Jumat, 15 Agustus 2025

Depresi adalah Penyakit yang Berkaitan dengan Kesehatan Mental

Orang dengan gangguan depresi bisa pulih sepenuhnya dan penderitanya juga seharusnya bisa tanpa ragu-ragu mencari dukungan dan pengobatan

Editor: Eko Sutriyanto
spectator.co.uk
ilustrasi depresi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - World Health Organization (WHO) pada tahun 2017 menyatakan bahwa gangguan depresi kini menduduki peringkat keempat penyakit di dunia.

Sekitar 300 juta dari total populasi dunia menderita depresi.

Meski demikian, tingginya angka prevalensi gangguan depresi tidak diikuti dengan meningkatnya pemahaman mengenai gangguan ini di dalam masyarakat.

Terlebih lagi ada banyak stigma yang beredar mengenai depresi dan menghambat orang dengan depresi mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk bisa menjalani kehidupan kembali secara normal.

Depresi adalah suatu kondisi medis yang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis gejala: gejala terkait suasana hati (suasana hati yang buruk, minat yang rendah, kecemasan, motivasi yang rendah, dsb).

Sementara gejala kognitif (gangguan konsentrasi, kesulitan dalam membuat rencana, pelupa, lambat dalam menanggapi dan bereaksi, dsb) & gejala fisik (nyeri, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, dsb).

Meskipun manifestasi utama dari gangguan ini berupa suasana hati yang buruk dan perasaan sedih, penting untuk mengingat bahwa gejala-gejala kognitif dan fisik dapat berkontribusi terhadap gangguan fungsi pada pasien dan memengaruhi kualitas hidup mereka.

Baca: Polisi Ungkap Motif Wanita Berusia 69 Tahun di Pontianak akan Bunuh Diri

Pada beberapa pasien, depresi dapat memunculkan pikiran bunuh diri hingga tindakan bunuh diri itu sendiri.

World Health Organization (WHO) pada tahun 2017 memperkirakan bahwa setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri. Deteksi dini dan perawatan yang tepat dapat meningkatkan remisi, menghindari terjadinya kekambuhan, mengurangi beban emosi dan beban keuangan yang timbul oleh gangguan depresi ini.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr. Eka Viora, SpKJ mengatakan, banyaknya stigma yang beredar terhadap depresi menghalangi para penderitanya mendapatkan dukungan yang tepat.

“Stigma tersebut menghambat orang dengan depresi untuk mencari dukungan yang mereka butuhkan untuk bisa menjalani kehidupan kembali secara normal,” kata Eka ditemui sela-sela acara Lundbeck Regional Symposium di Jakarta.

Simposium yang diadakan Lundbeck, perusahaan farmasi multinasional asal Denmark ang diadakan pada tanggal 22-23 Juni 2019 yang diikuti 450 dokter dari Asia Selatan dan Asia Timur untuk membahas manajemen kesehatan jiwa dan konsekuensinya jika penderita tidak menerima pengobatan yang tepat, serta perkembangan dan inovasi pengobatan untuk gangguan depresi.

Baca: Sempat Jadi Bahan Bully Netizen, Roy Kiyoshi Sampai Depresi Hingga Datangi Psikiater

Depresi lebih sering dilihat sebagai aib daripada penyakit karena berkenaan dengan kesehatan mental, bukan fisik.

Ia bersama rekan-rekannya sedang berusaha meningkatkan kesadaran bahwa depresi adalah penyakit sebagaimana penyakit lainnya.

“Orang dengan gangguan depresi bisa pulih sepenuhnya dan penderitanya juga seharusnya bisa tanpa ragu-ragu mencari dukungan dan pengobatan,” kata DR. Dr Margarita Maramis, SpKJ (K), Ketua Divisi Mood Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI).

Margarita Maramis menambahkan stigma ini menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap para orang dengan depresi, antara lain asumsi bahwa penderita tidak mau bersosialisasi, tidak bisa dipercaya, dan membuat canggung keadaan.

narsum kes mental
Narasumber simposium kesehatan yang ‎membahas mengenai manajemen kesehatan jiwa mulai dari pemahaman mengenai depresi dan p‎erawatan yang tepat dan sesuai untuk penderitanya.

“Akibatnya adalah sebagian dari orang dengan depresi kemudian menjauhkan diri dan menghindari hubungan yang terlalu pribadi dengan orang lain, hingga berhenti bekerja atau berhenti sekolah,” katanya.

Di Denmark, kesehatan mental ditangani sebagaimana penyakit lainnya. Tidak ada stigma. Tidak ada aib akibat diagnosa gangguan kesehatan mental atau perawatannya.

Tidak ada diskriminasi terhadap penderita di tempat kerja atau di lingkungan keluarga dan masyarakat - Rasmus Abildgaard Kristensen (Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini dan ASEAN)

Gangguan depresi juga bisa memengaruhi fungsi kognitif selain suasana hati dan gejala fisik lainnya. Hal ini bisa berkontribusi terhadap gangguan fungsi pada orang dengan depresi di lingkungan kerja, masyarakat, maupun kehidupan berkeluarga.

Baca: Depresi Utang Rp 17 Miliar, Terpikir Bunuh Diri, Kevin Aprilio Merasa Sejuk Oleh Ucapan Pacarnya Ini

Prof. Pratap Chokka (Profesor Klinis & Konsultan Psikiater) dari Kanada menyampaikan hasil penelitian terbarunya (AtWoRC) yang mengamati gejala kognitif pada depresi.

Temuan utama dari penelitian ini menunjukkan bahwa gejala kognitif pada depresi secara signifikan berkontribusi terhadap penurunan produktivitas kerja atau gangguan fungsi dalam kegiatan sehari-hari, misalnya gangguan konsentrasi, kesulitan dalam mempertahankan fokus, pelupa, lambat dalam menanggapi percakapan atau mengelola tugas sehari-hari.

Selama dekade terakhir, definisi dari kesuksesan penanganan gangguan depresi telah berubah menjadi pemulihan fungsi sepenuhnya yakni pasien tidak hanya merasa jauh lebih baik tetapi mampu memulihkan fungsi mereka di rumah, di tempat kerja, dan terintegrasi kembali dengan masyarakat.

Ada beberapa pihak yang salah paham dengan beranggapan bahwa antidepresan tidak membawa manfaat bagi pasien dan memiliki banyak efek samping.

Prof Vladimir Maletic, MD, seorang profesor klinis neuropsikiatri di Fakultas Kedokteran, University of South Carolina, Amerika Serikat menjelaskan bahwa antidepresan telah mengalami perubahan evolusi selama bertahun-tahun dan saat ini sudah dikembangkan antidepresan baru seperti Vortioxetine yang tidak hanya memperbaiki gejala-gejala terkait suasana hati tetapi juga mengatasi gejala-gejala kognitif sehingga membantu pasien mencapai pemulihan fungsional.

Hal yang lebih penting lagi adalah Vortioxetine juga dilaporkan memiliki efek samping yang lebih minimal.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan