Oleh: Luthfi Hasanal Bolqiah
Lulusan Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia dan pengajar di UPN “Veteran” Jakarta
Setelah dua dekade reformasi, nama Soeharto kembali menghiasi panggung nasional, kali ini bukan dalam perdebatan tentang pelanggaran HAM, melainkan dalam upacara kenegaraan. Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya, dan tak lama kemudian dua hasil survei menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen masyarakat setuju. Sejarah tampaknya sedang ditulis ulang, bukan oleh sejarawan, tetapi oleh statistik.
Hubungan antara kedua peristiwa ini sulit dianggap kebetulan. Gelar yang diberikan negara dan angka yang dirilis lembaga survei saling meneguhkan, seolah menciptakan konsensus baru: bahwa bangsa ini telah berdamai dengan masa lalunya. Narasi ini tampil rapi di permukaan, namun justru di situlah letak problemnya, karena ia mengaburkan batas antara fakta politik, opini publik, dan rekayasa memori kolektif.
Masalah pertama terletak pada cara survei dibaca dan digunakan. Secara metodologis, survei bisa benar, tetapi kebenaran statistik tidak otomatis berarti kebenaran moral. Banyak pihak memperlakukan angka dukungan terhadap Soeharto sebagai bukti ilmiah bahwa bangsa ini sudah memaafkan, seakan data bisa menggantikan perdebatan etis.
Mereka yang meragukan hasil survei dianggap anti-sains, sedangkan yang mempertanyakannya dicap tidak rasional. Padahal, seseorang bisa menerima validitas metode survei dan tetap menolak kesimpulan politik yang ditarik darinya.
Masalahnya bukan di rumus atau regresi, melainkan pada konsekuensi naratif. Survei tidak hanya merekam opini, tetapi juga membentuknya. Ketika angka digunakan sebagai simbol legitimasi, publik diarahkan untuk menyamakan popularitas dengan kebenaran. Demokrasi yang semestinya menjadi ruang perbedaan berubah menjadi kompetisi angka yang menutup ruang tafsir.
Lebih jauh, setiap hasil survei selalu lahir dalam ekologi sosial tertentu. Angka 80 persen dukungan terhadap Soeharto muncul di tengah rendahnya literasi politik, paparan disinformasi yang tinggi, dan ketimpangan ekonomi yang membuat nostalgia terhadap masa Orde Baru terasa logis bagi sebagian masyarakat. Dalam konteks seperti itu, survei menggambarkan gejala sosial, kerinduan pada stabilitas dan keteraturan, bukan refleksi etis tentang kepahlawanan. Ia memotret perasaan, bukan penilaian moral.
Kita bisa memahami mengapa nostalgia itu hidup. Orde Baru dipahami sebagian masyarakat sebagai masa di mana harga stabil, infrastruktur dibangun, dan kehidupan terasa tertib—tanpa disertai ingatan tentang represi, sensor, atau kekerasan politik. Ketika pengalaman keseharian hari ini dipenuhi ketidakpastian ekonomi dan polarisasi politik, masa lalu yang otoriter pun tampak rapi dan rasional. Survei hanya memperlihatkan bahwa memori kolektif bangsa ini telah dikelola dengan efektif.
Dalam ilmu politik, fenomena semacam ini disebut politics of memory, politik atas ingatan, ketika negara atau elite mengatur apa yang harus diingat dan dilupakan. Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, jika dibaca dalam kerangka itu, menjadi tindakan simbolik untuk meneguhkan versi sejarah tertentu: versi yang menekankan keberhasilan pembangunan, bukan otoritarianisme; versi yang ingin menanamkan ide bahwa kemajuan ekonomi memerlukan stabilitas, bahkan jika stabilitas itu mengorbankan kebebasan.
Di titik inilah, pemberian gelar dan rilis survei menjadi dua sisi dari koin yang sama. Yang satu membingkai ulang sejarah, yang lain membingkai ulang opini. Keduanya menghasilkan ilusi kesepakatan nasional. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah penyempitan ruang berpikir: publik diarahkan untuk percaya bahwa menghormati Soeharto berarti mencintai pembangunan, dan menolak gelar pahlawan berarti menolak kemajuan.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah kondisi industri survei di Indonesia. Banyak lembaga riset kini beroperasi di bawah logika media, mengejar atensi, kecepatan, dan viralitas. Hasil survei dirilis dalam bentuk judul sensasional tanpa penjelasan metodologi yang memadai. Publik jarang tahu siapa respondennya, bagaimana pertanyaan disusun, atau sejauh mana hasilnya bisa digeneralisasi. Padahal, dalam penelitian opini publik, satu kata dalam kuesioner bisa mengubah arah jawaban.
Dalam kondisi literasi rendah, transparansi metodologis menjadi tanggung jawab moral, bukan pilihan teknis. Ketika lembaga survei mengabaikannya, mereka bukan hanya berisiko keliru, tetapi turut memperkuat polarisasi. Survei yang semestinya menjadi cermin refleksi publik justru berubah menjadi alat propaganda ilmiah.
Krisisnya bukan pada sains, tetapi pada cara sains dijalankan di tengah tekanan politik dan ekonomi media. Data kehilangan fungsi kritisnya karena lebih sibuk membenarkan keputusan yang sudah diambil. Dalam situasi ini, survei bukan lagi alat memahami masyarakat, melainkan alat memengaruhi masyarakat.
Kita tidak perlu menolak survei atau angka. Kita hanya perlu mengembalikannya ke fungsi semula: sebagai alat baca, bukan alat pembenaran. Demokrasi yang sehat membutuhkan data yang terbuka sekaligus publik yang kritis terhadap penggunaannya. Menerima data tidak berarti berhenti berpikir; justru di situlah berpikir dimulai.
Pada akhirnya, yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar reputasi Soeharto, tetapi kemampuan bangsa ini untuk membedakan antara ingatan dan propaganda, antara pengetahuan dan legitimasi. Jika sejarah kini ditulis ulang oleh statistik, maka tugas kita bukan membantah angkanya, melainkan membongkar narasi yang disembunyikan di baliknya.
Di sinilah tampak bagaimana kekuasaan simbolik bekerja. Seperti yang dikatakan Pierre Bourdieu, "Symbolic power is a power of creating things with words.”
Dalam politik modern, kata 'data', 'survei', dan 'pahlawan' bukan sekadar deskripsi, melainkan penciptaan makna yang mengatur cara kita mengingat dan melupakan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/tribunnews/foto/bank/originals/Medali-untuk-Soeharto-luthfi-hasanal-bolqiah.jpg)