Rabu, 10 September 2025

Korupsi tambang timah timbulkan kerugian negara Rp271 triliun - Siapa 'pemain utama' dan bagaimana dampaknya pada lingkungan?

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut kasus dugaan korupsi penambangan timah ilegal di lahan milik PT Timah yang mengakibatkan…

BBC Indonesia
Korupsi tambang timah timbulkan kerugian negara Rp271 triliun - Siapa 'pemain utama' dan bagaimana dampaknya pada lingkungan? 

Kerugian perekonomian itu terkait dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan di kawasan hutan dan non-hutan.

Termasuk juga kerugian ekonomi lingkungan dan biaya pemulihan lingkungan.

"Bekas area tambang yang seharusnya dipulihkan ternyata sama sekali tidak dipulihkan dan ditinggalkan begitu saja sehingga meninggalkan lubang yang begitu besar," ujar Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi.

Gara-gara lubang tambang, 15 orang meninggal

Akan tetapi, Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz, meminta Kejaksaan Agung agar melengkapi kajiannya tentang kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah.

Sebab hitungan kerugian perekonomian negara yang disebut mencapai Rp271 triliun belum sepenuhnya tuntas.

Menurutnya, kerugian perekonomian negara berupa kerusakan lingkungan tak hanya terjadi di kawasan hutan dan non-hutan. Tapi juga, di wilayah pesisir dan laut.

"Kami mendorong negara juga mengakumulasi kerugian di wilayah pesisir dan laut, karena lanskap Bangka Belitung tidak bisa dipisahkan dari daratan dan lautan. Ruang hidup masyarakat Babel di wilayah laut dan darat," ujar Ahmad Subhan Hafiz kepada BBC News Indonesia, Senin (01/04).

"Dan Walhi melihat angka Rp271 triliun itu bisa lebih besar karena belum mengakumulasi kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta meninggalnya belasan orang."

Merujuk pada data Walhi Bangka Belitung, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan pada tahun 2019 mencapai satu juta hektare lebih, dari total luas Bangka Belitung sekitar 1,6 juta hektare.

Dari angka itu, hampir 50% izin pertambangan dimiliki oleh PT Timah. Selebihnya dikelola ratusan perusahaan.

Sialnya, menurut Walhi, terjadi deforestasi besar-besaran akibat pertambangan timah di kawasan hutan lantaran mayoritas perusahaan yang mengantongi izin maupun tidak, tak kunjung melakukan reklamasi atau pemulihan.

Akibatnya, 12.000 lebih lubang galian tambang timah dibiarkan menganga.

"Perkiraan kami ada 12.607 lubang tambang yang belum direklamasi selama tiga tahun, sejak 2021 sampai 2023," jelasnya.

"Kalau dihitung belasan ribu lubang tambang itu sama dengan luasan 15.579 hektare."

Gara-gara lubang tambang itu, tercatat ada 21 kasus tenggelam.

Dari 15 korban yang meninggal dunia, 12 di antaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.

Selain menyebabkan korban meninggal, lubang-lubang tambang itu juga memicu sumber penyakit baru - entah menjadi tempat sarang nyamuk atau lokasi berbahaya lantaran memiliki tingkat radiasi cukup tinggi.

Dan, yang tak kalah mengerikan katanya, menimbulkan bencana kekeringan.

"Pada tahun 2023 kemarin kami mengalami bencana kekeringan. Sumber air di Bangka Belitung mengalami krisis. Masyarakat akhirnya mengambil sumber air dari lubang-lubang tambang dengan kualitas air yang berbahaya."

Akibat tambang, ribuan hektare terumbu karang mati

Ahmad Subhan berkata, aktivitas penambangan timah tak hanya berlangsung di kawasan hutan. Namun merambah ke wilayah pesisir dan laut lantaran "di darat sudah tidak mendukung lagi alias habis".

Padahal di tengah kerusakan ekosistem terestrial yang terus terjadi, harapan masyarakat bertumpu pada lautan di Kepulauan Bangka Belitung yang luasnya sekitar 6,5 juta hektare.

Akan tetapi, kata dia, kapal-kapal ponton isap produksi atau TI Rajuk yang dipakai untuk penambangan timah ilegal memenuhi pesisir Babel.

"Masalahnya adalah IUP di wilayah laut Babel sangat luas dan ini jadi problem baru karena tata ruang di sini lebih banyak mengakomodir tambang di laut," ungkapnya.

Walhi Bangka Belitung menduga kuat timah yang ditambang dari wilayah pesisir dan laut ditampung oleh perusahaan pengolahan atau smelter ilegal yang kini ditangani Kejaksaan Agung.

Karena mustahil hasil tambang timah ilegal itu diserahkan pada perusahaan smelter berizin.

Atas dasar itulah, dia meminta Kejaksaan Agung turut melacak aliran timah ilegal dari hulu hingga ke hilirnya.

"Harus dilacak kemana aliran timah tadi, apakah PT Timah terlibat menampung timah ilegal dari pesisir?"

Dalam aktivitasnya, kapal-kapal ponton isap produksi ini juga memicu konflik dengan nelayan. Pasalnya hasil tangkapan para nelayan makin menurun akibat pencemaran limbah tambang.

Sebab tak cuma mencemari, penambangan timah yang dilakukan dengan cara menyedot pasir laut membuat terumbu karang hancur dan mati.

"Dalam beberapa kasus limbah tambang bisa terbawa sejauh 6-7 mil. Limbah tambang itu berupa oli dan pasir yang tak terpakai dibuang lagi ke laut."

Catatan Walhi Bangka Belitung, luasan terumbu karang di Babel pada tahun 2015 mencapai 82.259 hektare. Tapi di tahun 2017, ekosistem terumbu karang tinggal 12.474 hektare.

Itu artinya, terumbu karang di Babel berkurang 64.514 hektare dalam dua tahun terakhir dan yang mati sekitar 5.270 hektare.

Imbas lain dari tambang timah di pesisir dan laut, juga menambah konflik buaya dengan manusia.

Sepanjang tahun 2021 sampai 2023, klaim Walhi, ada 25 kasus konflik buaya dan manusia yang menyebabkan 14 orang meninggal dan 12 lainnya luka-luka.

Walhi: Pemerintah harus moratorium tambang di Babel

Walhi Bangka Belitung memprediksi dalam lima hingga 10 tahun mendatang Babel berpotensi mengalami krisis ekologi.

Sebab data tampung dan daya dukung lingkungan di Babel sudah tidak bisa lagi dibebani oleh izin-izin industri ekstraktif skala besar seperti tambang timah, tambang pasir kuarsa, dan perkebunan kelapa sawit.

Dengan begitu, Walhi Babel mendesak pemerintah pusat dan daerah memoratorium izin-izin baru baik di darat maupun laut.

Kemudian segera melakukan penegakan hukum lingkungan dan pemulihan berbasis kearifan lokal.

Pengamatannya sejauh ini banyak wilayah adat yang hilang -baik laut dan darat- akibat pola penentuan ruang yang bernuansa industri dan mengeyampingkan perspektif masyarakat lokal dalam mengelola alam mereka.

"Yang terpenting juga, izin-izin yang sudah ada direview kembali, dievaluasi karena merusak lingkungan dan merampas ruang hidup rakyat serta memicu konflik."

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan