Selasa, 9 September 2025

Pendaki Tewas di Gunung Rinjani

Brasil akan Membawa Kasus Juliana Marins ke Pengadilan Internasional, Indonesia Harus Siap-siap

Jenazah Juliana Marins (26 tahun) tiba di Rio de Jenerio Brasil, Selasa (1/7/2025) malam sekitar pukul 19.30 waktu setempat.

Penulis: Hasanudin Aco
Tangkapan layar dari akun Instagram @ajulianamarins
KE PENGADILAN INTERNASIONAL - Jenazah Juliana Marins yang tewas di Gunung Rinjani Lombok telah tiba di Brasil dan rencananya akan di-autopsi lagi. Dari hasilnya akan dilanjutkan ke pengadilan internasional. 

TRIBUNNEWS.COM, BRASIL - Jenazah Juliana Marins (26 tahun) tiba di Rio de Jenerio Brasil, Selasa (1/7/2025) malam sekitar pukul 19.30 waktu setempat.

Jenazah diangkut menggunakan pesawat militer milik Angkatan Udara Brasil (FAB) dari Bandara Internasional Guarulhos (SP).

Jenazah awalnya tiba di  Pulau Governador, Zona Utara Rio, sore harinya dengan penerbangan Emirates dari Dubai .

Dari sana, jenazah langsung menuju ke Institut Medis Hukum Afrânio Peixoto (IML)  dengan pengawalan polisi dan dukungan dari Departemen Pemadam Kebakaran.

Perempuan muda ini meninggal jatuh ke jurang di Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) akhir pekan lalu.

Kematiannya mengundang simpati luas dari warga Brasil.

Autopsi kedua terhadap jenazah akan dilakukan di Brasil pada hari ini, menurut media Brasil Globo.

Ini adalah permintaan keluarga meski autopsi pertama telah dilakukan di Bali.

Alasannya, menurut pembela Taísa Bittencourt Leal Queiroz,  karena kurangnya klarifikasi tentang penyebab dan saat pasti di mana korban meninggal.

Autopsi pertama dilakukan pada Kamis (26/6/2025) di sebuah rumah sakit di Bali tak lama setelah jenazah dievakuasi dari Taman Nasional Gunung Rinjani.

Hasilnya dinyarakan korban meninggal dunia akibat beberapa patah tulang dan luka dalam, tidak mengalami hipotermia, dan bertahan hidup selama 20 menit setelah mengalami trauma .

Akan dibawa ke pengadilan internasional

Kantor Pembela Umum Federal Brasil juga mengirimkan surat yang meminta Polisi Federal untuk membuka penyelidikan atas kasus tersebut. 

Hasil dari autopsi kedua jenazah Juliana Marins dapat menentukan apakah otoritas Brasil akan meminta penyelidikan internasional terkait keadaan kematiannya di Gunung Rinjani, Indonesia.

Informasi tersebut diberikan oleh Taísa Bittencourt, pembela HAM regional di Kantor Pembela Umum Federal (DPU), dalam wawancara dengan Globo.

DPU pada Senin (30/6/2025) lalu meminta Kepolisian Federal (PF) untuk menyelidiki apakah ada tindak pidana kelalaian dalam penelantaran Juliana oleh pihak berwenang Indonesia. 

Jika hal ini terbukti, kasus tersebut dapat dibawa ke badan internasional seperti Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika (IACHR), di Washington DC. (Penjelasan mengenai lembaga ini di akhir berita).

“Kami menunggu laporan [yang dibuat oleh pihak berwenang Indonesia] dan begitu laporan itu tiba, kami akan menentukan langkah selanjutnya. Otopsi kedua ini adalah sesuatu yang diinginkan keluarga Juliana. Namun, mereka belum memutuskan apa yang ingin mereka lakukan selanjutnya. Kami akan mendukung keluarga sesuai dengan hasil laporan dan apa pun yang mereka putuskan,” kata Taíssa.

“Sangat penting [untuk melakukan analisis baru pada jenazah] guna mengklarifikasi penyebab kematian. Ini adalah cara untuk memastikan bahwa keluarga menerima penilaian dalam kerangka hukum Brasil.”

Keluarga meminta otopsi ulang untuk mengonfirmasi waktu kematian dan menyelidiki apakah ada kegagalan memberikan bantuan oleh pihak berwenang Indonesia.

Apa itu IACHR?

Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika (IACHR) adalah badan otonom Organisasi Negara-negara di benua Amerika (OAS) yang dibentuk pada tahun 1959 dan berkantor pusat di Washington.

Misinya adalah untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia di negara-negara di benua Amerika termasuk Brasil.

Ketika suatu negara “dikecam” oleh IACHR, artinya komisi tersebut mengakui adanya pelanggaran hak asasi manusia dan mengeluarkan rekomendasi kepada negara tersebut untuk memperbaiki kerusakan, memodifikasi undang-undang atau praktik, dan mencegah pelanggaran baru .

Namun, IACHR tidak memiliki kewenangan untuk menangkap atau menjatuhkan sanksi langsung — keputusannya memiliki bobot politik dan moral, tetapi tidak mengikat secara hukum seperti keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika yang dapat mengeluarkan hukuman wajib.

Meskipun tidak dapat secara langsung menangkap atau memaksa negara untuk mematuhi rekomendasinya, IACHR memberikan pengaruh internasional yang kuat dan dapat menekan pemerintah untuk bertindak melalui opini publik dan organisasi multilateral.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan