Oleh. Hildegardis Missa
Mahasiswa Doktor Biologi Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
Pembahasan tentang ketahanan pangan sering kali terfokus pada dua hal: bagaimana meningkatkan produksi dan bagaimana memastikan pasokan mencukupi. Namun, pengalaman Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan bahwa persoalan pangan jauh lebih kompleks.
Di daerah ini, meski ada komoditas lokal yang berlimpah pada musim panen, krisis pangan tetap saja muncul. Mengapa demikian? Jawabannya terletak pada rantai distribusi yang lemah, minimnya edukasi gizi, dan budaya makan yang terlalu bergantung pada satu jenis pangan, terutama beras.
NTT memiliki beragam potensi pangan lokal: ubi jalar, jagung, sorgum, dan berbagai umbi-umbian yang adaptif terhadap lahan kering. Namun, karena distribusi pangan antarwilayah belum merata, surplus di satu daerah sering tidak bisa menolong daerah lain yang kekurangan.
Infrastruktur jalan, transportasi, hingga jaringan pasar masih menjadi hambatan utama. Akibatnya, pangan yang sebenarnya tersedia malah tidak sampai ke meja makan masyarakat yang membutuhkan.
Selain masalah distribusi, edukasi tentang gizi dan pangan juga masih terbatas. Banyak keluarga di NTT belum sepenuhnya memahami pentingnya diversifikasi pangan. Beras dianggap sebagai pangan utama yang bergengsi, sementara ubi jalar atau jagung sering dipandang sebagai makanan kelas bawah.
Pandangan ini membuat masyarakat enggan mengonsumsi pangan lokal, meski sebenarnya lebih bergizi dan sesuai dengan kondisi lingkungan. Tanpa edukasi yang tepat, budaya makan yang bias terhadap beras akan terus menggerus posisi pangan lokal.
Budaya makan inilah yang menjadi akar persoalan. Krisis pangan bukan hanya soal ketiadaan bahan pangan, melainkan juga ketidakmampuan masyarakat untuk mengubah pola konsumsi. Jika masyarakat NTT terus menempatkan beras sebagai satu-satunya pilihan, maka kerentanan pangan akan tetap tinggi. Padahal, sejarah panjang masyarakat NTT menunjukkan bahwa mereka pernah bertahan hidup dengan pangan lokal yang beragam, mulai dari ubi, jagung, hingga sorgum.
Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh. Pertama, memperkuat sistem distribusi pangan dengan membangun infrastruktur jalan dan pasar yang menghubungkan daerah surplus dan defisit. Kedua, mengintensifkan edukasi gizi di sekolah-sekolah dan komunitas, agar generasi muda tidak lagi memandang rendah pangan lokal. Ketiga, menghidupkan kembali budaya makan tradisional yang berbasis pangan lokal, dengan cara inovasi kuliner, kampanye publik, hingga festival pangan lokal yang membanggakan identitas daerah.
Ketahanan pangan di NTT tidak akan terwujud hanya dengan meningkatkan pasokan atau produksi. Kita memerlukan sistem distribusi yang adil, edukasi gizi yang merata, dan perubahan budaya makan yang lebih menghargai pangan lokal.
Dengan cara ini, pangan lokal tidak lagi dipandang sebagai pilihan darurat, tetapi sebagai kekuatan utama yang menopang keberlanjutan hidup masyarakat NTT.