Konflik Palestina Vs Israel
Netanyahu Desak Qatar: Usir Hamas dari Negaranya atau Israel yang Melakukannya
Setelah serang Doha, Perdana Menteri Israel Netanyahu mendesak Qatar untuk mengusir Hamas dari negaranya atau Israel yang akan melakukannya.
Penulis:
Yunita Rahmayanti
Editor:
Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendesak Qatar untuk mengusir anggota kelompok Palestina, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) atau mengadili mereka di wilayahnya.
Netanyahu memberi pilihan tersebut kepada Qatar atau Israel yang akan melakukannya.
Pernyataan Netanyahu muncul setelah serangan udara Israel yang menargetkan para pemimpin gerakan Hamas Palestina di Doha pada Selasa, 9 September 2025.
"Saya katakan kepada Qatar dan semua negara yang melindungi militan: Anda harus mengusir mereka atau mengadili mereka. Atau kami yang akan melakukannya,” kata Netanyahu dalam sebuah video yang dirilis oleh kantornya, Rabu (10/9/2025).
Netanyahu, yang dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) karena kejahatan perang, memposisikan diri sebagai korban dengan menyebutkan pengeboman di sejumlah wilayah di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001 dan Operasi Banjir Al-Aqsa oleh Hamas pada 7 Oktober 2023.
“Kita juga punya 11 September. Kita mengenang 7 Oktober, hari di mana militan Islam melakukan kekejaman terburuk terhadap orang-orang Yahudi sejak Holocaust," lanjutnya.
Perdana menteri itu mengatakan AS mengejar para terduga pelaku pengeboman tersebut.
“Apa yang dilakukan Amerika setelah 11 September? Amerika berjanji untuk mengejar para militan yang melakukan kejahatan keji ini di mana pun mereka berada. Amerika juga mengesahkan sebuah resolusi di Dewan Keamanan PBB, dua minggu kemudian, yang menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melindungi militan,” katanya.
Netanyahu mengatakan Israel melakukan hal yang sama seperti AS ketika mereka menyerang Qatar dengan alasan menargetkan anggota Hamas.
"Kemarin, kami bertindak persis sama. Kami mengejar dalang militan yang melakukan pembantaian 7 Oktober. Dan kami melakukannya. Di Qatar, yang menyediakan tempat berlindung yang aman, melindungi militan, mendanai Hamas, memberikan vila-vila mewah kepada para pemimpin militannya, dan memberi mereka segalanya," lanjutnya.
Ia kemudian mengulang pernyataan Israel mencontoh AS.
Baca juga: Pemimpin Iran Telepon Emir Qatar Usai Doha Digempur, Desak Negara Islam Lawan Netanyahu
"Israel melakukan persis seperti yang dilakukan Amerika ketika mengejar militan al-Qaeda di Afghanistan, dan setelah mereka pergi dan membunuh Osama bin Laden di Pakistan," tegasnya.
Setelah serangan itu, Israel mendapat kecaman dari berbagai pihak internasional dan Netanyahu merasa tidak terima.
"Sekarang, berbagai negara di seluruh dunia mengutuk Israel. Mereka seharusnya malu pada diri mereka sendiri. Apa yang mereka lakukan setelah Amerika melenyapkan Osama bin Laden? Apakah mereka berkata, 'Sungguh mengerikan hal yang terjadi pada Afghanistan atau Pakistan?' Tidak, mereka justru bertepuk tangan. Mereka seharusnya memuji Israel karena berpegang teguh pada prinsip yang sama dan menerapkannya," katanya.
Ia menyimpulkan, "Saya katakan kepada Qatar dan semua negara yang melindungi militan: Usir mereka atau bawa mereka ke pengadilan. Karena jika tidak, kami yang akan melakukannya."
Pada hari serangan di Qatar, Channel 14 melaporkan Angkatan Udara Israel melanggar wilayah udara Yordania, Suriah, Irak, dan Arab Saudi dalam perjalanannya menuju ibu kota Qatar untuk menyerang para pemimpin Hamas.
Jet tempur Israel menempuh jarak sekitar 1.800 kilometer untuk mencapai target mereka di Doha.
Sementara itu, Yedioth Ahronoth melaporkan operasi tersebut dilakukan dengan koordinasi bersama negara-negara lain.
Menanggapi hal ini, seorang sumber militer resmi di Angkatan Bersenjata Yordania membantah tuduhan yang beredar mengenai pesawat Israel yang melintasi wilayah udara Kerajaan Yordania untuk menyerang target di Qatar.
Sumber tersebut menekankan perlunya untuk menahan diri dari menyebarkan berita rekayasa dan rumor menyesatkan tersebut, dan mengimbau semua orang untuk mendapatkan informasi dari sumber resmi.
Qatar Tak Takut dengan Ancaman Netanyahu
Perdana Menteri Qatar dan Menteri Luar Negeri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani menegaskan negaranya tidak menerima ancaman yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Ia mencatat tanggapan dari Qatar akan dibahas dengan mitra regional.
"Saya tidak punya kata-kata untuk mengungkapkan betapa marahnya kami atas serangan Israel ini, yang merupakan tindakan terorisme negara," kata Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani dalam wawancara dengan CNN pada hari Rabu.
"Netanyahu berusaha memberikan ceramah hukum sementara ia sendiri melanggar hukum internasional dan membuat Jalur Gaza kelaparan," katanya.
Ia menekankan, Netanyahu harus diadili, karena ia sudah dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mengeluarkan surat perintah penangkapannya pada 21 November 2024.
Perdana Menteri Qatar mengatakan Netanyahu mengancam negara-negara lain di kawasan, meskipun mereka tidak mengancam dirinya mau pun Israel.
"Tanggapan dari kawasan tersebut sedang dibahas dengan para mitra, dan tanggapan ini akan nyata dan mampu menghentikan intimidasi Israel," ujarnya.
Ia juga mengapresiasi pesan sekutu Israel, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang disampaikannya segera setelah Israel menyerang Doha.
"Kami mendengar pesan tegas dari Presiden AS Donald Trump mengenai pengeboman Israel, dan kami menghargai sikap ini, tetapi harus diikuti dengan langkah-langkah praktis," katanya.
Terkait putaran negosiasi, Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Qatar menegaskan, "Netanyahu membuang-buang waktu untuk masalah mediasi dan tidak serius."
"Dengan mengebom delegasi Hamas, Netanyahu telah membunuh semua harapan bagi para sandera Israel di Gaza," katanya.
Ia menegaskan, apa yang dilakukan Israel terhadap Doha adalah terorisme negara dan Qatar tidak akan ragu untuk mempertahankan kedaulatannya serta menindak tegas setiap pelanggaran keamanan.
Sebelumnya, dalam konferensi pers setelah serangan itu, perdana menteri itu menekankan Qatar berhak untuk menanggapi serangan terang-terangan Israel.
Israel Serang Doha
Pada hari Selasa (9/9/2025), Israel meluncurkan serangan ke Doha, ibu kota Qatar, dalam operasi yang ia sebut menargetkan para pemimpin Hamas.
Enam orang dilaporkan tewas dalam serangan tersebut, termasuk termasuk Humam al-Hayya, putra anggota biro politik Khalil al-Hayya; direktur kantornya, Jihad Labad; tiga rekannya; dan seorang petugas keamanan Qatar.
Sementara itu, surat kabar Arab Saudi, Asharq Al-Awsat mengungkapkan dua pemimpin biro politik Hamas terluka dalam serangan Israel, salah satunya dalam kondisi kritis.
Serangan tersebut terjadi setelah pertemuan antara Hamas dan perdana menteri Qatar untuk membahas usulan gencatan senjata AS.
Presiden AS Donald Trump mengatakan ia diberitahu oleh Departemen Pertahanan (Pentagon) bahwa Israel berencana menyerang Doha.
Ia meminta Utusan Khususnya Steve Witkoff untuk memberi tahu Qatar, namun terlambat.
Perdana Menteri Qatar mengatakan mereka menerima kabar dari AS sekitar sepuluh menit setelah serangan itu terjadi.
Dalam pernyataannya pada hari Selasa, Gedung Putih menepis tuduhan bahwa AS terlibat dalam serangan tersebut dan menegaskan semua itu keputusan Netanyahu.
Anggota Biro Politik Hamas, Hussam Badran, mengatakan mereka akan terus berkoordinasi dengan faksi-faksi lain untuk mempertahankan delegasi Palestina, seperti diberitakan Al-Quds.
Pejabat lain gerakan tersebut, Mohammed Nazzal, menuduh AS berkoordinasi dengan Israel dalam serangan di Doha dan agresi itu menunjukkan upaya Netanyahu untuk membatalkan proses negosiasi yang ditengahi Qatar-Mesir.
Ia mengatakan, "Netanyahu ingin membatalkan proses negosiasi untuk mencapai ilusi kemenangan mutlak."
Update Serangan Israel di Jalur Gaza
Saat ini, Israel masih melanjutkan operasi militernya di Jalur Gaza sejak Oktober 2023.
Israel menyalahkan Hamas atas kehancuran dan kelaparan di Gaza, setelah Hamas meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023.
Hamas bersama kelompok perlawanan lainnya berhasil menembus pertahanan di Israel selatan dan menahan sekitar 250 orang pada hari operasi tersebut.
Setelah beberapa kali pertukaran tahanan—terakhir pada Januari 2025—Israel menyebut masih ada sekitar 50 sandera yang ditahan di Gaza.
Hamas menyatakan Operasi Banjir Al-Aqsa adalah perlawanan terhadap pendudukan Israel di Palestina sejak 1948 dan upaya perebutan kompleks Masjid Al-Aqsa.
Sebagai balasan, Israel menutup seluruh jalur masuk ke Gaza dan melancarkan serangan udara serta darat dalam skala besar.
Setidaknya, 64.656 orang tewas dan 163.503 lainnya luka-luka sejak awal perang, menurut Kementerian Kesehatan Gaza pada hari Rabu.
Selain itu, 404 orang meninggal karena kelaparan termasuk 138 anak, sementara laporan Al Jazeera menyebut pasukan Israel juga menembaki warga yang mencari bantuan, menewaskan 2.456 orang dan melukai lebih dari 17.861 lainnya sejak 27 Mei 2025.
Pada 2 Maret 2025, Israel memperketat blokade dengan menutup semua perlintasan, termasuk Rafah dan Kerem Shalom.
Menurut laporan Reuters pada 7 September, Israel mengatakan telah mengizinkan lebih dari 1.900 truk bantuan per hari masuk, tetapi badan-badan PBB menegaskan jumlah itu masih sangat terbatas untuk mencegah krisis pangan yang lebih parah.
Bantuan tersebut disalurkan melalui Gaza Humanitarian Foundation (GHF), badan penyalur bantuan yang dibentuk oleh Israel dan AS pada Mei lalu.
Israel dilaporkan menembaki para pencari bantuan di GHF yang berlokasi di Rafah, Tal al-Sultan, Saudi Neighbourhood, Khan Younis, dan Wadi Gaza, menurut laporan Al Jazeera dan Al Arabiya.
Sementara itu, militer Israel meluncurkan Operasi Gideon sejak 3 September untuk merebut Kota Gaza, mengklaim telah menguasai sekitar 40 persen wilayah, yang mereka anggap sebagai basis utama Hamas.
Militer Israel juga mengusir warga Palestina dari Kota Gaza ke selatan, dengan alasan akan dilakukannya operasi darat besar-besaran.
Mengenai upaya negosiasi, Qatar menegaskan pihaknya dan Mesir terus berusaha untuk mendorong kelanjutan perundingan antara Israel dan Hamas, bahkan setelah serangan Israel di Doha.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.