Kamis, 7 Agustus 2025

Warga Korut Rela Nyamar Jadi Pekerja TI Bayangan demi Setor Jutaan Dolar ke Rezim Kim Jong Un

Demi mendanai program nuklir dan persenjataan rezim Kim Jong Un, ribuan pekerja teknologi informasi asal Korut diam-diam menyusup ke perusahaan barat

Tangkapan Layar Pexels
PEKERJA ILEGAL - Ribuan pekerja teknologi informasi (TI) asal Korea Utara secara diam-diam menyusup ke perusahaan-perusahaan di negara Barat demi menghasilkan uang dalam jumlah besar yang kemudian disalurkan ke rezim Korea Utara untuk membiayai program senjata nuklir, rudal balistik. serta operasi intelijen militer. 

TRIBUNNEWS.COM - Ribuan pekerja teknologi informasi (TI) asal Korea Utara secara diam-diam menyusup ke perusahaan-perusahaan di negara Barat, termasuk Amerika Serikat, dengan menyamar sebagai warga negara AS untuk bekerja secara daring (remote).

Mengutip laporan CNN International, para pekerja TI asal Korut biasanya akan menggunakan identitas warga negara Barat yang dicuri atau direkayasa.

Identitas ini mencakup nama, alamat, nomor jaminan sosial palsu, hingga riwayat pekerjaan fiktif, agar bisa diterima sebagai pegawai jarak jauh.

Dengan bantuan AI generatif dan tools deepfake, mereka membuat CV kerja palsu atau dokumen riwayat hidup yang berisi data pendidikan, pengalaman kerja, keterampilan, prestasi, dan informasi relevan lainnya

Untuk melancarkan aksinya mereka sebagian besar mengaku sebagai pekerja dari AS, Kanada, atau negara lain sambil melakukan video call dari lokasi seperti China, Laos, atau Rusia.

Setelah berhasil merekayasa data diri, mereka akan mencoba mendaftar pekerjaan secara remote mulai dari bidang developer, konsultan IT, hingga teknisi perangkat lunak.

Hasil Bayaran Disetor ke Rezim Kim Jong Un

Adapun tujuan utama dari operasi penyamaran ini adalah untuk menghasilkan uang dalam jumlah besar yang kemudian disalurkan ke rezim Korea Utara.

Menurut Kementerian Kehakiman Amerika Serikat, pendapatan dari skema ini telah mencapai ratusan juta dolar per tahun.

Sementara itu, perusahaan keamanan siber global yang berbasis di Amerika Serikat, CrowdStrike, menyebut bahwa gaji yang diterima tiap individu bisa mencapai 3.000–10.000 dolar per bulan, tergantung tingkat keahlian dan posisi yang diisi.

Bahkan, satu jaringan pekerja tercatat berhasil mengumpulkan lebih dari 17 juta dolar dari sekitar 300 perusahaan asing.

Setelah dana terkumpul, CrowdStrike meyakini bahwa uang tersebut digunakan untuk membiayai program senjata nuklir, rudal balistik.

Uang itu juga digunakan untuk operasi intelijen militer Korut yang sedang berada di bawah tekanan sanksi internasional, buntut pelanggaran serius terhadap hukum internasional, terutama terkait program senjata nuklirnya.

Baca juga: Korut Tolak Terima Surat Ajakan Bertemu Donald Trump, Sudah Terjadi Berkali-kali

Selain mencari keuntungan finansial, tujuan lain skema ini adalah untuk mendapatkan akses ke data sensitif perusahaan. CrowdStrike menyebut bahwa sebagian dari para pekerja TI bayangan ini juga melakukan spionase siber, yakni mencuri informasi penting yang bisa digunakan untuk keperluan negara atau bahkan dijual ke pihak ketiga.

Dalam banyak kasus, mereka dengan sengaja menyusup ke sistem internal perusahaan tempat mereka bekerja terutama yang bergerak di sektor teknologi, pertahanan, dan layanan keuangan.

Selanjutnya beberapa di antaranya menjalankan aksi pengintaian siber (cyber espionage) dengan menyalin data penting lalu dikirimkan ke pihak yang berafiliasi dengan pemerintah Korea Utara.

Tujuannya untuk menguatkan kemampuan teknologi dan militer Korea Utara, termasuk dalam pengembangan senjata atau strategi ekonomi.

AS dan Sekutu Tingkatkan Pengawasan

Setelah isu ini mencuat, Korea Utara membantah keras tuduhan ini. Melalui Kementerian Luar Negerinya, Pyongyang menyebut bahwa tuduhan AS adalah bagian dari “kampanye fitnah absurd” dan “drama siber yang mengada-ada”.

Kendati demikian, mengantisipasi kehadiran pekerja TI bayangan asal Korut, Kementerian Kehakiman AS mulai memperketat pengawasan.

Mereka memperingatkan bahwa perusahaan-perusahaan yang tidak sadar telah mempekerjakan agen Korea Utara secara tidak langsung dianggap melanggar sanksi internasional.

Pemerintah AS bahkan menawarkan hadiah hingga 5 juta dolar untuk informasi tentang pekerja dan fasilitator TI Korea Utara.

(Tribunnews.com / Namira)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan