Konflik Iran Vs Israel
Pakar UGM Sebut Konflik Iran dan Israel Bisa Picu Perang Global, Singgung Peran PBB
Muhadi Sugiono menyebutkan bahwa keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik Iran dan Israel ini semakin memperumit keadaan.
TRIBUNNEWS.COM - Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhadi Sugiono, menyoroti mengenai potensi perang global imbas konflik Iran dan Israel.
Terlebih lagi, kini Amerika Serikat (AS) turut terlibat dalam konflik yang kian hari kian memanas tersebut.
Menurut Muhadi, keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik ini semakin memperumit keadaan.
AS dilaporkan melancarkan serangan ke tiga fasilitas nuklir Iran yang terletak di Isfahan, Natanz, dan Fordo pada Sabtu (21/6/2025) lalu, sebagai balasan atas serangan drone dan rudal Iran terhadap Israel.
Muhadi menyebut bahwa keterlibatan AS, yang tentu saja berada di pihak Israel, jelas akan meningkatkan eskalasi konflik.
Dia mengatakan, peran AS dalam mendukung sistem pertahanan Israel juga semakin mengaburkan batas antara dukungan strategis dan keterlibatan aktif dalam peperangan.
“Situasi ini memperbesar risiko terjadinya konflik regional berskala luas yang sulit dikendalikan jika tidak segera diredam melalui forum multilateral,” ujarnya, Senin (23/6/2025), dikutip dari ugm.ac.id.
Oleh karena itu, kata Muhadi, kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa konflik Iran–Israel dapat menjadi pemicu perang global.
Pasalnya, kedua negara memiliki hubungan dan dukungan dari negara-negara dalam blok yang saling berseberangan.
Menurut Muhadi, apabila konflik tersebut tidak segera teratasi, keterlibatan negara lain bisa menjadikannya perang berskala global.
Ketegangan ini akan menciptakan atmosfer politik internasional yang mirip dengan masa Perang Dingin, di mana satu serangan bisa memicu reaksi berantai.
Baca juga: Komandan Militer Angkatan Darat Iran Tegaskan Amerika Serikat akan Terima Serangan Balasan
“Situasi semacam ini juga mengganggu stabilitas regional lainnya yang selama ini sudah rentan, seperti Suriah, Yaman, dan Lebanon,” jelas Muhadi.
Singgung Peran PBB
Dalam perkara ini, Muhadi pun menyinggung mengenai peran lembaga internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Di mana, dia menyayangkan keberadaan PBB itu belum juga menunjukkan efektivitas yang memadai dalam merespons situasi ini.
Muhadi mengatakan, Dewan Keamanan PBB sering kali tidak mencapai kesepakatan karena posisi negara-negara besar yang saling berseberangan.
Meskipun Majelis Umum PBB nantinya dapat mengeluarkan resolusi, pelaksanaannya juga sangat tergantung pada dukungan politik yang tidak selalu tersedia.
Muhadi pun mengatakan, lemahnya implementasi keputusan internasional itu menunjukkan keterbatasan struktur global saat ini dalam mencegah konflik.
“Ketika diplomasi multilateral kehilangan daya tawarnya, aktor-aktor negara cenderung mengambil jalur unilateral,” tuturnya.
Lebih lanjut, Muhadi menambahkan bahwa negara-negara besar seperti China dan Rusia memiliki preferensi berbeda dari AS dan sekutunya terkait konflik ini.
Perbedaan posisi di antara kekuatan-kekuatan dunia itu, kata Muhadi, semakin menyulitkan terciptanya tata dunia yang aman dan damai.
Selain itu, perbedaan kepentingan ini juga mencerminkan kegagalan sistem internasional dalam menciptakan konsensus keamanan bersama.
Alih-alih menjadi penengah, negara-negara besar justru memperkuat blok masing-masing yang rentan memicu konflik lanjutan.
“Padahal, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas global,” ungkap Muhadi.
Great Institute Kecam Serangan AS ke Iran
Terkait dengan serangan AS ke Iran, Lembaga riset politik dan ekonomi GREAT Institute mengecam keras serangan udara yang dilancarkan Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran pada 21 Juni 2025 waktu setempat.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Ketua Dewan Direksi GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, di Jakarta.
“Serangan udara yang diberi sandi Midnight Hammer, yang menghantam fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan, menggunakan bom bunker-buster dan rudal Tomahawk, merupakan tindakan militer sepihak yang melanggar kedaulatan Iran dan berpotensi melanggar Piagam PBB,” tegas Syahganda, Senin.
Sebelumnya, Gedung Putih menyatakan bahwa serangan ini dilakukan untuk menghentikan program nuklir Iran dan mendorong perdamaian.
Namun, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyatakan kekhawatiran mendalam atas tindakan tersebut.
Guterres menyebut situasi ini sebagai “gravely alarmed” dan menyerukan segera dilakukan de-eskalasi.
GREAT Institute mencatat bahwa serangan ini dilakukan tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB.
Selain itu, juga tidak jelas apakah ada ancaman langsung yang sah terhadap AS, yang dapat digunakan sebagai dasar pembenaran dalam kerangka self-defense.
“Amerika tampaknya bertindak secara unilateral, bukan sebagai respons proporsional terhadap serangan bersenjata yang diakui hukum internasional,” ucap Syahganda.
Oleh karena itu, GREAT Institute juga mendesak Indonesia untuk memberikan sikap, sebagai negara yang menganut prinsip bebas aktif dan penegak hukum internasional.
Seperti mengecam tegas pelanggaran kedaulatan Iran, sesuai dengan prinsip non-intervensi yang dijunjung tinggi dalam Piagam PBB dan Konstitusi RI.
Kemudian, mendorong diadakannya sesi darurat Dewan Keamanan PBB guna merumuskan resolusi kecaman atas tindakan agresi militer, penghentian segera serangan, dan pengawasan internasional oleh IAEA atas fasilitas nuklir yang terdampak.
Selain itu, juga menawarkan posisi Indonesia sebagai mediator netral dalam krisis antara Amerika Serikat dan Iran, sejalan dengan visi ASEAN dan komitmen Indonesia terhadap stabilitas kawasan dan global.
“Indonesia harus tampil sebagai fasilitator damai, yang mampu membuka ruang dialog antara dua negara besar, bukan menjadi penonton pasif di tengah eskalasi konflik global,” ujar Syahganda.
Pernyataan GREAT Institute ini juga menyatakan dukungan terhadap sikap negara-negara seperti China, Rusia, dan negara-negara Amerika Latin, yang telah mengecam serangan militer tersebut dan menyerukan penghormatan terhadap kedaulatan negara.
“Sebagai bagian dari komunitas global yang menjunjung hukum internasional dan tata dunia yang berkeadaban, Indonesia harus bersikap tegas, bukan ambigu,” tutupnya.
(Tribunnews.com/Rifqah/Erik)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.