Konflik Rusia Vs Ukraina
Trump Ancam Putin dengan Konsekuensi Berat jika Tak Setop Perang di Ukraina
Presiden AS Donald Trump akan menemui Presiden Rusia Putin sebelum bertemu Presiden Ukraina Zelensky. Trump ancam Rusia untuk akhiri perang.
Penulis:
Yunita Rahmayanti
Editor:
Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam Presiden Rusia Vladimir Putin dengan konsekuensi berat jika ia menghalangi perdamaian di Ukraina.
Namun, ia juga mengatakan pertemuan mendatang antara kedua pemimpin tersebut dapat dilanjutkan dengan pertemuan kedua dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Pernyataan Trump ini muncul setelah pertemuan daring dengan Zelensky dan para pemimpin Eropa dari Berlin pada hari Rabu (13/8/2025).
Trump tidak merinci sifat konsekuensi ini, tetapi memperingatkan sanksi ekonomi jika pertemuannya dengan Putin di Alaska pada hari Jumat (15/8/2025) besok tidak membuahkan hasil, dan menekankan konsekuensinya akan berat.
Presiden AS juga menjelaskan tujuan pertemuan dengan Putin di Alaska sebagai persiapan untuk pertemuan lanjutan cepat yang akan melibatkan Zelensky.
Trump mengatakan pertemuan kedua, yang akan melibatkan Zelensky, bergantung pada hasil pertemuannya dengan Putin.
"Saya mungkin akan menjawab pertanyaan itu, karena saya mengenal Putin dengan baik dan telah bertemu dengannya berkali-kali sebelumnya," kata Trump ketika ditanya apakah ia bisa meyakinkan Putin pada pertemuan hari Jumat.
Pernyataan Trump kepada wartawan muncul setelah pertemuan virtual dengan Presiden Ukraina Zelensky dan para pemimpin Eropa, yang ia gambarkan sebagai pertemuan yang sangat bagus, lapor Al Jazeera.
Trump dan Putin dijadwalkan membahas pada hari Jumat bagaimana mengakhiri perang yang telah berlangsung selama tiga setengah tahun, konflik terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.
Trump sebelumnya mengatakan kedua belah pihak harus bertukar wilayah untuk mengakhiri pertempuran, yang telah menewaskan puluhan ribu orang dan membuat jutaan orang mengungsi.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada hari Rabu menyatakan harapannya topik utama pertemuan antara Trump dan Putin di Alaska adalah gencatan senjata segera, dan memperingatkan kemungkinan penipuan Rusia.
Baca juga: Zelensky Tak Diundang, Ini Penjelasan Gedung Putih soal KTT Trump–Putin
Zelensky berbicara dari Berlin, tempat ia diterima oleh Kanselir Jerman Friedrich Merz untuk konferensi video dengan Trump dan para pemimpin senior Uni Eropa.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer berbicara tentang peluang nyata terjadinya gencatan senjata di Ukraina berkat Trump.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menekankan AS ingin mencapai gencatan senjata di Ukraina.
"Masalah wilayah Ukraina tidak dapat dinegosiasikan dan hanya akan dinegosiasikan oleh presiden Ukraina," kata Macron setelah percakapan dengan Trump, seraya menambahkan, "Saat ini tidak ada rencana serius untuk pertukaran lahan."
Sementara itu, Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte menegaskan pada hari Rabu, Eropa dan Donald Trump "bersatu" dalam upaya mereka untuk mengakhiri perang di Ukraina.
"Keputusan sekarang ada di tangan Putin," kata Mark Rutte.
Sementara Kanselir Jerman menekankan Ukraina siap membahas masalah teritorial, tetapi tidak mengakui secara hukum pendudukan Rusia atas bagian-bagian tertentu wilayahnya.
Pasukan Rusia telah melakukan serangan besar ke Ukraina timur dalam beberapa hari terakhir yang mungkin merupakan upaya untuk meningkatkan tekanan pada Kyiv agar menyerahkan wilayah.
Pasukan Rusia maju atau merebut lebih dari 110 kilometer persegi tambahan pada 12 Agustus dibandingkan hari sebelumnya, dengan kecepatan yang belum pernah terlihat sejak akhir Mei 2024.
Dalam beberapa minggu terakhir, mencapai tingkat kemajuan ini membutuhkan waktu enam hari.
Sebagai tanda memburuknya situasi, Ukraina pada hari Rabu memerintahkan evakuasi keluarga dari sekitar 10 kota dekat wilayah timur tempat pasukan Rusia telah membuat kemajuan pesat dalam beberapa hari terakhir.
Moskow mengumumkan kendali atas dua desa, Nikanurivka dan Suvorov, di Donetsk, Ukraina timur.
Donald Trump mencitrakan dirinya sebagai orang kuat dan itulah yang ia lihat pada Vladimir Putin.
Meskipun keduanya dekat selama masa jabatan pertama Trump (2017-2021), hubungan mereka merenggang selama masa jabatan keduanya setelah pelantikannya pada Januari lalu.
Presiden AS telah menyatakan kemarahannya kepada Putin karena melanjutkan perang brutalnya yang telah berlangsung selama tiga tahun di Ukraina, yang disebut Trump "konyol."
Hubungan rumit mereka akan diuji pada pertemuan puncak di Alaska pada hari Jumat besok.
Trump menggambarkan pertemuan puncak itu sebagai "pertemuan uji coba" untuk mengevaluasi kesiapan Putin dalam menegosiasikan akhir perang.
Merujuk pada pertemuan Trump dengan Putin, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan pada hari Selasa bahwa Trump perlu "bertemu langsung dengannya... untuk membuat penilaian dengan melihatnya."
Trump memuji Putin karena menerima undangannya untuk datang ke negara bagian Alaska, AS, yang dulunya merupakan koloni Rusia.
"Saya pikir sangat terhormat bahwa Presiden Rusia datang ke negara kami, alih-alih kami yang pergi ke negaranya atau bahkan negara ketiga," kata Trump, Senin.
Ini akan menjadi pertemuan tatap muka kedua antara Trump dan Putin sejak pertemuan puncak Helsinki tahun 2018.
Trump menyebut Putin cerdas dan menegaskan dia selalu "memiliki hubungan yang sangat baik" dengan pemimpin Kremlin itu.
Namun, ketika rudal Rusia menghantam Kyiv pada awal tahun ini, Trump menuduh Putin membunuh banyak orang tanpa alasan, dan menambahkan dalam sebuah unggahan di media sosial Truth Social, "Dia benar-benar GILA!"
Sementara itu, Putin memuji upaya miliarder Republik tersebut untuk mengakhiri perang Ukraina.
"Saya yakin dia sungguh-sungguh," kata Putin tahun lalu ketika Trump mencalonkan diri sebagai presiden.
Sejak kembali ke Gedung Putih pada bulan Januari, Trump telah menjalin pemulihan hubungan dengan Putin, yang telah dikesampingkan oleh komunitas internasional sejak invasi Ukraina pada 24 Februari 2022.
Pada Februari lalu, Trump dan Putin berbicara selama 90 menit melalui telepon, keduanya mengungkapkan harapan untuk memperbaiki hubungan.
Namun setelah serangkaian perundingan yang sia-sia dan terus berlanjutnya pemboman mematikan yang dilakukan Rusia terhadap kota-kota Ukraina, Trump tampak semakin frustrasi.
"Saya sangat kecewa dengan Presiden Putin," kata Trump kepada wartawan bulan lalu.
"Saya pikir dia orang yang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dan dia bisa bicara dengan sangat indah, lalu dia akan mengebom orang-orang di malam hari. Kami tidak suka itu," lanjutnya.
Pertemuan Trump dan Putin Sebelumnya
Trump dan Putin telah bertemu enam kali, sebagian besar di sela-sela acara internasional selama masa jabatan pertama Trump.
Dalam buku terbarunya "War", jurnalis Washington Post, Bob Woodward, menulis bahwa Trump berbicara dengan Putin tujuh kali sejak meninggalkan Gedung Putih pada tahun 2021 hingga kembali ke sana pada awal tahun ini, sementara Kremlin membantahnya.
Namun, menurut buku tersebut, momen penentu dalam hubungan mereka tetaplah pertemuan puncak 16 Juli 2018 di ibu kota Finlandia, Helsinki.
Setelah pertemuan empat mata selama dua jam, Trump dan Putin menyatakan keinginan untuk memperbaiki hubungan antara Washington dan Moskow.
Namun, Trump menimbulkan kegemparan selama konferensi pers bersama karena tampaknya menganggap remeh jaminan presiden Rusia bahwa Moskow tidak berupaya memengaruhi pemilihan presiden AS 2016, meskipun badan intelijen AS telah dengan suara bulat mengonfirmasi hal itu.
"Saya sangat percaya pada intelijen saya, tetapi saya akan memberi tahu Anda bahwa Presiden Putin sangat tegas dan kuat dalam penyangkalannya hari ini," kata Trump pada Senin, 16 Juli 2018.
"Dia hanya mengatakan itu bukan Rusia. Saya akan mengatakan ini: Saya tidak melihat alasan mengapa itu bisa terjadi," lanjutnya.
Mengingat sejarah ini, Senator Demokrat Jeanne Shaheen khawatir tentang apa yang mungkin terjadi pada pertemuan puncak Trump-Putin.
"Saya sangat khawatir Presiden Putin akan memandang ini sebagai hadiah dan kesempatan lain untuk memperpanjang perang, alih-alih akhirnya mencari perdamaian," ujarnya, lapor Asharq Aawsat.
Setelah kembali menjabat sebagai Presiden AS, Trump menyerukan Rusia dan Ukraina untuk menghentikan perang dan berdamai.
Namun setelah melakukan berbagai pertemuan, Trump menyatakan rasa frustasinya terhadap Putin karena dianggap tidak berniat mengakhiri perang.
Trump mengancam akan menerapkan sanksi yang lebih berat ke Rusia dan mengancam mitra dagang Rusia dengan tarif sekunder.
Kremlin mengecam ancaman tersebut dan menyatakan penerapan sanksi terhadap Rusia bukanlah hal baru.
Pada akhir pekan lalu, Trump mengatakan akan ada pertemuan dengan Putin dalam KTT AS-Rusia di Alaska pada 15 Agustus 2025.
Perang Rusia di Ukraina yang dimulai pada tahun 2022 merupakan buntut panjang dari ketegangan antara Ukraina dan Rusia sejak pecahnya Uni Soviet pada Desember 1991.
Dalam pidato setelah meluncurkan invasinya pada 24 Februari 2022, Putin ia ingin menghilangkan kemampuan militer Ukraina yang dianggap mengancam Rusia, menyingkirkan unsur "neo-Nazi" yang dituduh ada dalam pemerintahan Ukraina, membela etnis Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk dari dugaan penindasan.
Selain itu, Rusia ingin mencegah Ukraina bergabung dengan aliansi NATO atau menjadi basis Barat, dan menolak keberadaan militer NATO di perbatasan Rusia.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.