika, Kampanye Anti-Hukuman Penalti Singapura dan Kolektif Keadilan Transformatif.

"Delegasi Uni Eropa dan misi diplomatik Negara Anggota Uni Eropa dan Norwegia dan Swiss menentang penggunaan hukuman mati, yang tidak pernah dapat dibenarkan, dan mengadvokasi Singapura untuk mengadopsi moratorium pada semua eksekusi sebagai langkah pertama yang positif menuju penghapusannya," kata Delegasi Uni Eropa dalam pernyataannya.

"Hukuman mati adalah hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, peninggalan masa awal penologi, ketika perbudakan, branding, dan hukuman fisik lainnya adalah hal biasa."

"Seperti praktik-praktik biadab itu, eksekusi tidak memiliki tempat dalam masyarakat yang beradab," ungkap Divisi Keadilan Sosial Asosiasi Psikologi Amerika dalam pernyataannya.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan