Iran Memanas
Kerusuhan di Iran Meluas ke 80 Kota, 17 Orang Tewas, Pasukan Elite Garda Revolusi Diturunkan
Aksi protes pada Kamis (22/09/2022) sudah memasuki hari keenam dan meluas ke setidaknya 80 kota.
Editor:
Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, IRAN - Kerusuhan di Iran kian memuncak.
Polisi bentrok dengan warga di Teheran, ibu kota Iran.
Rusuh terjadi buntut protes warga yang dipicu tewasnya perempuan muda, Mahsa Amini, setelah ditangkap polisi moral.
Amini, 22 tahun, ditangkap dengan tuduhan "tidak sempurna mengenakan hijab".
Ayah Amini menduga anaknya tewas di tangan polisi.
Beberapa laporan menyebutkan bentrok di Teheran adalah yang terburuk dalam tiga tahun.
Seorang warga kepada BBC Persian mengatakan kawasan tempat ia tinggal sudah mirip "medan pertempuran".
Baca juga: Sosok Mahsa Amini, Perempuan Iran yang Meninggal Dianiaya Polisi Moral di Teheran
Aksi protes pada Kamis (22/09/2022) sudah memasuki hari keenam dan meluas ke setidaknya 80 kota.
Televisi pemerintah mengatakan 17 orang tewas sejauh ini, tiga diantaranya adalah anggota aparat keamanan.
Di Kota Mashhad di timur, seorang pemrotes perempuan berdiri di atas mobil polisi dan berteriak, "Kami tidak menginginkan republik Islam."
Garda Revolusi, yang sangat berpengaruh, sudah meminta aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan tegas bagi mereka yang dianggap menyebarkan berita bohong ataupun rumor.
Pihak berwenang juga dilaporkan berusaha memblokir akses internet.
Pemrotes membakar sampah dan memblokir jalan.
Dalam unjuk rasa Rabu (21/09), ratusan demonstran berteriak "matilah diktator" dan "perempuan, kehidupan, kebebasan" di sejumlah lokasi, termasuk Universitas Teheran.
Di berbagai kota di seluruh penjuru Iran, orang-orang melempar batu atau membakar mobil-mobil polisi.
Para demonstran perempuan membakar hijab atau memotong rambut mereka di depan umum.
Di wilayah Sari, di utara Teheran, kerumunan besar demonstran bersorak ketika para perempuan membakar hijab mereka dalam aksi protes yang menantang.
Wartawan BBC, Kasra Naji, mengatakan beberapa kawasan di Teheran utara dan tengah, penuh dengan gas air mata pada Rabu malam ketika polisi antihuru-hara, dengan dukungan aparat keamanan tak berseragam, menyerang para pemrotes di sejumlah lokasi.
Di beberapa ruas jalan, demonstran membakar sampah dan melakukan pemblokiran seraya meneriakkan slogan-slogan yang mengecam pemimpin terrtinggi Iran.
Aksi protes yang meluas ini dipicu oleh tewasnya perempuan bernama Mahsa Amini di tahanan polisi.
Televisi pemerintah Iran mengatakan 17 orang tewas sejauh ini, tiga di antaranya adalah anggota aparat keamanan.
Ayah Amini mengatakan putrinya memar-memar saat berada di kantor polisi dan sebelumnya tak punya masalah kesehatan.
Dalam wawancara dengan BBC Persian, ayah Amini, Amjad, mengatakan dirinya dilarang memeriksa jenazah putrinya sebelum dimakamkan.
Ia mengatakan dirinya hanya dibolehkan melihat jenazah di bagian wajah, namun dilarang melihat kepala bagian belakang.
Dibolehkan juga melihat kedua kaki, yang ia katakan memar.
Mahsa Amini meninggal di rumah sakit pada hari Jumat (16/09), setelah sebelumnya dirawat tiga hari dalam keadaan koma.
Amini ditangkap di ibu kota pekan lalu oleh polisi moral Iran.
Ia dituduh melanggar hukum yang mewajibkan perempuan untuk menutupi rambut mereka dengan hijab, dan lengan dan kaki mereka dengan pakaian longgar.
Amini mengalami koma tak lama setelah pingsan di pusat penahanan.
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa polisi memukul kepala Amini dengan tongkat dan membenturkan kepalanya ke salah satu kendaraan mereka, kata Penjabat Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Nada al-Nashif.
Polisi membantah bahwa Amini dianiaya dan mengatakan dia menderita "gagal jantung mendadak".
Namun, keluarga Amini membantah dan mengatakan dia bugar dan sehat.
Perempuan berusia 22 tahun itu berasal dari Provinsi Kurdistan di Iran barat, di mana tiga orang tewas pada Senin lalu ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan ke arah pengunjuk rasa.
Seorang ajudan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengunjungi keluarga Amini pada hari Senin dan mengatakan kepada mereka bahwa "semua lembaga akan mengambil tindakan untuk membela hak-hak yang dilanggar", media pemerintah melaporkan.
Anggota parlemen senior Jalal Rashidi Koochi secara terbuka mengkritik polisi moral, mengatakan pasukan itu adalah "kesalahan" karena hanya menghasilkan "kerugian dan kerusakan" bagi Iran.
Apa hukum hijab Iran?
Setelah Revolusi Islam tahun 1979, pihak berwenang di Iran memberlakukan aturan berpakaian yang mewajibkan semua perempuan mengenakan hijab dan pakaian longgar yang menyamarkan lekuk tubuh di depan umum.
Polisi moralitas - yang secara resmi dikenal sebagai "Gasht-e Irsyad" (Patroli Pembimbing) - ditugaskan, antara lain, untuk memastikan perempuan sesuai dengan interpretasi pihak berwenang tentang pakaian "yang pantas".
Petugas memiliki kewenangan untuk menghentikan perempuan dan menilai apakah mereka memperlihatkan terlalu banyak rambut; celana panjang dan mantel terlalu pendek atau pas; bahkan memakai terlalu banyak rias wajah.
Hukuman jika melanggar aturan termasuk mulai dari denda, penjara hingga cambuk.
Pada tahun 2014, perempuan Iran mulai berbagi foto dan video tentang diri mereka sendiri yang secara terbuka mencemooh undang-undang hijab sebagai bagian dari kampanye protes online yang disebut "My Stealthy Freedom".
Tindakan itu mengilhami gerakan lain, termasuk "White Wednesdays" dan "Girls of Revolution Street".
Hengaw, organisasi berbasis di Norwegia yang memantau HAM di daerah yang didominasi Kurdi, mengatakan 38 orang terluka pada Sabtu dan Minggu.
Polisi anti huru hara menembakkan peluru tajam, peluru karet, dan gas air mata kepada para demonstran di Saqez dan Sanandaj, ibu kota provinsi Kurdistan Iran.
Kelompok tersebut melaporkan bahwa tiga pengunjuk rasa pria ditembak dan tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan pada hari Senin - satu di Saqez dan dua lainnya di kota Divandarreh dan Dehgolan - ketika kerusuhan meningkat.
Di Teheran, video yang diunggah online menunjukkan perempuan melepas hijab mereka dan meneriakkan "matilah diktator" - nyanyian yang sering digunakan untuk merujuk pada Pemimpin Tertinggi.
Yang lain meneriakkan "keadilan, kebebasan, tidak untuk kewajiban hijab". Di provinsi utara Gilan, pengunjuk rasa juga bentrok dengan polisi.
Seorang perempuan yang ikut serta dalam protes pada Senin malam di kota utara Rasht mengirim foto-foto ke BBC Persia.
Foto itu berisi apa yang dia katakan sebagai memar yang dideritanya akibat dipukuli oleh polisi anti huru hara dengan tongkat dan selang.
"[Polisi] terus menembakkan gas air mata. Mata kami terbakar," katanya.
"Kami melarikan diri, [tetapi] mereka memojokkan saya dan memukuli saya. Mereka menyebut saya pelacur dan mengatakan saya berada di jalan untuk menjual diri.
Perempuan lain yang berdemo di pusat kota Isfahan mengatakan kepada wartawan BBC Ali Hamedani: "Saat kami melambaikan hijab kami ke langit, saya merasa sangat emosional dikelilingi dan dilindungi oleh pria lain. Senang rasanya melihat persatuan ini. Saya harap dunia mendukung kami."
Gubernur Teheran Mohsen Mansouri men-twit pada hari Selasa bahwa protes itu "sepenuhnya diatur dengan agenda untuk menciptakan kerusuhan", sementara TV pemerintah menuduh bahwa kematian Amini digunakan sebagai "alasan" oleh separatis Kurdi dan kritikus pendirian.
Kekhawatiran PBB
PBB telah menyampaikan kekhawatiran atas tindakan pihak berwenang di Irak dalam merespons aksi protes yang dipicu oleh meninggalnya Mahsa Amini, perempuan yang ditahan karena melanggar aturan hijab.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan tiga orang tewas hari Senin (19/09) ketika aparat keamanan mengeluarkan tembakan ke arah massa yang memprotes di jalan-jalan di Provinsi Kurdistan.
PBB mendesak para pemimpin Iran untuk mengizinkan unjuk rasa damai dan menggelar investigasi yang transparan atas meninggalnya Amini.
Amini, 22 tahun, perempuan dari etnik Kurdi meninggal dunia di rumah sakit pada hari Jumat (16/09) setelah koma selama tiga hari.
Ia bersama saudara laki-lakinya saat ditahan oleh polisi moral di ibu kota Teheran, hari Selasa (13/09), dengan tuduhan melanggar aturan yang mewajibkan perempuan mengenakan hijab.
Pejabat komisioner HAM PBB, Nada Al-Nashif, mengatakan ada laporan Amini dipukul dengan tongkat di bagian kepala dan kepalanya dibenturkan ke mobil.
Polisi membantah klaim ini dan menyatakan Amini "tiba-tiba mengalami gagal jantung".
Namun pihak keluarga menegaskan, Amini sehat dan bugar.
Terjadi kerusuhan saat ia dimakamkan hari Sabtu (17/09).
Beberapa perempuan yang berdemonstrasi di tengah upacara pemakaman Amini dilaporkan melepas hijab mereka sebagai protes atas kewajiban mengenakan hijab di negara itu.
Dalam video yang beredar di dunia maya, para pelayat meneriakkan "matilah diktator", dengan polisi kemudian menembaki kerumunan.
Pemakaman berlangsung di Saqez, kampung halaman Amini, yang terletak di Kurdistan, Iran bagian barat.
Dalam video lain yang beredar di media sosial, penduduk setempat berkumpul pagi-pagi sekali demi menghindari pasukan keamanan Iran mencegah mereka melakukan demonstrasi di pemakaman.
Laporan menunjukkan bahwa beberapa pengunjuk rasa yang marah berbaris menuju kantor gubernur setempat untuk memprotes kematian Amini.
Menurut video yang diterima dan diverifikasi oleh BBC Persia, pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa.
Sejumlah warga dilaporkan cedera dan ditangkap.
Dalam sebuah video yang dipublikasikan di Twitter, pasukan keamanan terlihat menjaga kantor gubernur dan menangkap pengunjuk rasa yang mencoba mendekati gedung.
Sementara, unggahan lain menunjukkan nisan Amini beredar di dunia maya. Nisan itu bertuliskan: “Kamu tidak mati. Namamu akan menjadi kode [untuk panggilan berunjuk rasa].”
Dipukul polisi atau serangan jantung?
Amini ditangkap pada Selasa (13/09) oleh polisi moral Iran karena diduga tidak mematuhi aturan kewajiban hijab.
Menurut saksi mata, dia dipukuli saat berada di dalam mobil polisi yang menangkapnya.
Kekerasan yang ia alami membuatnya berada dalam kondisi koma.
Polisi Iran membantah tuduhan pemukulan, dengan mengatakan bahwa Amini "menderita gagal jantung mendadak".
Namun keluarga Amini mengatakan bahwa dia perempuan muda yang sehat tanpa kondisi medis tertentu yang membuatnya berpotensi mengalami masalah jantung mendadak.
Presiden Iran Ebrahim Raisi, yang berhaluan garis keras, telah memerintahkan kementerian dalam negeri untuk melakukan penyelidikan atas kematian tersebut.
Apa yang terjadi usai kematiannya?
Rumah Sakit Kasra di Teheran Utara mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa ketika Amini dirawat pada 13 September, tubuhnya menunjukkan "tidak ada tanda-tanda vital".
Pernyataan itu kemudian dihapus dari media sosial rumah sakit setelah akun media sosial garis keras menuduh staf rumah sakit sebagai "agen anti-rezim".
TV Iran juga menayangkan rekaman CCTV Amini yang ditahan.
Aktivis hak asasi manusia menuduh TV pemerintah menyensor rekaman untuk membuat berita palsu.
Menurut Netblocks, sebuah organisasi pengawas yang memantau keamanan siber dan tata kelola internet, koneksi internet telah terganggu di berbagai lokasi di Iran sejak berita kematian Amini, termasuk di ibu kota, Teheran, dan Saqez.
Banyak pengguna internet mengatakan mereka tidak dapat mengunggah video di Instagram atau mengirim konten melalui WhatsApp.
Surat kabar Sharq yang dikendalikan negara Iran melaporkan bahwa kecepatan internet Teheran yang sangat rendah mengganggu pasar saham pada hari Sabtu.
Banyak orang Iran, termasuk individu pro-pemerintah, mengekspresikan kemarahan mereka di platform media sosial mengenai keberadaan polisi moral, juga dikenal sebagai Patroli Pembimbing.
Unggahan mereka disertai tagar yang diterjemahkan sebagai Patroli Pembunuhan.
Sejumlah video yang beredar di media sosial menunjukkan aparat menahan para perempuan, menyeret mereka, dan dengan paksa membawa mereka pergi.
"Pembenaran dan pendidikan'
Polisi Teheran beralasan penangkapan Amini karena "pembenaran dan pendidikan" tentang hijab yang wajib dikenakan oleh semua perempuan Iran.
Insiden yang terhadap terhadap Amini adalah yang terbaru dari serangkaian laporan kebrutalan terhadap perempuan oleh pihak berwenang di Iran dalam beberapa pekan terakhir.
Sejak revolusi Islam pada 1979 di Iran, perempuan secara hukum diwajibkan untuk mengenakan pakaian "Islam" yang sederhana.
Dalam praktiknya, ini berarti para perempuan harus mengenakan cadar, pakaian yang menutup seluruh tubuh, hijab, dan manteau (mantel) yang menutupi lengan mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, kampanye menentang kewajiban mengenakan hijab bagi para perempuan menguat di Iran.
Namun, aksi-aksi keras yang dilakukan polisi moralitas Iran terhadap para perempuan yang dituding melanggar aturan berpakaian telah membuat mereka yang menentang kebijakan itu menyerukan tindakan.
Baru-baru ini, kepala peradilan Iran, Gholamhossein Mohseni-Ejeie, menyarankan bahwa kekuatan asing berada di balik kampanye tersebut, menginstruksikan badan-badan intelijen untuk menemukan "tangan di balik cadar".
Banyak orang Iran menyalahkan Pemimpin Tertinggi, Ali Khamenei, secara langsung.
Pidato lamanya dibagikan kembali di media sosial di mana ia membenarkan peran polisi moral dan menegaskan bahwa di bawah pemerintahan Islam, perempuan harus dipaksa untuk mematuhi aturan berpakaian Islami.