Konflik Palestina Vs Israel
Kabinet Perang Israel Ancam Netanyahu soal Rencana Pascaperang Gaza, Benny Gantz: Kami akan Mundur
Anggota kabinet perang Israel Benny Gantz mengancam akan mundur dari pemerintahan Benjamin Netanyahu.
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Kabinet Perang Israel mengancam akan mengundurkan diri dari pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, jika mereka tidak mengadopsi rencana baru pascaperang di Gaza.
Ancaman ini disampaikan anggota Kabinet Perang Israel, Benny Gantz, Sabtu (18/5/2024).
Tindakan Benny Gantz tersebut meningkatkan perpecahan dalam kepemimpinan Israel, lebih dari tujuh bulan setelah perang di Gaza.
Pasalnya, Israel belum mencapai tujuan yang dinyatakan untuk membubarkan Hamas dan mengembalikan sejumlah sandera yang diculik dalam serangan 7 Oktober 2023.
Adapun Benny Gantz merupakan saingan politik lama PM Israel Benjamin Netanyahu.
Saat ini, Gantz telah menetapkan enam poin rencana yang mencakup kembalinya sandera, mengakhiri kekuasaan Hamas, demiliterisasi Gaza, dan membentuk pemerintahan internasional untuk urusan sipil.
Rencana Gantz itu juga mendukung upaya normalisasi hubungan dengan Arab Saudi.
Gantz mengatakan, jika rancangan Undang-undang tersebut tidak diadopsi pada 8 Juni 2024, maka ia akan mundur dari pemerintahan Netanyahu.
Kepergiannya akan membuat Netanyahu semakin terikat pada sekutu sayap kanan yang telah mengambil sikap keras dalam perundingan mengenai gencatan senjata dan pembebasan sandera, dan yang percaya bahwa Israel harus menduduki Gaza dan membangun kembali permukiman Yahudi di sana.
“Jika Anda memilih jalur fanatik dan membawa seluruh bangsa ke jurang kehancuran – kami akan terpaksa mundur dari pemerintahan,” ucap Gantz, Sabtu, dilansir Sky News.
Senada dengan Gantz, Menteri Pertahanan Yoav Gallant juga menyerukan rencana pemerintahan Palestina pascaperang.
Baca juga: 15 Tentara Israel Tewas di Dekat Rafah, Sementara Helikopter Apache Zionis Dirudal di Jabalia
Ia mengatakan dalam pidatonya bahwa dia tidak akan setuju jika Israel memerintah Gaza sendiri.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) telah menyerukan revitalisasi Otoritas Palestina untuk memerintah Gaza dengan bantuan dari Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya menjelang status negara mereka.
Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan diperkirakan akan mendorong rencana tersebut ketika dia mengunjungi Israel pada Minggu (19/5/2024).
Respons Benjamin Netanyahu
Sejauh ini, Netanyahu mengabaikan semuanya.
Namun ultimatum Gantz bisa mengurangi ruang geraknya.
Netanyahu telah mengesampingkan peran apa pun bagi Otoritas Palestina di Gaza.
Dia berencana untuk menyerahkan tanggung jawab sipil kepada warga Palestina yang tidak terafiliasi dengan mereka atau Hamas.
Namun, Netanyahu juga mengatakan bahwa tidak mungkin membuat rencana seperti itu sampai Hamas dikalahkan, karena mereka telah mengancam siapa pun yang bekerja sama dengan Israel.
Pemerintahan Netanyahu juga sangat menentang pembentukan negara Palestina.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan setelah ultimatum tersebut, Netanyahu menanggapi ancaman Gantz.
"Kekalahan bagi Israel, meninggalkan sebagian besar sandera, membiarkan Hamas tetap utuh dan mendirikan negara Palestina," katanya, dikutip dari AP News.
Netanyahu menambahkan, dia masih menganggap pemerintahan darurat penting untuk melancarkan perang.
“Mengharapkan Gantz untuk memperjelas posisinya kepada publik," tambahnya.
Baca juga: Netanyahu-Ben Gvir Ribut di Rapat Kabinet, Yoav Gallant Walkout Saat Menteri Keamanan Israel Pidato

Sebagai informasi, Benny Gantz yang merupakan politisi berhaluan tengah ini bergabung dengan koalisi Netanyahu dan kabinet perang pada masa-masa awal konflik.
Rencana enam poin Gantz muncul beberapa hari setelah Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, anggota ketiga kabinet perang, secara terbuka mengatakan dia telah berulang kali memohon kepada dua anggota lainnya untuk memutuskan visi pascaperang untuk Gaza.
Gallant mengatakan hal ini harus melibatkan pembentukan kepemimpinan sipil Palestina yang baru.
Di sisi lain, Netanyahu kini berada di bawah tekanan yang semakin besar di berbagai bidang.
Kelompok garis keras di pemerintahannya menginginkan serangan militer di kota paling selatan Gaza, Rafah, terus dilakukan dengan tujuan menghancurkan Hamas.
Namun, sekutu terpenting Israel, AS, dan negara-negara lain telah memperingatkan agar tidak melakukan serangan terhadap kota di mana lebih dari separuh penduduk Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa berlindung.
Ratusan ribu orang kini telah meninggalkan Rafah dan sekutu Israel mengancam akan mengurangi dukungan atas krisis kemanusiaan tersebut.
Baca juga: Knesset Israel: Netanyahu Ngibul, Tak Satu Pun dari 24 Brigade Hamas yang Dihancurkan di Gaza
Sementara, media Israel telah melaporkan meningkatnya ketidakpuasan dalam lembaga keamanan negara tersebut selama perang berlangsung.
Para pejabat memperingatkan bahwa kurangnya perencanaan akan mengubah kemenangan taktis menjadi kekalahan strategis.
Karena tidak ada orang lain yang memerintah Gaza, Hamas telah berulang kali berkumpul kembali, bahkan di daerah yang paling terkena dampak yang sebelumnya Israel katakan telah mereka bersihkan.
Pertempuran sengit telah meletus dalam beberapa hari terakhir di kamp pengungsi Jabaliya di utara dan lingkungan Zeitoun di pinggiran Kota Gaza.
Serangan Israel telah menewaskan lebih dari 35.000 warga Palestina di Gaza, menurut kementerian kesehatan yang dikelola Hamas, sementara ratusan lainnya tewas di Tepi Barat yang diduduki.
(Tribunnews.com/Nuryanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.