Konflik Palestina Vs Israel
Punya Rafale, Typhoon, F-15QA Tapi Serangan Tak Terdeteksi Radar, Qatar Sengaja Dihantam Israel?
Ada skenario kalau Qatar sengaja membiarkan serangan Israel menghantam Doha, di lokasi petinggi Hamas berada.
Penulis:
Hasiolan Eko P Gultom
Qatar Punya Rafale, Typhoon, dan F-15QA, Tapi Serangan Israel Tak Terdeteksi Radar Sama Sekali, Kok Bisa?
TRIBUNNEWS.COM — Qatar telah lama menyandang predikat sebagai satu di antara negara paling maju secara militer di Timur Tengah.
Maklum, negara kaya itu menghamburkan miliaran dolar untuk mengembangkan armada Angkatan Udara modern yang dianggap tak tertandingi di Teluk.
Baca juga: AS Sudah Diberitahu Pengeboman di Doha, Qatar: Serangan Pengecut Israel Tidak Akan Ditolerir
Angkatan udara Qatar punya jet Dassault Rafale buatan Prancis, pesawat tempur Eurofighter Typhoon, serta Boeing F-15QA "Ababil" buatan Amerika Serikat (AS), yang diakui sebagai salah satu jet tempur generasi 4,5 paling canggih secara teknologi di dunia.
Setiap platform jet tempur itu dilengkapi dengan sistem terkini—Rafale dengan radar AESA dan rudal jarak jauh Meteor, Typhoon dengan kemampuan serangan presisi dan penguasaan multiperan, sementara F-15QA merupakan varian khusus Qatar dengan avionik, sistem peperangan elektronik, dan senjata jarak jauh termodern.
Semua aset ini didukung oleh jaringan pertahanan udara berlapis, termasuk sistem Patriot PAC-3 buatan AS yang mampu mencegat rudal balistik taktis, sistem NASAMS buatan Norwegia untuk perlindungan jarak menengah, dan jaringan radar yang terintegrasi langsung dengan pusat komando CENTCOM AS di Pangkalan Udara Al-Udeid.
Menampung lebih dari 10.000 personel militer AS dan markas besar Komando Pusat AS yang ditempatkan di Al-Udeid, Qatar sering digambarkan sebagai salah satu wilayah paling termiliterisasi di kawasan Teluk.
Secara teori, cakupan radar yang tumpang tindih dan integrasi pengawasan multinasional seharusnya membuat wilayah udara Doha menjadi salah satu yang paling sulit ditembus di Timur Tengah, tetapi kenyataannya tidak demikian.
Satu serangan presisi Israel pada Selasa (9/9/2025) secara instan menghapus semua supremasi Qatar yang selama ini digaung-gaungkan.
Serangan di Doha: Israel Menghancurkan Reputasi Qatar
Namun, meskipun pertahanan udara Qatar seharusnya kuat, Israel berhasil melancarkan serangan tepat pada Selasa kemarin di kawasan elite West Bay Lagoon, Doha.
Serangan tanpa ba-bi-bu Israel itu menghancurkan sebuah vila dalam satu serangan, tetapi gagal membunuh target utama—pemimpin senior Hamas Khalil al-Hayya—yang dilaporkan selamat bersama beberapa tokoh lainnya.
Menurut pernyataan Israel, serangan itu menargetkan tokoh Hamas yang terlibat langsung dalam negosiasi gencatan senjata Gaza, termasuk Khalil al-Hayya dan Khaled Meshaal.
"Namun, serangan itu menewaskan putra al-Hayya, Humam, serta seorang ajudan senior. Kontak dengan tiga pengawal lainnya juga terputus," demikian konfirmasi otoritas Qatar.
Target Serangan Udara Israel di Qatar
Pemerintah Qatar kemudian mengumumkan bahwa seorang pejabat keamanan nasional juga tewas dalam serangan itu.
Serangan itu terjadi di kawasan vital negara yang menjadi lokasi kedutaan besar, sekolah internasional, dan tempat tinggal warga asing.
Lokasi serangan menunjukkan keberanian Israel dalam melaksanakan operasi di lokasi yang dianggap paling aman di Teluk.
Saksi mata melaporkan ledakan besar, yang diyakini disebabkan oleh penggunaan rudal jarak jauh berpresisi tinggi—baik rudal udara-ke-udara atau bom luncur jarak jauh—yang dirancang untuk menembus sistem pertahanan udara.
"Tidak ada jet tempur Rafale atau Typhoon Qatar yang terdeteksi lepas landas untuk mencegat, tidak ada rudal Patriot atau NASAMS yang diluncurkan, dan bahkan radar pelacak tidak merekam respons apa pun," tulis ulasan situs militer dan pertahanan, DSA, dikutip Rabu (10/9/2025).
Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengeluarkan pernyataan pada X yang menyatakan:
"Tindakan hari ini terhadap pemimpin teroris Hamas sepenuhnya merupakan operasi Israel. Israel memulainya, Israel melaksanakannya, dan Israel bertanggung jawab penuh."
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed al-Ansari mengutuk keras serangan tersebut.
"Serangan kriminal ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan ancaman serius terhadap keamanan rakyat Qatar dan penduduknya," ujarnya.
"Meskipun mengutuk keras serangan ini, Qatar menegaskan kembali bahwa mereka tidak akan menoleransi tindakan tidak bertanggung jawab Israel yang terus merusak stabilitas regional, serta tindakan apa pun yang menargetkan keamanan dan kedaulatannya. Investigasi saat ini sedang berlangsung di tingkat tertinggi, dan informasi lebih lanjut akan diumumkan segera setelah tersedia," bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Qatar.

Bagaimana Israel Menembus Pertahanan Udara Qatar?
Pertanyaan utama yang sekarang sedang diperdebatkan adalah bagaimana Israel berhasil melakukan serangan di jantung Doha, salah satu ibu kota yang paling dilindungi di Teluk, tanpa memancing respons defensif apa pun dari Qatar atau Amerika Serikat.
Perlu dicatat, Angkatan Udara Israel telah lama mengembangkan doktrin serangan jarak jauh sejak operasi tahun 1981 terhadap reaktor nuklir Osirak di Irak serta serangan tahun 2007 terhadap fasilitas nuklir Suriah, yang menunjukkan kemampuannya untuk menembus wilayah udara yang dipertahankan.
Aset Israel yang paling berharga adalah F-35I "Adir," varian khusus pesawat generasi kelima AS, yang dilengkapi dengan sistem peperangan elektronik yang dimodifikasi, perangkat lunak kendali tempur buatan dalam negeri, dan kemampuan daya tahan yang lebih lama untuk misi jarak jauh.
Dengan penampang radar yang sangat kecil, F-35I memungkinkan Angkatan Udara Israel untuk melakukan serangan jauh ke wilayah musuh tanpa terdeteksi oleh sistem radar konvensional.
Selain pesawat siluman, Israel juga memiliki berbagai senjata jarak jauh termasuk rudal Delilah dengan kemampuan berkeliaran.
Adapula rudal Rampage untuk menghancurkan target keras, dan perlengkapan bom pintar SPICE yang mampu menghindari sistem intersepsi melalui manuver terminal.
Semua senjata ini dapat diluncurkan dari luar pertahanan musuh pada jarak 150–300 km, sehingga sangat mungkin serangan terhadap Doha dapat dilakukan tanpa pesawat Israel memasuki wilayah udara Qatar.
Perang elektronik dan operasi siber merupakan inti strategi utama Israel, dengan unit-unit khusus yang mampu mengganggu radar pertahanan, membingungkan sistem rudal, dan bahkan melumpuhkan jaringan komando melalui intrusi siber yang tepat waktu.
"Tidak adanya respons pertahanan dari Qatar menunjukkan kalau sistemnya terganggu sepenuhnya atau Israel mengeksploitasi kelemahan ketergantungan Doha pada infrastruktur peringatan dini milik AS," tulis ulasan DSA.
Dari perspektif geografis, serangan tersebut mungkin dilakukan dengan menggunakan koridor udara dari Teluk atau Arab Saudi dengan meluncurkan rudal jarak jauh.
"Selain itu, kemungkinan penggunaan pesawat tanpa awak siluman IAI Eitan (Heron TP) atau rudal jelajah kapal selam kelas Dolphin di Laut Arab tidak dapat dikesampingkan," tambah penjelasan DSA.
Para analis menekankan bahwa operasi sebesar ini—yang menargetkan ibu kota, yang menjadi markas besar terdepan US CENTCOM di Al-Udeid—hampir mustahil dilakukan tanpa sepengetahuan Amerika Serikat, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya "pemberontakan diam-diam".
Jika Doha tahu tetapi tidak berdaya, hal itu menyoroti kerentanan negara Teluk kecil yang sepenuhnya bergantung pada sistem impor tanpa kontrol peringatan dini sendiri.
Jika Doha benar-benar tidak menyadarinya, maka hal itu mengungkap kelemahan utama dalam perisai pertahanan udara negara itu, meskipun telah menghabiskan miliaran dolar untuk Rafale, Typhoon, F-15QA dan Patriot.

Kompromi atau Ketidakmampuan?
Perdebatan mengenai apakah Qatar berkompromi atau tidak menyadari sama sekali serangan Israel kini telah menjadi isu paling sensitif dalam wacana keamanan Teluk.
Beberapa analis percaya bahwa, dengan kontrol penuh sistem pengawasan AS dan NATO di Al-Udeid, mustahil serangan semacam itu terjadi tanpa pengetahuan sebelumnya.
Pangkalan Al-Udeid menampung markas depan CENTCOM dan Pusat Operasi Udara Gabungan (CAOC) yang memantau setiap pergerakan udara di Timur Tengah, dari Afganistan hingga Laut Merah.
Artinya, setiap jalur penerbangan, sinyal radar, dan lintasan rudal direkam secara real-time, sehingga sulit bagi operasi Israel untuk dilakukan tanpa terdeteksi.
"Jika Washington sudah tahu sebelumnya, maka Doha mungkin juga sudah diberitahu—atau sengaja ditinggalkan—sehingga menimbulkan pertanyaan besar tentang kedaulatan Qatar yang sebenarnya di wilayah udaranya," tulis ulasan DSA terkait kemungkinan yang terjadi di balik serangan Israel ke Doha.
Beberapa orang juga percaya bahwa Qatar mungkin sengaja "membiarkan" serangan itu untuk meredakan tekanan internasional terhadap perannya sebagai tuan rumah biro politik Hamas.
Baca juga: AS Sudah Diberitahu Pengeboman di Doha, Qatar: Serangan Pengecut Israel Tidak Akan Ditolerir
Amerika Serikat, Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab telah lama mendesak Qatar untuk memutuskan hubungan dengan Hamas, yang dipandang sebagai pusat koordinasi dan keuangan gerakan tersebut.
Dengan membiarkan serangan itu terjadi, Doha dapat membenarkan dirinya sebagai korban pelanggaran kedaulatan, sambil mengklaim tunduk pada tekanan geopolitik untuk mengurangi hubungan dengan Hamas.
Sebaliknya, banyak pakar militer meyakini itu adalah operasi Israel murni, dengan pesawat siluman dan rudal jarak jauh melumpuhkan seluruh sistem pertahanan udara Qatar sebelum sempat bereaksi.
Kemampuan F-35I Adir yang didukung oleh peperangan elektronik diyakini mampu membutakan radar Patriot PAC-3, NASAMS, bahkan radar Prancis dan Inggris yang digunakan oleh Qatar.
Fakta bahwa tidak ada pesawat Rafale, Typhoon atau F-15QA yang lepas landas membuktikan bahwa sistem radar secara langsung dibutakan, atau jaringan komando dinonaktifkan oleh peperangan elektronik dan cyber.
"Apa pun skenarionya, konsekuensinya sangat memalukan: investasi Qatar senilai miliaran dolar tidak mampu melindungi modalnya dari satu serangan presisi," lanjut ulasan DSA.
Runtuhnya Kredibilitas Pertahanan Udara
Bagi negara yang telah menginvestasikan miliaran dolar dalam jet tempur modern, baterai rudal canggih, dan integrasi penuh dengan sistem pertahanan AS, kegagalan Qatar untuk mempertahankan atau mendeteksi serangan ini merupakan penghinaan strategis.
Jet tempur Rafale dengan Meteor, Typhoon yang mampu mencegat berbagai ancaman serta F-15QA Ababil yang dirancang khusus untuk mendominasi wilayah udara gagal merespons.
Baterai Patriot PAC-3, yang dirancang untuk mencegat rudal jarak menengah, tetap diam selama serangan.
Sistem NASAMS, yang dioptimalkan untuk melawan rudal jelajah, juga gagal, menimbulkan pertanyaan apakah itu kegagalan teknis, arahan politik, atau keberhasilan Israel dalam membutakan sistem tersebut.
Kehadiran kantor pusat CAOC dan CENTCOM di Al-Udeid juga terbukti tidak berguna dalam mempertahankan kedaulatan wilayah udara Qatar.
Kredibilitas sistem pertahanan berlapis Qatar—yang sering disorot di pameran pertahanan internasional—telah runtuh.
Insiden ini mengungkap kerentanan yang mendalam: ketergantungan mutlak pada sistem impor, ketergantungan pada jaringan peringatan Amerika, dan tidak adanya kontrol otonom yang komprehensif.
Kegagalan ini membuat seluruh GCC waspada—dari Arab Saudi, yang menggunakan THAAD, hingga UEA dengan sistem Barak-nya—terhadap pertanyaan apakah sistem pertahanan bernilai miliaran dolar benar-benar mampu menahan musuh dengan kemampuan siluman dan peperangan elektronik.
Lebih jauh lagi, hal ini menghidupkan kembali perdebatan global tentang efektivitas sistem pertahanan terpadu Barat yang sekarang sedang diuji tidak hanya di Teluk, tetapi juga di Ukraina dalam menghadapi Rusia.
Bagi Qatar, kegagalan ini merusak citranya sebagai pusat yang aman bagi diplomasi, keuangan, dan logistik global.
Fakta bahwa Israel dapat menyerang Doha sesuka hati membuktikan bahwa pertahanan Qatar jauh lebih rapuh daripada yang ditunjukkan gambaran sebenarnya.
Lebih buruk lagi, sebagai tuan rumah pangkalan AS terbesar di kawasan itu, Qatar dihadapkan pada citra bahwa jaminan keamanan sekutu utamanya juga tidak efektif.
Kegagalan ini tidak hanya mengungkap kelemahan Qatar, tetapi juga mengancam kepercayaan pada seluruh kerangka pertahanan Teluk yang berpusat pada Amerika Serikat, sehingga berpotensi mempercepat langkah negara-negara regional untuk mengeksplorasi kerja sama pertahanan alternatif dengan kekuatan seperti China, Rusia, atau Turki.
Dampak Strategis dan Geopolitik
Serangan Israel terhadap Doha bukan sekadar keberhasilan taktis tetapi pesan strategis yang mengguncang Teluk dan dunia.
Dengan melakukan serangan terhadap ibu kota yang penuh dengan sistem paling canggih dan pangkalan militer terbesar Amerika, Israel membuktikan bahwa tidak ada negara Teluk yang benar-benar kebal.
Bagi Hamas, pesannya jelas: tidak ada tempat yang aman, bahkan di negara terkaya dan terlengkap dalam hal pertahanan udara dan angkatan bersenjatanya.
Bagi Doha, ini merupakan pukulan besar bagi citranya sebagai mediator netral dalam konflik Gaza, karena ibu kotanya sendiri ditembus oleh salah satu pihak yang bernegosiasi.
Peran diplomatik Qatar sekarang dipertanyakan, tidak hanya oleh Israel atau Hamas, tetapi juga oleh Amerika Serikat.
Bagi Washington, serangan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas CENTCOM dan CAOC dalam melindungi sekutunya.
Kelemahan ini membuka ruang bagi kekuatan besar lainnya seperti China, Rusia, dan Turki untuk menawarkan sistem pertahanan alternatif kepada negara-negara Teluk.
Bagi Arab Saudi dan UEA, ini merupakan bukti kelemahan Doha, sehingga melemahkan posisinya di GCC.
Iran, di sisi lain, pasti akan menganggap serangan ini sebagai bukti kemampuan Israel untuk menembus pertahanan Teluk yang sepenuhnya bergantung pada sistem Barat.
Serangan ini menandai era baru: bahkan dengan perlindungan Rafale, Typhoon, F-15QA dan Patriot, negara Teluk masih dapat dibutakan dalam sekejap mata.
Hal ini sejalan dengan pola di Ukraina dan Laut Merah, di mana sistem pertahanan modern terus gagal menghentikan rudal presisi dan drone .
"Bagi Qatar, entah dianggap berkompromi atau tidak berdaya, dampak strategisnya tetap sama—terungkapnya kelemahan yang akan menghantui kebijakan luar negeri, keamanan, dan kedudukannya di kawasan tersebut selama bertahun-tahun mendatang," tulis kesimpulan ulasan DSA.
(oln/dsa/*)
Konflik Palestina Vs Israel
Daftar Negara yang Berlakukan Larangan Masuk bagi Ben Gvir dan Smotrich, Terbaru Spanyol |
---|
AS Sudah Diberitahu Pengeboman di Doha, Qatar: Serangan Pengecut Israel Tidak Akan Ditolerir |
---|
Israel Serang Qatar, Delegasi Hamas di Doha Dilaporkan Selamat |
---|
Media Israel Mulai Memberontak ke Pemerintahnya Setelah Lama Menutupi Penderitaan Gaza |
---|
Operasi Tongkat Musa Brigade Qassam Makan Korban, Letnan Israel Terbakar di Dalam Tank |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.