Oleh: Teddy Chrisprimanata Putra, S.T., M.Sos
Dosen Program Studi Ilmu Politik di UPN Veteran Jakarta
Belakangan publik dihadapkan pada sebuah fenomena yang mengganggu akal sehat sebagai warga negara. Lewat kekuasaannya, pemerintah tengah menyiapkan rencana untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Wacana ini seolah menjadi ujian moral bagi bangsa yang masih bergulat, bahkan sebagian besarnya belum memberi maaf kepada warisan masa lalunya.
Sedang di sisi lain, pemerintah justru sibuk menangkapi dan menggunakan kekerasan terhadap warga negara yang kritis menyampaikan aspirasinya.
Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru ditangkap karena dianggap menghasut peserta demonstran untuk melakukan pengrusakan fasilitas umum. Dan baru-baru ini, dua kerangka manusia yang ditemukan di Kwitang teridentifikasi benar sebagai dua orang demonstran yang hilang sejak aksi demonstrasi di bulan Agustus lalu.
Pemerintah yang memuliakan simbol kekuasaan masa lalu, justru tampak gagap dalam menghadapi warga negaranya sendiri yang menuntut perbaikan kualitas hidup.
Dua fenomena tersebut adalah paradoks yang begitu menyakitkan hati publik. Pemerintah begitu sibuk menyiapkan seremoni penghormatan kepada figur yang lekat dengan tindakan pelanggaran HAM.
Dalam waktu yang sama, pemerintah justru tidak segan menggunakan kekerasan dalam menghadapi warga negara yang tidak memegang senjata apapun.
Dalam situasi ini, sangat sulit menahan diri untuk mempertanyakan—kepada siapa sejatinya penghormatan ditujukan? Kepada bangsa yang ingin sembuh dari luka sejarah yang belum terobati, atau kepada kekuasaan yang mencoba untuk menulis ulang sejarah masa lalu?
Baca juga: Polri Diminta Tangkap Aktor Kerusuhan Demonstrasi di Jakarta: Jangan Hanya yang di Lapangan Saja
Jejak Kekuasaan dan Luka Kolektif
Soeharto memang pernah memimpin Indonesia dalam periode pembangunan yang sangat panjang. Pertumbuhan ekonomi meningkat, infrastruktur meluas, dan stabilitas politik yang relatif terjaga.
Nyatanya di balik itu semua, tersembunyi kisah panjang tentang kekerasan, pembungkaman, dan korupsi yang mengokohkan pondasi kekuasaan orde baru di bawah kepemimpinan The Smiling General.
Sejarawan Benedict Anderson mengingatkan bahwa stabilitas yang dibangun di atas ketakutan adalah stabilitas yang rapuh. Ia hanya bertahan selama rakyat dipaksa diam.
Genosida 1965-2966 menjadi awal mula kekuasaan sang The Smiling General—menurut peneliti seperti Robert Cribb dan Ugur Umit Ungor, sekitar 500.000 orang meregang nyawa dalam waktu yang singkat. Dan Human Right Watch menyebut bahwa tragedi tersebut sebagai salah satu pembunuhan massal terbesar di abad 20.
Dua dekade kemudian, tragedi serupa kembali terulang dalam bentuk yang berbeda. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR) di tahun 2005 melaporkan bahwa sekitar 102.800 orang tewas akibat kekerasan dan kelaparan selama pendudukan Indonesia di Timor Timur.
Sedangkan di dalam negeri, kekerasan negara juga muncul di pelbagai peristiwa, seperti Peristiwa Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), hingga Trisakti-Semanggi (1998-1999) yang menewaskan puluhan mahasiswa.
Perlu diingat, bahwa angka-angka tersebut tidak hanya sekadar statistik. Ia adalah tanda betapa besar luka kolektif yang belum menerima upaya penyembuhan dari negara. Hukum negara tidak pernah benar-benar menyentuh dan menuntut para pelaku.
Alih-alih menerima keadilan, para korban tidak pernah mendapatkan pengakuan atau pemulihan terhadap apa yang pernah mereka alami. Negara hingga kini belum berani mengakui secara terbuka, juga belum berani secara terbuka bertanggung jawab atas kekerasan kemanusiaan yang terjadi.
Dalam konteks ini, wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto menjadi suatu ironi bagi rakyat Indonesia yang sulit untuk diterima—baik dengan akal sehat maupun nurani.
Bagaimana mungkin negara dengan senang hati memberi kehormatan tertinggi kepada seseorang yang namanya melekat pada pelanggaran kemanusiaan terbesar dalam sejarah republik?
Politik Ingatan dan Normalisasi Impunitas
Ariel Heryanto pernah menulis bahwa Indonesia tidak pernah benar-benar menyelesaikan masa lalunya, yang kita lakukan hanyalah menatanya agar lebih mudah dilupakan.
Itulah yang disebutnya sebagai politik ingatan—bagaimana negara menyeleksi memori sejarah untuk kepentingan kekuasaan masa kini. Dalam politik ingatan semacam ini, pembangunan dan stabilitas dijadikan narasi utama, sementara kekerasan, korupsi, dan pembungkaman suara publik disapu ke pinggir sejarah.
Penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto bukanlah sekadar penghormatan simbolis belaka, melainkan upaya negara untuk memutihkan kembali sejarah yang berlumuran darah.
Diketahui bersama bahwa impunitas tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu tumbuh dari keberanian negara untuk melupakan. Dengan memberikan gelar pahlawan kepada pelaku yang belum pernah mempertanggungjawabkan tindakannya, negara sedang mengirim pesan bahwa keadilan tidak penting selama stabilitas terjaga.
Ini adalah bentuk normalisasi impunitas yang berbahaya, sebab ia merusak logika moral bangsa—yang kuat dipuja, yang lemah dilupakan.
Sedangkan, pengalaman negara-negara lain menunjukkan arah sebaliknya. Kathryn Sikkink dalam The Justice Cascade (2011) menunjukkan bahwa negara yang berani menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran masa lalunya justru memiliki demokrasi yang lebih kuat.
Sebut saja Argentina dan Chile yang mampu memulihkan kepercayaan publik setelah mengadili jenderal-jenderal pelaku kekerasan. Di sisi lain, Indonesia justru sebaliknya, negara ini masih saja mengulang pola penyangkalan yang sama.
Baca juga: Prabowo Resmi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto dan 9 Tokoh Lainnya
Paradoks Kekuasaan
Apa yang terjadi hari ini adalah cermin dari masa lalu yang belum selesai. Di saat Delpedro Marhaen ditangkap karena membela rakyat kecil, dan dua kerangka manusia yang belakangan telah diidentifikasi sebagai dua peserta demonstran yang hilang sejak demonstrasi Agustus lalu, warga negara sedang dipertontonkan reinkarnasi logika kekuasaan lama—kekuasaan yang memandang rakyatnya sendiri sebagai ancaman bagi stabilitas kekuasaan.
Pemerintah dengan segala instrumen kekuasaannya yang sedang berupaya memastikan seremoni pemuliaan simbol kekuasaan masa lalu justru dengan jelas menindas mereka yang menjalankan nilai kepahlawanan sejati—keberanian bersyara, membela kaum lemah, dan menegakkan keadilan.
Di titik inilah paradoks mencapai puncaknya—negara yang menobatkan pelaku pelanggaran HAM sebagai pahlawan tetapi memperlakukan warganya sendiri sebagai musuh.
Sosiolog Daniel Lev pernah menggambarkan sistem orde baru sebagai “rule by law”—pemerintahan yang menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan, bukan alat keadilan. Dan berselang dua dekade setelah reformasi, nyatanya watak tersebut belum benar-benar ditinggalkan. Hukum tampak masih lentur di tangan penguasa, tetapi keras terhadap warga yang berbeda pendapat.
Kekuasaan semacam ini beroperasi deNgan logika yang sama: mengendalikan ingatan, memonopoli kebenaran, dan mendefinisikan siapa yang layak disebut sebagai “pahlawan” dan siapa yang dianggap sebagai “pengganggu”.
Merawat Ingatan
Kritik terhadap rencana penganugerahan ini bukan semata-mata penolakan terhadap sosok Soeharto sebagai individu. Kritik tersebut adalah seruan agar negara belajar menghormati sejarah dengan jujur. Sebab, seperti ditulis oleh ilmuwan sejarah Paul Ricoeur, ingatan yang dipaksakan untuk melupakan akan selalu menghantui masa depan.
Seperti yang dikatakan oleh Sukarno, bangsa yang besar adalah bangsa yang ingat akan sejarahnya. Bangsa yang berani berdamai dengan masa lalunya dengan jujur, dan kejujuean tidak lahir dari seremoni, melainkan dari keberanian untuk mengakui kesalahan, memulihkan korban, dan memastikan kekerasan yang serupa tidak lagi terulang.
Hari ini Indonesia membutuhkan keadilan, bukan glorifikasi. Jika pemerintah sungguh ingin meneguhkan semangat kebangsaan, ia harus memulai dari langkah yang sederhana tapi mendasar—membuka arsip, mendengarkan korban, dan memastikan keadilan berjalan tanpa pandang bulu.
Menolak Pengkhianatan Moral
Mungkin bagi sebagian kelompok, penghormatan terhadap Soeharto hanyalah bentuk pengakuan negara terhadap jasa pembangunan, bukan upaya pembenaran atas kesalahannya.
Tetapi logika tersebut cacat secara moral, karena gelar pahlawan nasional adalah bentuk penghormatan tertinggi yang ditujukan kepada individu, bukan sekadar catatan administratif. Penganugerahan tersebut mengandung pesan moral bahwa nama yang disematkan layak untuk diteladani.
Menganugerahkan Soeharto sebagai pahlawan tanpa adanya upaya menyembuhkan luka sejarah adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini memiliki arti bahwa kenyamanan politik di atas keberanian moral.
Bangsa yang demikian, seperti yang diingatkan oleh filsuf Hannah Arendt, akan terus terjebak di dalam “banalitas kejahatan”, sebuah kebiasaan membenarkan yang salah karena dianggap wajar. Tentu kita tidak ingin menglang sejarah tersebut.
Sebelum negara memberi gelar pahlawan nasional kepada siapapun, ia mesti bertanya lebih dulu pada dirinya sendiri—apakah kita menjadi bangsa yang adil bagi korban?
Apakah kita sudah mendengar jeritan mereka yang dikubur oleh sejarah? Jika jawabannya belum, maka setiap upacara penghormatan hanyalah gema kosong di ruang-ruang formal kenegaraan.
Banga Indonesia jelas tidak kekurangan pahlawan, tetapi sungguh jelas bahwa bangsa ini tidak memiliki keberanian untuk menghadapi kebenaran. Selama negara masih saja sibuk menyanjung pelaku dan membungkam mereka yang bersuara, serta kebenaran masih ditakuti, maka setiap penghargaan akan berubah menjadi sebuah ironi.
Soeharto pasti akan selalu dikenang dalam sejarah perjalanan bangsa, bukan sebagai pahlawan yang menegakkan keadilan, melainkan sebagai cermin dari bangsa yang belum berani berdama dengan masa lalunya.
Dan selama luka belum disembuhkan, maka penghormatan apapun yang diberikan hanya sekadar simbol yang menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang gagal belajar dari sejarahnya sendiri.