Konflik Rusia Vs Ukraina
Armenia Putus Hubungan dengan Rusia dan Vladimir Putin Tak Bisa Menghentikannya
Perang Ukraina tersebut menguras sumber daya dan perhatian Rusia, sehingga terjadi kekosongan kekuasaan di Kaukasus Selatan. Armenia muak janji Moskow
Penulis:
Hasiolan Eko P Gultom
Armenia Putus Hubungan dengan Rusia dan Vladimir Putin Tak Bisa Menghentikannya
TRIBUNNEWS.COM - Rusia mulai kehilangan satu per satu sekutu setia mereka.
Dalam ulasannya di artikel TMT, dikutip Rabu (11/6/2025), Jason Corcoran jurnalis yang menulis tentang ekonomi dan politik di Rusia dan lembaga pemikir Centre for Independent Studies (CIS), menyebut, Armenia adalah negara terbaru yang putus hubungan dengan Rusia.
Sebagai catatan, selama beberapa dekade, Armenia merupakan salah satu sekutu pasca-Soviet Rusia yang paling dapat diandalkan.
Baca juga: Rusia Bombardir Ibu Kota Ukraina: Selusin Ledakan di Kiev, Hantam Rumah Sakit Bersalin di Odesa
"Aremania adalah mitra yang kecil Rusia namun setia yang berdiam di Kaukasus Selatan yang riskan (bergejolak)," katanya.
Namun, kata dia, hubungan Rusia-Armenia yang saling menguntungkan itu kini mulai terurai secara cepat.
"Saat ini, Yerevan (Ibu Kota Armenia) tidak lagi membisikkan ketidakpuasan. Ia meneriakkannya dari atap-atap gedung. Bagaimana dengan Moskow? Ia berusaha keras menyelamatkan sisa-sisa pengaruhnya yang semakin berkurang dengan skema-skema soft power dan manuver-manuver politik yang nekat," paparnya.
"Kini, tulisan itu sudah terpampang di dinding. Armenia sudah bosan menanti pelindung yang tak kunjung datang," kata dia lagi.
Perpecahan tersebut dapat ditelusuri paling jelas pada tahun 2021 dan 2022, ketika pasukan Azerbaijan melancarkan serangan lintas batas ke wilayah Armenia dan menewaskan ratusan tentara Armenia.
Sebagai anggota pendiri Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) yang dipimpin Rusia, Armenia mengharapkan solidaritas.
Namun, yang terjadi justru kebungkaman Moskow.
"Dari sudut pandang Armenia, Azerbaijan kemungkinan tidak akan bergerak ke Nagorno-Karabakh jika Rusia tidak menginvasi Ukraina," kata Jason menjelaskan latar belakang alasan Armenia mulai berpaling dari Rusia.
Perang Ukraina tersebut menguras sumber daya dan perhatian Kremlin, sehingga terjadi kekosongan kekuasaan di Kaukasus Selatan.
"Baku memanfaatkan momen tersebut, karena tahu bahwa Rusia terlalu terganggu dan lemah untuk merespons," katanya.
Hal yang membuat Armenia terpukul adalah Collective Security Treaty Organization (CSTO), juga ikut diam.
Sebagai informasi, CSTO adalah sebuah aliansi militer antar pemerintah di Eurasia yang terdiri dari enam negara pasca-Soviet: Armenia, Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Rusia, dan Tajikistan.
"Penolakan CSTO untuk campur tangan menghancurkan ilusi bahwa Rusia akan menepati janjinya," kata Jason Corcoran.
Ketika Nagorno-Karabakh, wilayah yang telah lama didukung oleh Armenia, diblokade dan kemudian dengan cepat direbut oleh Azerbaijan pada tahun 2023, pasukan penjaga perdamaian Rusia juga hanya berdiam diri.
"Bagi orang Armenia, ini adalah pengkhianatan. Perdana Menteri Nikol Pashinyan telah menangguhkan partisipasi Armenia dalam kegiatan CSTO dan menolak menghadiri pertemuan puncak baru-baru ini. Tokoh-tokoh senior dalam pemerintahannya mengatakan kepada saya minggu lalu bahwa Armenia tidak akan pernah menjadi peserta penuh lagi dan bahkan mungkin akan keluar sama sekali," papar Jason.
Berpaling ke AS dan Eropa
Armenia kini dengan cepat melepaskan ketergantungan lama pada Rusia sebagai penjamin keamanan utamanya dan beralih ke kebijakan diversifikasi strategis.
Tidak lagi puas menjadi satelit geopolitik, Armenia tengah mengupayakan hubungan yang lebih erat dengan Uni Eropa, memperkuat kerja sama dengan Amerika Serikat, dan berupaya menormalisasi hubungan dengan Turki.
"Perubahan ini bukan sekadar simbolis. Ini adalah langkah tegas untuk menambatkan masa depan Armenia di dunia multipolar, tempat keamanan tidak diserahkan kepada pihak yang tidak memihak, tetapi dibangun melalui kemitraan yang seimbang dan pragmatis," tulis ulasan Jason.
Pada akhir Mei, Jason mengatakan kalau dia menghadiri Dialog Yerevan kedua, sebuah forum internasional tentang perdamaian, keamanan, dan kerja sama.
Hal yang menonjol yang dia catat adalah bukan hanya siapa yang hadir, tetapi juga siapa yang tidak hadir.
"Ada pembicara dan politisi senior dari India, Prancis, Inggris, Jerman, Polandia, Hungaria, Slowakia, AS, Iran, dan Uni Eropa. Namun, yang perlu dicatat, tidak ada seorang pun dari Rusia yang hadir — sebuah tanda yang jelas tentang perubahan lanskap geopolitik kawasan tersebut," katanya.
Jason mengungkapkan, yokoh-tokoh senior dari partai Pashinyan menceritakan kepadanya tentang "aktor-aktor yang didukung Rusia yang mencoba mengganggu stabilitas demokrasi Armenia."
"Salah seorang bahkan menyindir kalau satu-satunya sisi baik dari hubungan Armenia dengan Rusia adalah bahwa mereka tidak berbagi perbatasan fisik, yang membatasi pengaruh langsung Moskow," katanya.
Apa yang dulunya mungkin merupakan pengaruh yang halus kini terasa seperti operasi psikologis Perang Dingin.
"Moskow berupaya merebut kembali Armenia — bukan dengan tank, tetapi dengan saluran Telegram, influencer berbayar, dan loyalis lanjut usia," kata Jason.
Menurut Vedomosti, Sergei Kiriyenko, Wakil Kepala Staf Pertama Vladimir Putin, telah ditugaskan untuk menghidupkan kembali pengaruh Rusia di Armenia menjelang pemilihan parlemen 2026.
"Ini tidak akan mudah. Sumber-sumber Rusia sendiri mengakui bahwa sekarang "tidak ada seorang pun yang bisa berbicara atas nama Rusia" di Armenia," kata dia.
Selain mantan presiden Robert Kocharyan dan Serzh Sargsyan yang sudah lanjut usia, keduanya tercemar oleh korupsi dan nostalgia terhadap otoritarianisme, kubu pro-Rusia kini seperti kota hantu.
Buku pedoman Kiriyenko dilaporkan dimulai dengan "pekerjaan informasional." Dengan kata lain, propaganda.
Moskow juga mempersiapkan tokoh-tokoh oposisi yang disetujui Kremlin, dengan diam-diam menerbangkan mereka ke Moskow untuk berkonsultasi.
"Namun, sulit untuk memenangkan hati dengan janji-janji kosong, terutama dari negara yang menelantarkan Anda dalam perang. Publik Armenia, terutama kaum muda, lebih tertarik pada visa ke Paris dan pekerjaan teknologi di Silicon Valley daripada dongeng Soviet," ujar Jason.

Bangkitnya Kesadaran Armenia
Armenia tidak hanya menjauh dari Rusia. Negara ini secara aktif membangun jembatan baru.
Kesepakatan damai dengan Azerbaijan semakin dekat, yang mungkin akhirnya membuka perbatasan tertutup dengan Turki dan mengubah Armenia dari pos terdepan yang terkurung daratan menjadi pusat regional.
Yerevan juga mempererat hubungan dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Armenia menyambut baik misi perbatasan sipil Uni Eropa, dan menolak tawaran serupa dari Rusia.
Hal ini menyusul kesepakatan tahun lalu bagi penjaga perbatasan Rusia untuk menarik diri dari Bandara Zvartnots di Yerevan dan daerah perbatasan utama di dekat Azerbaijan, yang menyoroti langkah Armenia menjauh dari kendali langsung Moskow.
Dialog bantuan, investasi, dan keamanan Eropa terus berkembang sementara diplomat Amerika semakin sering berkunjung. Pada bulan April 2024, AS dan Armenia meluncurkan Dialog Strategis baru yang berfokus pada reformasi demokrasi dan kerja sama keamanan. Ini bukan sekadar basa-basi diplomatik; ini adalah jalur penyelamat.
"Armenia memahami bahwa masa depannya tidak terletak di bawah bayang-bayang kekaisaran yang sedang merosot, tetapi di antara demokrasi liberal yang menghargai kedaulatan dan kemitraan," kata dia.
Kepercayaan publik negara itu terhadap Rusia telah anjlok.
Sebuah jajak pendapat tahun 2024 oleh International Republican Institute menunjukkan hanya 31 persen warga Armenia yang memandang hubungan dengan Moskow secara positif, turun dari 93% pada tahun 2019.
Di mata sebagian besar warga Armenia, Prancis telah muncul sebagai sekutu politik utama negara mereka, diikuti oleh AS.

Upaya Putin Sudah Terlambat
Namun Putin tidak akan mundur begitu saja.
Penunjukan Kiriyenko merupakan bagian dari upaya terakhir untuk membendung gelombang itu, tetapi kemungkinan besar sudah terlambat.
Suara-suara yang mendukung Kremlin di Armenia mulai kehilangan kredibilitas, dan masyarakat Armenia tidak lagi takut mempertanyakan motif atau kompetensi Rusia.
Di jalan-jalan Yerevan, gelombang orang Rusia yang datang pasca-mobilisasi telah mereda.
Mayoritas dari sekitar 100.000 orang Rusia yang diasingkan telah kembali atau pindah, kecewa dengan terbatasnya kesempatan dan peluang naiknya kesejahteraan.
"Orang Rusia tidak dirindukan. Bahkan, seorang teman Armenia mengeluh bahwa sewa rumahnya hampir dua kali lipat dalam setahun dari 100.000 dram ($250) menjadi 180.000 ($475) karena lonjakan permintaan perumahan," kata Jason.
Armenia mungkin sedang memikirkan kembali aliansi keamanannya, tetapi tidak akan menjadi planet terpisah di Kaukasus Selatan.
"Geografi adalah takdir. Rusia tetap menjadi tetangga — bahkan tanpa perbatasan bersama — dan perdagangan dengan Moskow masih menjadi pilar utama ekonomi Armenia," katanya.
Jason menjelaskan, merek-merek Rusia seperti VTB, Gazprom, dan Yandex Taxi masih menandai kehadiran Moskow di Armenia.
Negara ini juga masih sangat bergantung pada Rusia untuk gas alam dan listrik.
Bahkan lonjakan perdagangan baru-baru ini, yang didorong oleh penghindaran sanksi, dianggap bersifat sementara.
"Di balik permukaan, pengaruh Rusia memudar, dan bahkan di pusat kota Yerevan, banyak anak muda tidak lagi berbicara atau mengerti bahasa Rusia," papar Jason.
Kunjungan Pashinyan ke Moskow untuk Hari Kemenangan pada 9 Mei merupakan isyarat yang diperhitungkan untuk meyakinkan Kremlin bahwa poros Barat Armenia tidak berarti memisahkan Rusia sepenuhnya.
Namun sebagai tanda meningkatnya kekhawatiran di Moskow, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov melakukan perjalanan ke Yerevan bulan lalu untuk melakukan pembicaraan dengan Pashinyan — kunjungan yang secara luas dipandang sebagai upaya untuk menegaskan kembali pengaruh Rusia yang memudar.
Pandangannya jelas: Armenia tidak lagi memandang Moskow sebagai pelindung utamanya. Lavrov datang bukan sebagai sekutu yang dapat dipercaya, tetapi sebagai utusan dari negara yang jaminan keamanannya telah berulang kali gagal.
Jika Rusia benar-benar ingin tetap relevan di Kaukasus Selatan, ia perlu memperhitungkan fakta bahwa paksaan tidak lagi berhasil.
"Armenia telah belajar dengan cara yang sulit bahwa janji-janji Moskow bersifat bersyarat, tidak dapat diandalkan, dan pada akhirnya hanya menguntungkan diri sendiri. Sekarang, Yerevan sedang menentukan arahnya sendiri. Rusia mungkin masih hadir, tetapi tidak lagi menjadi penentu," kata Jason dalam kesimpulan kalau pengaruh kental Rusia di Armenia sudah luntur.
(oln/tmt/*)
Konflik Rusia Vs Ukraina
Pamer Kekuatan: Rusia–Belarus Gelar Latihan Perang, Kerahkan Rudal Nuklir, Jet Bomber, hingga Tank |
---|
Diplomasi Besi Putin ke NATO, AS Kirim Perwira Pantau Latihan Perang Besar-besaran Rusia-Belarus |
---|
Perang Kuras Keuangan Ukraina, Presiden Zelensky Butuh 120 Miliar Dolar untuk Lawan Rusia di 2026 |
---|
Rumania Naik Pitam, Panggil Dubes Rusia usai Insiden Drone Tembus ke Wilayah Udara |
---|
Ukraina Klaim Hancurkan Sistem Pertahanan Udara Rusia Buk-M3 Senilai Rp655 Miliar |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.