Konflik Palestina Vs Israel
Netanyahu Bersumpah Serang Rafah Lagi Buntut Sandera Ditahan Hamas, Putin Ikut Campur
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu bersumpah melakukan agresi militer kembali di Rafah karena sandera masih ditahan Hamas
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu bersumpah melakukan agresi militer kembali di Rafah.
Hal ini buntut sandera Israel yang masih ditahan oleh kelompok militan Hamas.
Padahal, operasi militer besar-besaran yang dilakukan tentara Israel di Rafah menimbulkan kecaman dunia akibat korban dan kerusakan yang ditimbulkan beberapa waktu lalu.
Namun, Netanyahu tetap bersikukuh membuat ultimatum agar Hamas menyerahkan sanderanya.
Ancaman terhadap pasukan Hamas ini berlaku jelang Ramadhan tiba.
Sementara, Benjamin Netanyahu menepis seruan untuk menghentikan serangan militer di Gaza, dan bersumpah untuk “menyelesaikan tugas” menyerang kota Rafah di selatan.
Pemerintah Israel belum secara terbuka membahas jadwal serangan darat di Rafah, tempat lebih dari separuh 2,3 juta warga Palestina itu berada dan mencari perlindungan.
Pernyataan tersebut secara tersirat dikatakan oleh pensiunan jenderal Benny Gantz, yang merupakan bagian dari tiga anggota kabinet perang Netanyahu, mewakili suara yang berpengaruh.
“Jika pada bulan Ramadhan para sandera kami tidak dilepaskan, pertempuran akan berlanjut hingga ke wilayah Rafah,” kata Gantz dikutip dari AP.
Ramadhan, yang diperkirakan akan dimulai pada 10 Maret, secara historis merupakan waktu yang menegangkan di wilayah tersebut.
Gencatan Senjata Gagal
Baca juga: Hak Veto AS Bayang-bayangi Rencana Pemungutan Suara untuk Gencatan Senjata di Gaza
Dikabarkan, perundingan gencatan senjata gagal mencapai tanda-tanda kemajuan dalam beberapa pekan terakhir.
Netanyahu menyebut tuntutan kelompok militan Hamas yang berkuasa di Gaza sebagai “delusi” alias tidak rasional.
AS, sekutu utama Israel, mengatakan pihaknya masih berharap bisa menengahi gencatan senjata dan perjanjian pembebasan sandera, dan membayangkan resolusi yang lebih luas atas perang yang dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan.
Washington juga mengatakan akan menggunakan hak veto rancangan resolusi PBB lainnya yang menyerukan gencatan senjata, dan duta besarnya di PBB memperingatkan terhadap tindakan yang dapat membahayakan “peluang bagi resolusi permusuhan yang abadi”.
Netanyahu menentang pembentukan negara Palestina, yang oleh AS disebut sebagai elemen kunci dalam visi yang lebih luas untuk normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi.
Kabinetnya mengadopsi deklarasi pada hari Minggu yang mengatakan Israel dengan tegas menolak keputusan internasional mengenai perjanjian permanen dengan Palestina dan menentang pengakuan sepihak atas negara Palestina.
Putin Ikut Campur
Presiden Rusia, Vladimir Putin mengundang milisi Hamas dan kelompok Palestina Fatah ke Moskow untuk berdiskusi terkait strategi perundingan perang yang saat ini tengah memanas di Timur Tengah.
Keinginan Putin tersebut disampaikan langsung oleh Wakil Menteri Luar Negeri Mikhail Bogdanov, disaat Israel gencar melakukan serangan ke wilayah Rafah, yang menjadi pusat penampungan pengungsi di Gaza Selatan.

Dalam laporan tertulisnya utusan khusus Presiden Vladimir Putin itu menyebut bahwa pertemuan antara Rusia dengan pimpinan Hamas dan kelompok Fatah akan dijadwalkan pada tanggal 29 Februari 2024.
Baca juga: India Kirim Drone Hermes 900 ke Israel, Tentara Israel akan Serbu Rafah, Drone Tahan 30 Jam di Udara
“Kami mengundang semua perwakilan Palestina untuk melakukan pembicaraan “antar-Palestina” yang dijadwalkan dimulai pada 29 Februari,” jelas Bogdanov dikutip dari media lokal Israel i24 News.
Tak hanya para milisi pro-Palestina yang akan diundang Putin ke Gedung Putih Moskwa, nantinya sejumlah negara juga akan ikut bergabung dalam perundingan tersebut termasuk Suriah, Lebanon, dan negara-negara lain di Timur Tengah lainnya.
Pertemuan darurat ini digagas Putin sebagai bentuk dukungan Rusia terhadap warga Palestina.
Bahkan baru – baru ini Putin memberikan isyarat bahwa pihaknya tidak mengesampingkan kemungkinan Rusia memberikan uang dan senjata kepada kelompok militan Hamas.
Kemesraan Hubungan Hamas dengan Rusia
Tak seperti negara barat lainnya, Rusia vokal menganggap Hamas sayap militan bukan sebagai teroris. Pejabat Rusia memberikan dua alasan mengapa mereka membutuhkan hubungan baik dengan Hamas.
Pertama, sejumlah kecil warga Rusia, mungkin beberapa ratus, tinggal di Gaza dan bekerja di pusat kebudayaan Rusia Kalinka, di bawah naungan Kementerian Luar Negeri Rusia.
Namun dalam praktiknya, pusat kebudayaan Rusia dikenal sebagai garda depan intelijen. Politisi Palestina memandang Moskow sebagai penyeimbang Amerika.
Rusia dibawah Putin, bahkan diam - diam, memberikan dukungan material kepada Hamas. Menurut laporan Wall Street Journal, kelompok teroris yang terkait dengan Hamas menemukan cara untuk menghindari sanksi Barat yakni dengan memanfaatkan pertukaran mata uang kripto Rusia.
Selain itu Rusia juga aktif mengirimkan bantuan senjata diantaranya, Rudal anti-bunker RPO-A yang merupakan sebuah peluncur tembak yang dibekali hulu ledak thermobaric. Senjata ini praktis untuk digunakan lantaran dapat dipasang di bahu dan digunakan untuk menyerang posisi dengan jarak mencapai 1000 meter.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.