Rabu, 1 Oktober 2025

Konflik Iran Vs Israel

Serangan Terencana AS-Israel ke Iran Sampul Perang Besar: Skenario Pengepungan China di Multifront

Serangan AS dan Israel ke Iran bertujuan mengirimkan gelombang kejut ke seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Latin dalam mengepung China

tangkap layar/pt
SALVO RUDAL - Peluncuran ratusan rudal oleh Iran dalam membalas serangan Israel. Pada Sabtu (14/6/2025), Iran melancarkan apa yang mereka sebut Operasi Janjji Sejati Ketiga ke Israel. 

Serangan Terencana AS-Israel ke Iran Sampul Depan Perang Besar: Skenario China-Rusia Lawan Hegemoni Barat

TRIBUNNEWS.COM - Dunia kini berada di fase kritis.

Sejumlah konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sejumlah kekuatan negara-negara besar yang tengah bertarung.

Geopolitik masing-masing front, menambah rumit eskalasi yang terjadi, namun berujung pada satu titik horizon, perang besar berikutnya di dunia.

Baca juga: Kelompok Hacker Israel Serang Iran, Bank Negara Sepah Lumpuh: Nasabah Tak Bisa Tarik Uang

Ulasan itu diungkapkan Nina Farnia, sejarawan hukum dan pakar kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) dalam artikel yang muncul di TC, dkutip, Rabu (18/6/2025).

Di luar konteks ulasan, Nina akan melansir buku terbarunya, Imperialism and Resistance, pada tahun 2026 mendatang melalui Stanford University Press.

Dalam ulasannya, Nina memulai skenario terjadinya perang besar melalui konflik terbaru Iran-Israel.

Seperti diketahui, pada dini hari tanggal 13 Juni 2025, Israel melancarkan serangan udara ke Iran, menewaskan lebih dari 224 orang hingga saat ini.

"Ini adalah pelanggaran paling serius terhadap kedaulatan Iran sejak Perang Iran-Irak yang didukung AS pada tahun 1980-an, yang secara luas dipahami sebagai upaya proksi Barat untuk membubarkan Republik Iran yang baru lahir," katanya dalam tulisan tersebut. 

Dalam serangan pembukanya, Tel Aviv membunuh komandan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), ilmuwan, dan akademisi, dengan menyerang blok perumahan dan perumahan fakultas.

Perang berlanjut hingga hari kelima, di mana Israel dan Washington secara terbuka berusaha untuk meruntuhkan Republik Iran dan menghancurkan perlawanan anti-imperialis di kawasan itu.

Laporan berita menunjukkan, Israel telah mengebom dua rumah sakit di Teheran, bandara Iran, Kementerian Luar Negeri, lembaga penyiaran negara Iran selama siaran langsung , dan beberapa infrastruktur penting.

Adapun Iran telah secara cepat dan tegas menanggapi untuk membela diri, sekaligus membuktikan kalau kemampuan militernya tidak berkurang, dan menimbulkan ancaman yang jauh lebih besar terhadap kepentingan militer, intelijen, dan ekonomi Israel daripada yang diperkirakan Tel Aviv.

TERBAKAR- Korps Garda Revolusi Islam mengumumkan telah meluncurkan serangan rudal yang berhasil terhadap pusat utama badan mata-mata Mossad rezim Zionis di Tel Aviv. IRGC mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa unit Pasukan Dirgantaranya melakukan operasi efektif terhadap Mossad pada dini hari Selasa.
TERBAKAR- Korps Garda Revolusi Islam mengumumkan telah meluncurkan serangan rudal yang berhasil terhadap pusat utama badan mata-mata Mossad rezim Zionis di Tel Aviv. IRGC mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa unit Pasukan Dirgantaranya melakukan operasi efektif terhadap Mossad pada dini hari Selasa. (Tangkapan layar X/@damottaff)

Perang yang Dipicu Agresi Secara Teori

Iran mengklaim telah menembak jatuh empat pesawat pengebom F-35 , jet tempur paling berharga milik AS.

Meskipun Teheran belum memberikan bukti visual mengenai hal ini, saham kontraktor dan perusahaan militer AS Lockheed Martin, anjlok setelah laporan tersebut disiarkan.

Sementara itu, fasilitas energi nuklir dan rudal balistik Iran tetap beroperasi, dan pertahanan udara negara itu kembali beroperasi setelah peristiwa mengejutkan hari Jumat.

Nina kemudian mengutip sejumlah aturan internasional. Berdasarkan hukum internasional, tindakan Israel merupakan tindakan agresi yang mencolok. Pasal 2(4) Piagam PBB dengan tegas menyatakan: 

"Semua Anggota harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara mana pun."

Serangan-serangan ini juga memenuhi ambang batas “kejahatan agresi” sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 8bis Statuta Roma dari Mahkamah Kriminal Internasional (ICC), yang mendefinisikan kejahatan tersebut sebagai:

"Perencanaan, persiapan, inisiasi atau pelaksanaan, oleh seseorang yang secara efektif memegang kendali atau mengarahkan tindakan politik atau militer suatu Negara, atas suatu tindakan agresi yang, berdasarkan karakter, gravitasi dan skalanya, merupakan pelanggaran nyata terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa." 

"Lalu bagaimana dengan serangan balasan Teheran terhadap Tel Aviv?," tulisnya.

Dia memberikan jawaban atas pertanyaan itu dengan mengutip kalau respons militer Iran dilindungi berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB , yang menegaskan hak asasi untuk membela diri terhadap serangan bersenjata:

"Tidak ada satu pun ketentuan dalam Piagam ini yang boleh merugikan hak asasi manusia untuk membela diri secara individu atau kolektif jika terjadi serangan bersenjata terhadap Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, sampai Dewan Keamanan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.”

Atas aturan ini, Nina menilai kalau Israel dan para pendukungnya di ibu kota negara-negara barat mencoba untuk membingkai agresi Israel sebagai tindakan "pembelaan diri" terhadap potensi serangan Iran "suatu hari nanti".

"Tetapi seperti Doktrin Bush yang berusaha untuk menormalisasi agresi pendahuluan terhadap negara-negara musuh AS, tidak ada hukum internasional yang mengizinkan hal ini," kata Nina.

Iran kini, atas dasar tindakan agresi Israel yang ilegal dan tidak beralasan, secara resmi meminta Dewan Keamanan PBB untuk bersidang dan menangani serangan tidak sah Israel.

CEGAT RUDAL - Sistem pertahanan udara Iron Dome Israel menembak untuk mencegat rudal selama serangan Iran di Tel Aviv, Israel, pada Minggu (15/6/2025). Pasukan Garda Revolusi Iran (IRGC) menyatakan Iron Dome mengalami malfungsi karena salvo rudal mereka.
CEGAT RUDAL - Sistem pertahanan udara Iron Dome Israel menembak untuk mencegat rudal selama serangan Iran di Tel Aviv, Israel, pada Minggu (15/6/2025). Pasukan Garda Revolusi Iran (IRGC) menyatakan Iron Dome mengalami malfungsi karena salvo rudal mereka. (RNTV/TangkapLayar)

PBB Diam, Poros Perlawanan Berbicara

Nina menyebut, para pakar hukum mengakui kalau hukum internasional secara struktural terganggu – bahkan tidak berdaya dan terlibat – jika menyangkut kedaulatan negara yang menjadi target kekuatan barat.

Genosida yang terus dilakukan Israel di Gaza dan pelanggaran berulang-ulang terhadap perjanjian gencatan senjata yang ditengahi AS di Jalur Gaza dan Lebanon menggambarkan dengan jelas kelumpuhan lembaga-lembaga internasional.

"Hanya melalui inisiatif yang gigih dari negara-negara Selatan Global, seperti Afrika Selatan, pelanggaran Israel di Gaza telah bertahan dalam pengawasan hukum internasional - seperti dalam kasus-kasus yang diajukan di Mahkamah Internasional (ICJ) untuk mengadili tindakan genosida Israel, dan di ICC untuk menghukum Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang," katanya.

Nina, secara skeptis, lalu menulis:

"Sudah dapat diduga, PBB hanya menyerukan "penahanan diri secara maksimal" alih-alih mengeluarkan kecaman atas agresi Israel yang melanggar hukum. Iran, seperti gerakan perlawanan dan pemerintah lain di seluruh belahan bumi selatan, memahami keterbatasan ini . Meskipun demikian, Iran menggunakan hukum internasional secara strategis untuk menegaskan legitimasinya, memperkuat aliansi regional, dan membingkai perlawanannya sebagai sesuatu yang sah dan perlu – untuk membangun sistem pendukung global yang populer bagi perlawanan regional, dan secara harfiah membendung perjuangan pembebasan Asia Barat yang sedang berlangsung melawan AS dan proksinya"

Nina kemudian menukil laporan The Cradle yang melansir pernyataan Mohsen Baharvand, mantan wakil menteri di Kementerian Luar Negeri Iran yang menyatakan:

“Meskipun landasan hukum dan politik tatanan internasional yang berlaku saat ini telah menjadi lemah dan goyah serta hukum internasional telah terpinggirkan, namun landasan hukum internasional belum sepenuhnya kehilangan keabsahannya dan aturan-aturannya tetap merupakan aturan-aturan yang mengatur tatanan internasional.”

Banyak Negara Punya Pandangan Sama dengan Iran, Menentang Hegemoni Barat

Nina menjelaskan, banyak pemerintah yang memiliki pandangan yang sama terhadap asimetri hukum ini dan secara terbuka mendukung hak kedaulatan Iran untuk membela diri. 

Rusia dan China, dua kekuatan besar penyimbang dominasi AS, kata Nina, adalah beberapa di antaranya.

Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi mengatakan kepada mitranya dari Iran, Abbas Araghchi: 

“Tiongkok secara tegas mengutuk pelanggaran Israel terhadap kedaulatan, keamanan, dan integritas teritorial Iran … [dan] mendukung Iran dalam menjaga kedaulatan nasionalnya, serta mempertahankan hak dan kepentingannya yang sah.”

Kementerian Luar Negeri Rusia mengeluarkan pernyataan yang mengutuk tindakan Tel Aviv sebagai "pelanggaran nyata terhadap Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku."

Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif menyebut serangan itu "tidak beralasan" dan "sangat mengkhawatirkan," memperingatkan akan terjadinya destabilisasi yang lebih luas. Venezuela, Kuba, dan negara-negara sekutu lainnya telah mengeluarkan kecaman serupa.

AS Mengepung Tiongkok, Menyerang Mitra-mitranya

"Dengan terungkapnya "tatanan internasional berbasis aturan" sebagai alat pemaksaan Barat, visi multipolar yang dipimpin oleh Tiongkok, Rusia, Iran, dan negara-negara lain kini menghadapi ujian kritis," ulas Nina, mengurai awal dari skenario perang besar yang akan terjadi.

Dia mengatakan, serangan yang diatur AS-Israel terhadap Iran bukanlah hal yang terisolasi atau berdiri sendiri.

"Serangan ini (AS-Israel ke Iran) berupaya mengirimkan gelombang kejut ke seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Latin," katanya. 

Perlu dicatat, Iran memainkan peran strategis dalam blok yang sedang berkembang ini, dengan menjaga hubungan keamanan, militer, dan ekonomi yang kuat dengan Rusia, Tiongkok, Venezuela, Sudan, Yaman, dan pasukan perlawanan di Palestina, Lebanon, dan Irak.

"Mereka adalah garis depan oposisi terhadap hegemoni global AS," katanya.

Serangan ini juga harus dipahami dalam konteks strategis yang lebih luas.

China kini dikepung oleh perang yang dipimpin AS – Ukraina, Palestina, Sudan – yang semuanya didukung oleh persenjataan dan proksi AS.

"Upaya AS baru-baru ini untuk memicu ketidakstabilan di sepanjang perbatasan India-Pakistan digagalkan oleh pasukan Pakistan yang dilengkapi dengan pertahanan udara China," kata dia.

Dia mencatat, sejak pemerintahan Obama, Washington secara eksplisit mengidentifikasi China sebagai musuh utamanya. Di bawah Presiden AS Donald Trump, perang hibrida semakin intensif.

Saat ini, AS, kata dia, menargetkan sekutu China untuk merusak hubungan regional dan menunda kebangkitan politik dan ekonomi Asia. 

"Namun sejarah tidak dapat dihentikan. Iran, Rusia, dan terutama China tidak hanya bertahan tetapi juga muncul lebih kuat. Perang hibrida di masing-masing negara ini dimulai beberapa dekade lalu, dan masing-masing telah terbukti sangat tangguh dan cerdik tidak hanya dalam mempertahankan keteguhan di skala nasional, tetapi juga dalam menyelaraskan kepentingan kontinental dan geopolitik mereka saat mereka bangkit," katanya.

Matinya Diplomasi, Keuntungan Tetap Jalan

Nina menyebut, di medan perang, kekuatan-kekuatan Eurasia yang sedang bangkit telah membuktikan kemampuan mereka.

"Namun, diplomasi tetap menjadi front terlemah mereka. Kesepakatan nuklir Iran hanyalah umpan dan tipu daya. Begitu pula dengan perundingan gencatan senjata di Gaza dan Lebanon. Taktik negosiasi ini – yang lazim dalam budaya perusahaan AS – berfungsi untuk mendapatkan konsesi sambil memajukan agresi," kata dia.

Pada faktanya, kata dia, AS tetap menjadi kekaisaran paling tangguh dalam sejarah. 

"AS mengabaikan perjanjian, menginjak-injak hukum internasional, dan menulis ulang aturan untuk mengamankan keuntungan melalui peperangan. Pepatah Clausewitz  yang mengatakan "Perang adalah kelanjutan dari kebijakan dengan cara lain" tidak berlaku lagi; bagi AS, perang bukanlah politik dengan cara lain – melainkan keuntungan dengan cara lain," ujarnya

Diplomasi saja tidak dapat menghentikan mesin imperialis. Hasil dari konflik ini dan konflik lain yang didukung AS akan ditentukan di medan perang.

"Semakin cepat blok Eurasia menerima kenyataan pahit ini, semakin cepat keseimbangan itu dapat berubah," katanya menutup ulasan tersebut.

 

 

 

(oln/tc/*)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved