Minggu, 5 Oktober 2025

Satu tahun Tragedi Kanjuruhan - ‘Jalan berliku meraih keadilan’ bagi penyintas dan keluarga korban

Setahun setelah kerusuhan usai pertandingan antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur yang menewaskan…

BBC Indonesia
Satu tahun Tragedi Kanjuruhan - ‘Jalan berliku meraih keadilan’ bagi penyintas dan keluarga korban 

Tak ada lagi kesedihan di raut wajah Vidia Darma Nur Ariyanti, 19 tahun.

Roman mukanya datar, bahkan beberapa kali bibirnya tersungging dan tertawa saat mengisahkan malam kelam di Stadion Kanjuruhan setahun lalu, pada 1 Oktober 2022.

Ia menceritakan kehilangan adiknya M. Rian Fauzi yang berusia 15 tahun dan pacarnya, Muhammad Ilham Sabilillah, yang kala itu berusia 18 tahun, di hadapan sekitar 100-an mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, Jumat malam, 29 September 2023.

“Pacar dan adikku meninggal, tubuhku sempat terinjak-injak,” katanya dalam diskusi dibarengi pemutaran film dan pameran seni memperingati satu tahun tragedi Kanjuruhan.

Usai pertandingan Arema FC lawan Persebaya, sejumlah penonton turun ke lapangan. Polisi menghalau dan menembakkan gas air mata. Aparat polisi juga menembakkan gas air mata di tribun tempat Vidia, pacar, dan adiknya duduk.

Lantas, mereka memilih turun tribun menuju pintu 13. Tak disangka, penonton berdesak-desakan. Ia terhimpit hingga terjatuh.

“Ilham teriak, ‘pacarku mati’. Tapi penonton lain justru memukuli Ilham,” tutur Vidia, seperti dilaporkan oleh Eko Widianto, wartawan di Malang yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Bahkan, saat jatuh, tubuhnya terinjak-injak penonton lain.

Adik Vidia, Rian, yang berada di belakang, memanggil dan menarik tubuhnya. Namun, Rian tak kuat. Dia menyangka Vidia meninggal, ia memilih menepi dan keluar stadion.

Vidia lantas terbangun dan minta tolong para penonton. Namun, mereka tak menghiraukannya karena menyelamatkan diri masing-masing. Beruntung, seorang penonton mengangkatnya hingga berhasil keluar Stadion Kanjuruhan.

Bekas telapak sepatu menempel di wajahnya, penonton lain mengerumuninya.

“Saya berdiri meminta tolong, tapi tak ada yang merespons,” tutur Vidia, ia tercekat menghentikan ceritanya.

Saat berjalan di tepi Stadion Kanjuruhan, ia menemukan Ilham terbujur kaku. Wajahnya penuh dengan luka lebam dan sayatan.

Vidia menemukan tas Ilham, yang di dalamnya ada gawai milik kekasihnya tersebut.

Dia menghubungi keluarga Ilham dan menyampaikan bahwa Ilham meninggal dalam kejadian tersebut.

Tak lama kemudian, seorang tentara mengangkat jenazah Ilham dan memindahkannya ke lokasi yang lebih lapang.

“Saya tak bisa menangis, hanya terdiam. Muntah-muntah, keluar air berwarna hitam,” katanya.

Ia syok. Keluarga Ilham datang membawa jenazah dan mengantar pulang Vidia. Ia baru tiba di rumahnya yang berlokasi di Tumpang, Kabupaten Malang, sekitar pukul 3.30 WIB.

Lalu bagaimana dengan Rian, adik Vidia?

Awalnya, Vidia menduga adiknya pulang mengendarai motor sendirian. Namun dia tak menemuinya di rumah.

Esok harinya, orang tuanya mencari ke Stadion Kanjuruhan dan menemukan Rian meninggal pada pukul 11.00 WIB.

“Tubuhnya bersih, tak ada luka. Mungkin kehabisan napas,” kata Vidia.

Seorang penyintas lain, Deyangga Sola Gratia, 24 tahun, terpapar gas air mata hingga menyebabkan sakit di dada dan sesak napas saat bekerja berat. Bahkan, ia harus menjalani pendampingan psikolog selama hampir setahun.

“Sedih, perih, dan kecewa. Sampai sekarang tidak mendapat keadilan,” katanya.

Ia juga mengalami trauma. Saat mendengar ledakan dan sirine, keluar keringat dingin, ketakutan, resah dan peristiwa 1 Oktober 2022 kembali terngiang-ngiang.

Hingga kini, para penyintas dan keluarga penyintas tragedi Kanjuruhan terus memperjuangkan keadilan.

Ancaman dan percobaan pembunuhan

Jalan terjal memperjuangkan keadilan itu juga dialami Devi Athok Yulfitri. Pria berusia 44 tahun itu kerap mendapat ancaman dan mengeklaim hampir menjadi korban percobaan pembunuhan.

Devi kehilangan dua putrinya, Natasya Devi Ramadhani, 16 tahun, dan Naila Debi Anggraini, 13 tahun, serta mantan istrinya Gebi Asta Putri Purwoko, 37 tahun.

“Rumah didatangi orang tak dikenal, saya pernah ditabrak mobil di depan rumah,” katanya.

Atas rentetan insiden tersebut, warga Desa Krebet Senggrong, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang ini mendapat perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sejak 22 Oktober 2022.

Ia mendapat perlindungan melekat, terutama sejak ia mengajukan autopsi untuk kedua anaknya. Devi Athok meyakini anaknya meninggal akibat terpapar gas air mata, lantaran tak ada luka di tubuh.

“Wajah menghitam, mulut mengeluarkan busa,” katanya.

Ancaman juga dialami Cholifatul Nur, 40 tahun, warga Desa Kasembon, Kecamatan Bulalawang, Kabupaten Malang.

Ban mobilnya dilumuri oli dan stempet, yang diduga untuk menyelakai dirinya.

“Seseorang berpakaian hitam, bersepeda motor hitam hampir menabrak. Beruntung saya lolos,” katanya.

Cholifatul Nur yang akrab disapa Ifa, kehilangan anak semata wayangnya, Jovan Farellino Yuseifa Pratama Putra, 15 tahun.

LPSK juga memberi pendampingan dan pengawasan terhadap Ifa sampai kini.

Ifa dan Devi Athok adalah keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang selama ini kerap lantang dan vokal menyuarakan keadilan. Mereka menuntut para pelaku dihukum berat.

“Hukum mati, nyawa dibalas nyawa,” katanya.

Hidup Ifa berubah total sejak kehilangan Jovan. Sebagai orang tua tunggal, Jovan menjadi harapan hidupnya.

Kini, setiap hari pada pagi atau sore Ifa berziarah di pusara Jovan. Aneka bunga ditanam di atas makam.

Makam Jovan terlihat bagus dan indah dibanding makam lain. Bunga krisan dan bunga mawar ditanam di atas makam.

“Jovan suka aroma harum, dan wangi-wangian,” katanya.

Jalan terjal memperjuangan keadilan

Koordinator Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK), Imam Hidayat, menuturkan penyintas dan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan butuh waktu panjang untuk mendapat keadilan.

“Jalan berliku, terjal dan panjang untuk meraih keadilan. Setahun, belum ada keadilan bagi korban,” katanya.

Berbagai langkah dilakukannya bersama keluarga penyintas untuk mendapat keadilan.

Pekan lalu, mereka melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisi III, dan Ombudsman.

Langkah ini ditempuh setelah laporan model B, yang diajukan keluarga korban dihentikan penyidikannya oleh Polres Malang dengan mengeluarkan Surat Penghentian Penghentian Penyidikan (SP3).

“Penyidik Mabes Polri lebih kompeten, dan punya kewenangan,” katanya.

Selain itu, ia meminta Komnas HAM kembali turun melakukan investigasi dan penyelidikan lebih mendalam, serta memutuskan terjadi pelanggaran HAM berat saat tragedi Kanjuruhan tersebut.

Sebab, kata Imam, kekerasan dilakukan aparat kepolisian dan militer serta menggunakan gas air mata yang dilarang federasi sepak bola internasional FIFA.

Sedangkan laporan model A, yang dilaporkan internal kepolisian dianggap penuh rekayasa dan kejanggalan. Lantaran perkara disidik polisi, sedangkan tiga terdakwa dalam perkara tersebut juga polisi.

Bahkan, bidang hukum kepolisian menjadi kuasa hukum polisi yang menjadi terdakwa dalam perkara tersebut.

“Gelar perkara dilakukan di Polda Jatim, tak melibatkan saksi dan keluarga korban,” katanya.

Sehingga tak heran, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan Kabag Ops Polres Malang, Wahyu Setyo Pranoto divonis bebas di PN Surabaya dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur.

Di tingkat kasasi, Sidik divonis dua tahun dan Wahyu 2,5 tahun.

Sedangkan Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis 1 tahun dan enam bulan penjara kepada Ketua Panpel Arema FC, Abdul Haris.

Sedangkan tingkat kasasi di Mahkamah Agung hukuman menjadi dua tahun penjara.

Adapun kepala keamanan, Suko Sutrisno divonis setahun penjara, sementara Komandan Kompi Brimob Polda Jatim Hasdarmawan divonis 1,5 tahun penjara.

Salah satu penyintas Tragedi Kanjuruhan, Deyangga Sola Gratia, menyebut hukuman bagi para terdakwa tak sebanding dengan penderitaannya, seraya menuntut pelaku dicopot sebagai anggota polisi.

Selain itu, ia juga menuntut pimpinan kepolisian mulai Kapolres Malang dan Kapolda Jawa Timur diajukan ke meja hijau. Tak hanya hukuman disiplin semata.

Dosen Antropologi dari Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Brawijaya, Hatib Abdul Qadir, menilai Tragedi Kanjuruhan merupakan kejahatan negara yang dilakukan aparatus dengan menembakkan gas air mata.

Dulu, katanya, gas air mata ditembakkan kepada perusuh di Tolikara, Papua. Namun, kini semakin dekat digunakan menembak penonton sepak bola di stadion Kanjuruhan, Dago Bandung dan Rempang.

“Gas air mata semakin dekat. Ada di depan rumah kita,” katanya.

Cita-cita reformasi, katanya, memisahkan polisi dari tentara yang telah berlangsung selama Orde Baru.

Polisi mengurusi persoalan sipil dengan menghilangkan unsur militeristik.

“Pemerintah gagal sipilkan polisi, malah membunuh warga sipil,” katanya.

Di sisi lain, gerakan solidaritas mengalir untuk penyintas dan keluarga korban menjelang satu tahun peringatan satu tahun Tragedi Kanjuruhan.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas Pariwisata Kota Batu, Miftahudin Ramli, 52 tahun mengayuh sepeda Malang-Jakarta untuk mendukung keluarga penyintas.

Sendirian, ia berangkat 3 Agustus 2023 mengayuh sepeda sejauh 800 kilometer.

“Sepanjang jalan banyak yang mendukung dan bersimpati. Mereka memberi bekal makanan, kudapan dan rokok,” katanya.

Sesampai di Gelora Bung Karno Jakarta pada 14 Agustus 2023, ia tak kuasa meneteskan air mata dan bersujud syukur. Midun mengaku tak menyangka mampu mengayuh sepeda sampai di Jakarta.

Midun turut melihat pameran seni di FIB Universitas Brawijaya. Sejumlah sketsa, lukisan dan poster karya mahasiswa menghias ruang pamer, bertema “merawat ingatan menolak lupa tragedi Kanjuruhan” kembali membangun gerakan solidaritas.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved