Cerita Perajin Kain Tapis, Awal Mula Hanya Selingan Hingga Sampai ke Mancanegara
Koordinator pengrajin kain Tapis, Redawati mengatakan, kegiatan menapis pada awalnya hanya menjadi pekerjaan sambilan warga desa
Penulis:
Rina Ayu Panca Rini
Editor:
Imanuel Nicolas Manafe
Ia mengatakan, di awal 2014 modal awalnya hanya 2,5 juta.
"Kita harus ikut pameran di mana-mana, kita cari dukungan pemerintah dan swasta," tutur dia.
Dahulu, ujar Redawati, kain Tapis melekat hanya digunakan pada baju pengantin.

"Agak susah kalau hanya untuk pengantin, makanya kami buat barang-barang yang lain dan pembeli jauh lebih banyak," ujarnya.
Untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat, Redawati mengatakan dia makin membutuhkan banyak modal.
Ia menambahkan, banyak pihak yang kemudian menjadi rujukan untuk modal usaha kelompok "Jejama", salah satunya adalah Jasa Raharja.
Baca: Borong Batik Pamekasan di Pasar Tradisional, 4 Istri Menteri Tawar Kain Batik Dengan Harga Segini
"Kami didukung oleh Jasa Raharja, Bank Indonesia, Bekraf. Jasa Raharja memberikan modal bantuan sebesar 15 juta," tambah Redawati.
Pemerintah Kabupaten Pesawaran melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga akan meresmikan gerai khusus kain tapis Kecamatan Negeri Katon.
Inovasi dan Jaga Kualitas
Redawati juga mengungkapkan, Kain Tapis yang dihasilkan ini sudah banyak peminatnya, baik di dalam dan luar negeri.
"Sudah dipasarkan ke Malaysia dan Singapura. Kami aktif menjualnya via online. Ibu-ibu kami ajarkan menjual via online biasanya di facebook," ujar Redawati.
Baca: Gelar Fashion Show, Menaker Hanif Ingin Populerkan Kain Sarung
Ia dan kelompoknya juga terus menerus mengikuti berbagai pameran, seperti INA Craft, dari mengikuti pameran itu ujarnya, produk hasil kerajinan warga Desa Negeri Katon dikenal luas.
Bahkan yang teranyar ini, kain tapis dari kelompok "Jejama" telah dipesan oleh seorang desainer ibu kota untuk mengikuti event Jakarta Fashion Week.
"Mendatang produk kami akan ikut INA Craft pada bulan April," tuturnya.
Jauh ia berharap, agar Desa yang dulu tak terdengar namanya dapat dikenal lebih luas menjadi desa wisata, di mana bisa belajar menapis, menjadi pusat oleh-oleh khas Lampung, serta belajar bahasa Lampung.
Baca: Kain Tenun Ikat Kediri Melenggang di Jogja Fashion Festival 2019
"Dulu itu desa Negeri Katon itu identik jalanan rusak. Orang takut kalau masuk, gak ada kegiatan sama sekali di desa, takut sama begal," ungkap Redawati.
"Saya berharap ini ke depan bisa menjadi desa wisata. Kalau orang ke sini, bisa belajar menapis, belajar bahasa Lampung, dan warga bisa jualan oleh-oleh khas Lampung. Ekonomi bisa bergerak semua," sambung dia.