Konflik Palestina Vs Israel
Reaksi Dunia atas Rencana Netanyahu agar Israel Duduki Jalur Gaza
Sejumlah negara bereaksi dengan rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menduduki Jalur Gaza.
Penulis:
Yunita Rahmayanti
Editor:
Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah negara mengkritik Israel setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengungkapkan rencananya untuk menduduki Jalur Gaza.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, menyerukan penghentian segera rencana pemerintah Israel yang bertujuan mengambil alih kendali militer penuh atas Jalur Gaza yang diduduki.
"Hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa Israel harus mengakhiri pendudukannya sesegera mungkin dan mencapai solusi dua negara yang disepakati serta hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri," kata Volker Turk beberapa jam setelah kabinet keamanan Israel menyetujui usulan untuk mengambil alih Kota Gaza di bagian utara Jalur Gaza.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengatakan keputusan Israel untuk menguasai Jalur Gaza adalah salah, dan mendesak pemerintah Israel untuk mempertimbangkannya kembali.
"Keputusan pemerintah Israel untuk meningkatkan serangannya di Gaza adalah salah, dan kami mendesak mereka untuk segera mempertimbangkan kembali," ujar Keir Starmer dalam sebuah pernyataan.
"Tindakan ini tidak akan berkontribusi untuk mengakhiri konflik ini atau mengamankan pembebasan para sandera, tetapi akan menyebabkan pertumpahan darah lebih lanjut," tambahnya.
Sementara itu, Miata Vanbolle, seorang pejabat di Kementerian Energi Inggris, menyatakan harapan negaranya pada hari Jumat bahwa Israel akan mempertimbangkan kembali keputusannya untuk mengambil alih kendali militer atas Kota Gaza.
"Kami yakin keputusan ini salah, dan kami berharap pemerintah Israel akan mempertimbangkannya kembali," katanya kepada Times Radio.
"Hal ini mengancam akan memperburuk situasi yang sudah mengerikan dan tak tertahankan," lanjutnya.
Australia juga mendesak Israel untuk tidak mengambil jalan ini.
"Australia menyerukan kepada Israel untuk tidak mengambil jalan ini, yang akan memperburuk bencana kemanusiaan di Gaza," kata Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat.
Baca juga: Hamas Tolak Pendudukan Israel di Jalur Gaza: Ini Bukan Tanah Kosong
Menurutnya, pemindahan paksa permanen merupakan pelanggaran hukum internasional dan menegaskan kembali seruan untuk gencatan senjata, aliran bantuan tanpa hambatan, dan pembebasan tahanan yang ditahan oleh Hamas sejak Oktober 2023.
"Solusi dua negara adalah satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian abadi, dengan negara Palestina dan negara Israel hidup berdampingan secara damai dan aman dalam batas-batas yang diakui secara internasional," katanya.
Australia belum bergabung dengan sekutu Baratnya, seperti Inggris, Kanada, dan Prancis, dalam mengumumkan niat mereka untuk mengakui negara Palestina, tetapi mengatakan akan membuat keputusan pada waktunya, seiring meningkatnya kritiknya terhadap tindakan Israel.
Kementerian Luar Negeri Turki mengatakan pada hari Jumat bahwa Ankara mengecam keras keputusan Israel untuk menguasai Kota Gaza dan menyerukan kepada masyarakat internasional dan Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan guna mencegah pelaksanaan rencana tersebut.
Kementerian tersebut menambahkan bahwa Israel harus segera menghentikan rencana perangnya, menyetujui gencatan senjata di Gaza, dan memulai negosiasi untuk solusi dua negara.
Ia menyatakan bahwa setiap langkah yang diambil oleh pemerintah Israel untuk melanjutkan apa yang digambarkan Türkiye sebagai genosida dan pendudukan tanah Palestina merupakan pukulan telak bagi keamanan global.
China menyatakan kekhawatiran mendalam pada hari Jumat atas rencana Israel untuk menguasai seluruh Jalur Gaza, dan mendesak Israel untuk segera menghentikan tindakan berbahayanya.
"Gaza adalah milik Palestina dan merupakan bagian integral dari wilayah Palestina," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok kepada AFP dalam sebuah pesan.
Surat kabar Kanada, The Globe and Mail, menekankan bahwa Israel harus bertanggung jawab atas penderitaan warga Palestina di Jalur Gaza setelah menghentikan pasokan bantuan kemanusiaan.
Menurut surat kabar tersebut, keputusan Israel untuk menghentikan bantuan kemanusiaan internasional ke Jalur Gaza merupakan bencana moral dan strategis.
Netanyah, yang berstatus buron Mahkamah Pidana Internasional (ICJ), menyatakan kepada Fox News bahwa Israel berencana menduduki seluruh Jalur Gaza namun tidak akan mempertahankannya.
Menurutnya, wilayah itu nantinya akan diserahkan kepada pasukan Arab yang dianggap tidak mengancam Israel, sementara Israel hanya akan mengendalikan keamanannya tanpa menjadi pemerintahan di sana.
Pernyataan ini disampaikan sebelum Netanyahu bertemu sekelompok menteri senior untuk membahas rencana militer di Gaza.
Sementara itu, Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir, mengungkap rencana memperluas perang di Gaza secara bertahap, namun memperingatkan langkah tersebut bisa membahayakan sandera.
Para pemimpin militer Israel pun dikabarkan menolak rencana pendudukan penuh atas Gaza.
Pendudukan Israel di Jalur Gaza pada 1967-2005
Israel menduduki Jalur Gaza sejak berakhirnya Perang Enam Hari melawan koalisi negara Arab (Mesir, Yordania, Suriah) pada 5–10 Juni 1967, hingga menarik diri pada 2005 di bawah pemerintahan PM Ariel Sharon melalui Disengagement Plan.
Selama pendudukan, Israel membangun pemukiman Yahudi, fasilitas publik, infrastruktur militer, dan sejak 1994 mulai membangun tembok perbatasan sepanjang ±60 km yang selesai sekitar tahun 1996.
Pada 11 September 2005, semua pemukim dan tentara Israel keluar dari Gaza atas keputusan Perdana Menteri Israel saat itu, Ariel Sharon.
Sebagian besar bangunan yang dirikan oleh Israel di Jalur Gaza dihancurkan pada Agustus–September 2005.
Penarikan ini dilakukan karena alasan keamanan, beban ekonomi, tekanan demografis, perlawanan bersenjata Hamas, dan tekanan internasional atas pendudukan di tanah Palestina.
Meski begitu, Israel tetap mengontrol Jalur Gaza lewat pembatasan listrik, air, dan blokade laut.
Sejak Hamas menguasai Gaza pada 2007, Israel memperkuat penghalang di perbatasan dengan tembok setinggi 7 meter, sensor, kawat berduri, dan senapan otomatis.
Di laut, Israel membatasi jarak tangkap nelayan Palestina hanya 3–6 mil (kadang diperluas hingga 15 mil) dan rutin berpatroli.
Mesir juga membangun tembok baja 10 km di perbatasan Sinai–Rafah pada Desember 2009, dengan dukungan AS dan Prancis.
Pada 7 Oktober 2023, Hamas meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa, membobol pertahanan Israel di selatan dan menahan sekitar 250 sandera.
Israel mengatakan per 22 Juni 2025, dari sejumlah sandera yang dibebaskan, 50 di antaranya masih ditawan di Gaza.
Hamas menyebut serangan ini sebagai perlawanan terhadap pendudukan Israel dan perebutan Masjid Al-Aqsa.
Israel merespons dengan serangan besar-besaran dan blokade penuh Gaza, memicu kelaparan parah.
Per 22 Juli 2025, lebih dari 101 orang tewas karena kelaparan, termasuk 80 anak-anak.
Israel baru membuka jalur bantuan pada akhir Juli 2025 melalui Gaza Humanitarian Foundation (GHF), tetapi pasukannya menembaki warga yang mengantre bantuan.
Hingga 6 Agustus 2025, serangan Israel di Gaza telah menewaskan 61.158 warga Palestina, termasuk 193 korban kelaparan, dan melukai 151.442 orang.
Rencana pendudukan Gaza kembali muncul beberapa kali. Pada November 2023, Netanyahu menyatakan Israel akan tetap menguasai keamanan Gaza meski ada perjanjian damai.
Pada Februari 2025, ia menyambut usulan Trump untuk memindahkan penduduk Gaza ke wilayah lain dan menggantinya menjadi “Riviera Timur Tengah,” yang dikecam internasional.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.